Urgensi Pendidikan Seksualitas terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja
Pendahuluan
Pendidikan seks atau pendidikan mengenai kesehatan reproduksi atau yang lebih populer dengan sebutan “sex education” sudah seharusnya diberikan kepada anak-anak yang telah tumbuh dewasa atau remaja, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Hal ini menjadi krusial untuk mencegah biasnya pendidikan seks maupun pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada remaja. Pendidikan seks yang diberikan secara terpisah-pisah mengakibatkan batasan dalam pemahaman remaja [1].
Pendidikan seks merupakan suatu upaya untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang positif terkait dengan kesehatan reproduksi dan seksualitas kepada remaja. Pendidikan seksualitas yang efektif sangat krusial dalam meningkatkan kesehatan reproduksi remaja. Pendidikan seks semestinya disampaikan secara menyeluruh antara pendidikan agama dan ilmu pengetahuan sehingga tidak menimbulkan pemahaman ganda. Tujuan utama dilakukannya pendidikan seks di sekolah adalah untuk mengurangi terjadinya pergaulan bebas serta bentuk-bentuk seks lainnya yang bisa menghancurkan akhlak anak bangsa [1].
Masa remaja merupakan periode perkembangan fisik, psikologis maupun intelektual sehingga pada masa ini remaja memiliki rasa keingintahuan yang sangat besar. Besarnya keingintahuan pada remaja menyebabkan remaja selalu berupaya mencari tahu lebih banyak informasi dengan berbagai cara yang memungkinkan remaja untuk melakukan tingkah laku menyimpang dan kebiasaan yang tidak sehat seperti penyalahgunaan obat, menonton video porno dan perilaku seks bebas. Kebiasaan tersebut sangat mengancam kesehatan reproduksi remaja yang dapat menyebabkan penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS serta terjadinya kehamilan di luar nikah atau kehamilan dini pada remaja [2].
Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2017 menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi remaja di Indonesia masih rendah. Dimana pemahaman wanita belum kawin umur 15-24 tahun yang mengetahui tentang masa subur hanya sebesar 33% yang tahu dengan benar, 61% yang tahu tetapi tidak benar, dan enam persen tidak tahu sama sekali. Sementara itu, presentase wanita usia 15-24 tahun yang belum kawin dan pernah melakukan hubungan seksual pranikah yaitu pada wanita usia 15-19 tahun sebanyak 0.9%, wanita usia 20-24 tahun 2,6 [3].
Pendidikan kesehatan reproduksi pada masa remaja menjadi salah satu upaya preventif remaja dalam mengendalikan perilaku seksual berisiko. Pendidikan kesehatan reproduksi di Indonesia dibuat secara terstruktur dalam kurikulum yang ada disekolah, intra-kurikulum, ekstra-kurikulum, dan bimbingan konseling. Mata pelajaran biologi, kesehatan jasmani, dan pendidikan agama merupakan materi yang diajarkan di sekolah dan berhubungan dengan materi kesehatan reproduksi. Namun, dalam aplikasinya setiap sekolah memberikan cara penjelasan yang berbeda serta parameter yang berbeda [4].
Meningkatnya kasus mengenai reproduksi remaja dapat disebabkan karena ketidakpahaman terhadap perspektif reproduksi yang berhubungan dengan dirinya sendiri. Sehingga dibutuhkan pemberian informasi, penyuluhan, konseling serta pelayanan klinis yang bertujuan mencegah dan melindungi remaja dari perilaku seksual dan perilaku berisiko lainnya. Dalam pemberian informasi diperlukan kesiapan media promosi pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja sebagai salah satu peranan terpenting tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang menekankan pada akses masyarakat kepelayanan kesehatan reproduksi terintegrasi kedalam strategi dan program pada tahun 2023 [5].
Pendidikan Kesehatan Reproduksi Menyeluruh
Kesehatan reproduksi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Berdasarkan kesepakatan Internasional di Kairo 1994 (The Cairo Consensus) mengenai kesehatan reproduksi yang berhasil ditandatangani oleh 184 negara termasuk Indonesia, ditetapkan tentang pentingnya pendidikan seks bagi para remaja. Dalam salah satu butir kesepakatan tersebut ditekankan tentang upaya untuk mengusahakan dan menjelaskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta menyediakan informasi yang menyeluruh termasuk bagi para remaja [6].
Pendidikan Kesehatan Reproduksi Menyeluruh (PKRM) adalah proses pembelajaran berbasis kurikulum tentang aspek kognitif, emosional, fisik dan sosial dari seksualitas. PKRM bertujuan untuk membekali anak-anak dan remaja dengan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang akan menguatkan mereka untuk mencapai kesehatan, kesejahteraan dan martabat; mengembangkan hubungan pribadi dan sosial yang saling menghormati; meninjau bagaimana pilihan mereka dapat memengaruhi keselamatam mereka sendiri dan orang lain; dan memahami serta memastikan perlindungan hak-hak mereka sepanjang hidup [7].
Pendidikan kesehatan reproduksi harus dianggap sebagai bagian dari proses pendidikan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan dasar-dasar pengetahuan dan pengembangan kepribadian. Dengan pendidikan kesehatan reproduksi merupakan upaya bagi remaja untuk menanamkan pemahaman, pengetahuan, sikap, dan perilaku positif tentang kesehatan reproduksi dan seksual. [6].
Kesimpulan
Pendidikan seksualitas yang efektif sangat penting dalam meningkatkan kesehatan reproduksi remaja. Rendahnya pengetahuan kesehatan reproduksi di kalangan remaja dapat berdampak negatif pada perilaku remaja dan kesehatan reproduksi mereka. Pengetahuan mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi yang diberikan di lembaga pendidikan formal maupun informal cenderung memandang aspek kesehatan reproduksi dan seksualitas remaja hanya sebatas pada fenomena biologis semata cenderung mengkonstruksikan seksualitas remaja sebagai hal yang tabu dan berbahaya. Diperlukan dukungan dari otoritas pendidikan, pelatihan bagi para guru, akses terhadap informasi yang akurat, dan implementasi undang-undang kesehatan reproduksi yang melindungi hak-hak remaja. Dengan demikian, remaja akan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk membuat keputusan yang sehat dan bertanggung jawab terkait dengan kesehatan reproduksi dan seksualitas mereka.
Referensi
[1] F. U. Patty, R. D. Hukubun, S. A. Mahu, N. Tetelepta, and V. Linansera, “Sosialisasi Sex Education: Pentingnya Pengenalan Pendidikan Seks pada Remaja sebagai Upaya Meminimalisir Penyakit Menular Seksual,” ABDIKAN: Jurnal Pengabdian Masyarakat Bidang Sains dan Teknologi, vol. 1, no. 2, pp. 225–231, 2022, doi: 10.55123/abdikan.v1i2.293.
[2] A. Utami, “PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DI DESA BOJONG, PANJATAN, KULON PROGO,” Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Yogyakarta, 2022. Accessed: Aug. 21, 2023. [Online]. Available: http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/8536/4/4.%20Chapter%202.pdf
[3] B. dan K. R. BKKBN, Laporan SDKI 2017 Kesehatan Reproduksi Remaja. 2018. Accessed: May 19, 2023. [Online]. Available: http://archive.org/details/LaporanSDKI2017Remaja
[4] Ahmil, W. M. Fadhli, I. Nuraini, and S. Pratiwi, “Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja pada Remaja SMPN 3 Sindue Kab. Donggala,” Jurnal Pengabdian Masyarakat Akademisi, vol. 2, no. 1, Art. no. 1, 2023, doi: 10.54099/jpma.v2i1.467.
[5] K. Auri, E. C. Jusuf, and M. Ahmad, “Strategi Layanan Kesehatan Reproduksi pada Remaja: Literature Review,” FHJ, vol. 9, no. 01, pp. 20–36, 2022, doi: 10.33746/fhj.v9i01.325.
[6] Miswanto, “Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas pada Remaja,” Jurnal Studi Pemuda, vol. 3, no. 2, Art. no. 2, 2016, doi: 10.22146/studipemudaugm.32027.
[7] Centre for Reproductive Health, “Pendidikan Kesehatan Reproduksi bagi Pemberdayaan Remaja untuk Masa Depan Terencana,” Global Early Adolescent Study (GEAS) Indonesia, vol. 4, no. 1, 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H