Fenomena tawuran di kalangan remaja di Indonesia ditinjau dari perspektif fungsionalisme struktural dalam sosiologi. Fungsionalisme struktural memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berinteraksi untuk menjaga keseimbangan. Dalam konteks ini, perkelahian di kalangan remaja dapat dilihat sebagai disfungsi atau gangguan terhadap sistem sosial yang lebih luas. Sehingga berdasarkan perspektif fungsionalisme maka penyebab maraknya tawuran di Indonesia adalah:
1. Struktur sosial yang tidak seimbang:
Dalam masyarakat terdapat struktur sosial yang meliputi kelas, status dan peran. Jika struktur ini tidak seimbang atau tidak adil, generasi muda mungkin merasa frustrasi dan tidak memiliki akses yang setara terhadap peluang dan sumber daya. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan dan konflik antar kelompok remaja.
2. Ketimpangan dan keterasingan:
Remaja yang merasa tersisih atau tidak diakui dalam struktur sosial mungkin akan merasa terasing. Perjuangan dapat  menjadi cara bagi anak-anak untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap kesenjangan dan mencari identitas atau penerimaan dari kelompok teman sebayanya.
3. Kurangnya fasilitas rekreasi dan pendidikan:
Kegagalan masyarakat dalam menyediakan fasilitas rekreasi dan pendidikan yang memadai bagi kaum muda dapat menimbulkan kebosanan dan frustrasi. Bertengkar bisa menjadi cara untuk mengatasi kebosanan atau mencari kepuasan instan.
4. Media Sosial
Dengan adanya perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maka penyebaran informasi melalui media sosial pun semakin mudah diakses, belum lagi saat ini ada banyak konten-konten yang mungkin berisi tentang kerusuhan ataupun tawuran di media sosial. Sehingga terkadang tontonan mereka memprovokasi mereka untuk melakukan hal yang sama.
Fenomena tawuran di kalangan remaja di Indonesia melibatkan banyak bentuk interaksi sosial yang kompleks. Berikut  beberapa bentuk interaksi sosial yang terjadi pada fenomena tersebut:
1. Konflik Interpersonal: