Mohon tunggu...
Wahda Fajar Arizka
Wahda Fajar Arizka Mohon Tunggu... -

Seorang manusia yang ingin senantiasa mendekat kepada Robb nya...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Opera Kucluk

19 Juni 2013   08:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:47 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bumi gonjang-ganjing, langit kerlap-kerlip, trek tek tek tek…”.

“Hai Setan Alas! Dekatkan mukamu kalau berani. Sini, biar kukepret hidungmu yang besar itu!” si Kucluk berbadan tambun dengan muka bulatnya yang merah padam semakin menjadi-jadi marahnya , mengatai seorang sahabat yang kini telah berseberangan opini dengannya, membelot dan bergabung dengan kelompok seberang sungai kampung sebelah.

Harga dirinya bagai diinjak-injak, diambil paksa kemudian dilempar ke tempat pembuangan kotoran. Kesal marah, , dan dendam membuncah, melebur menjadi satu wadah. Jika dapat digambarkan, akumulasi dari emoticon jiwanya berupa letupan Gunung Merapi yang menimbulkan wedhus gembel. Gelap, panas, dan merusak apa saja yang dilewati, bahkan batu sekalipun bisa memerah darah oleh energi thermal yang ditimbulkan.

Demi melihat lawannya senyam-senyum dengan muka yang masih saja sama seperti dulu ketika mereka masih seirama –innocent-, Kucluk semakin membabi buta, kehilangan akal dan kesadarannya.

Memang, Kemplu selalu begitu. Sejak kecil, perilakunya tak jauh berbeda dengan keadaannya sekarang yang seorang politikus itu. Pendiam, cool, macho, dan kadang ceplas-ceplos, tanpa tedeng aling-aling. Konon, sebelumnya ia adalah seorang anak yang periang, ramai, suka tertawa, melucu, dan membuat tingkah yang sebagian orang menganggapnya aneh. Namun, semenjak peristiwa dirinya digondol oleh jin –persis sehari sebelum ulang tahunnya yang ke tujuh- , ia berubah drastis, seratus delapan puluh derajat. Kemplu menjadi sosok yang pendiam, melankolis. Hanya sifatnya yang agak aneh itu (eksentrik), sampai sekarang masih belum berubah. Apapun itu, Kemplu sosoknya menyenangkan, supel, dan cerdas. Lulusan terbaik dari sebuah universitas terkemuka di ibukota ia sandang, seiring dengan prestasinya di bidang non akademis yang cukup menggembirakan.

Sosok di balik keberhasilannya tentu saja adalah Kucluk, rekan sejawat dan tetangga depan rumah, seorang anak pengusaha kelas kakap. Ia lah yang membiayai sebagian besar biaya sekolah Kemplu. Bakat dari sang ayah mengantarkan Kucluk menjadi seorang pengusaha muda yang cukup berhasil. Di usia yang baru menginjak 15 tahun, Kucluk sudah mampu menghasilkan materi yang lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhannya sendiri. Ia seorang dermawan, rendah hati, pandai bicara, namun sayang, mudah percaya kepada orang lain. Dan sifat terakhir inilah yang seringkali disalahgunakan oleh orang kepercayannya.

”Wong ndeso mlebu kutho, wong kere munggah mbayang, ora ngerti tata krama lan bales budi!” (Orang desa masuk kota, orang miskin naik kasur, tidak tahu tata krama dan balas budi) , maki Kucluk.

Sekelebat ingatannya melayang ke puluhan tahun yang lalu, suasana pedesaan yang membuatnya senantiasa bahagia di tengah rerimbunan pohon dan hangatnya canda tawa sahabat-sahabat masa kecil.

Tentang mereka yang selalu mandi bersama di sungai, main gundu, tawuran, makan di pinggir sawah, dan mencuri tebu di perkebunan parik gula. Seandainya bisa pun mereka tidur bareng, saking karena galaknya orangtua Kucluk yang tak memperbolehkan siapa pun teman sepermainannya menginap di rumah gedong pinggir jalan itu.

”Mau jadi apa kamu, bergaul sama anak-anak ingusan itu?” gertak sang ibu saat Kucluk meminta ijin agar teman kampungnya menginap semalam saja.

Kucluk kesal, tapi akal liciknya membuatnya tersenyum culas. Toh, ia masih sempat main bersama teman-temannya, ketika wanita muda berpenampilan menor itu sibuk arisan dan berkumpul bersama ibu-ibu sosialita lainnya.

----

Seketika lamunan tentang masa kecilnya buyar. Kemplu, nama teman karib si Kucluk itu, nyengir. Senyumnya mengembang, hingga gerigi kuningnya pertanda kebiasaan merokok sebungkus-dua bungkus tiap hari itu tampak. Kucluk spontan semakin memuncak amarahnya. Bukan karena risih melihat barisan kuning gigi kawan kecilnya, bukan pula karena aroma khas Kemplu yang belum berubah juga -anyir, pertanda belum mandi semalam- , namun lebih karena sifatnya yang masih sama seperti dulu... innocent, bahkan semakin parah, dan membuatnya marah sejadi-jadinya.

”Dasar Kemplu! Kamu tidak mikir, siapa yang paling berjasa membuatmu seperti sekarang, kalau bukan aku?Lihatlah, rumah orangtuamu di desa Soro, kecamatan Sedeng, kabupaten Ndlodro. Siapa yang telah membangunnya menjadi rumah gedongan, dari semula yang hanya bertembok gebyok beralas lemah irengDasar wong gak ngerti bales budi kowe!” Kucluk nyerocos tak tentu arah, sama sekali tidak mencirikan seorang sarjana dan magister lulusan universitas terkemuka di Eropa (kehilangan identitas dan jati dirinya sebagai seorang orator andal, politisi ulung, motivator unggul, dan seabrek julukan hebat lain yang disematkan kepadanya -meskipun tak sedikit yang menjulukinya ”retoris”-).

Lagi-lagi Kemplu tersenyum kecil, tak beranjak dari tempat duduknya. Dan sorot matanya masih jelalatan ke kanan lalu ke kiri.

”Edan, di depan publik seperti ini kenapa aku yang jadi seperti setan alas?” grundel Kucluk dalam hati.

”Benar-benar ini orang, cerdas tapi masih saja ... culun seperti dulu,” batinnya.

Setali tiga uang, Kemplu pun sebenarnya memendam amarah luar biasa. Namun, bukan dia kalau tidak pandai membaca situasi. Menghadapi kawannya yang memang terkenal temperamental, ia memasang wajah cool.

Kucluk memberikan kode kepada beberapa anak buahnya untuk menyingkir sejenak. Hingga hanya dia dan Kemplu saja yang mengisi ruangan segi empat itu. Terkesan romantis, walaupun tampak sekali dipaksakan.

”Tuan Kucluk yang terhormat, maafkan saya. Skenario ini memang sudah saya siapkan jauh hari sebelumnya.”

”Anda tahu kan, proyek terakhir Anda gagal total?” lanjutnya.

”Ya!” jawab Kemplu, singkat. Kedua alisnya mengernyit.

”He he he... Tuan, sebenarnya saya lah yang meminta tuan gubernur untuk membatalkan rencana pelelangan itu. Dia adalah teman akrab saya, saat kuliah dulu. Berkat saya lah dia sekarang bisa menduduki jabatan seperti sekarang ini. Dia akan melakukan apapun yang saya inginkan, melalui kekuasaannya tentu saja.” lanjut Kucluk.

”Lantas?” sergah Kemplu.

”Saya katakan bahwa proposal yang Anda ajukan sarat dengan rekayasa. Bukankah memang demikian kenyataannya, Tuan Kemplu?”

” Kurang ajar!” gerutu Kemplu.

”Itu saja belum cukup, Sahabatku. Aku pun sudah menghubungi semua calon peserta lelang untuk mengundurkan diri,” seloroh Kucluk.

”Tapi, mengapa mereka menuruti keinginanmu?”

”Eits.. Perlu saya luruskan. Itu perintah, bukan keinginan”

”Perintah?”

”Iya, perintah. Asal Anda tahu saja, perusahaan-perusahaan itu adalah milikku dan beberapa rekanku. Sengaja kusertakan dalam lelang untuk menjegal perusahaanmu.”

”Biadab, tega sekali kau kepadaku!”

”Dengan begitu, hanya ada perusahaanmu yang masih tersisa dalam proses pelelangan itu. Lalu, setelah melewati berbagai mekanisme birokrasi, perusahaanmu batal menjadi pemenang,” Kucluk masih saja menjelaskan.

”Oh... begitu hinanya kelakuanmu itu. Boleh aku tahu apa alasan yang mendorongmu untuk melakukan rencana keji ini,?” Kucluk memelas, pasrah. Nada suaranya melemah.

”Simpel. Aku tidak ingin memenangkan tender, aku pun tidak ingin perusahaanku mendapatkan proyek itu,” jawab Kucluk.

”Lantasapa?” suara Kemplu mulai meninggi.

”Ningsih,” nada bicara Kucluk merendah. Kedua matanya memerah, tampak sedikit berkaca-kaca.

Sebentar suasana agak dingin. Sepi. Sentimentil.

”Kau...tahu...kan..., Ningsih adalah gadis idolaku, dulu ketika kita sama-sama di SMA?” Kemplu menghela nafas sejenak.

”Kau juga tahu kan, betapa cintanya diriku kepadanya. Bahkan aku sempat berencana meminangnya. Kau tahu itu, aku cerita panjang lebar kepadamu waktu itu. Namun, tanpa ada sebab yang pasti, orang tuanya menolak rencanaku. Meskipun kedua orang tua kami sudah saling bertemu dan telah memastikan tanggal peminangan. Ternyata, beberapa tahun kemudian aku baru mengetahui bahwa semua itu adalah skenariomu. Kau main di belakangku. Kau menjegalku. Kau merebut ningsih dari aku!” nada Kucluk tampak meninggi.

”Edan! Masih saja kamu mempersoalkan hal itu?” Kemplu tampak emosi.

”Kau masih saja seperti dulu, egois! Kau sudah menghancurkan impianku untuk meminangnya!” Kucluk juga tampak emosional.

”Bahkan, akhirnya ibuku sakit dan meninggal dunia dalam keadaan menanggung malu aib keluarga,” Kucluk menambahi. Semakin dramatis suasananya.

”Tapi.....” timpal Kemplu.

Serta merta Kucluk memotong pembicaraan kawannya itu, ”Itulah yang membuatku patah hati. Itu pula yang menjadikan aku sampai sekarang enggan lagi menjalin hubungan dengan perempuan”.

”Ehm... Ta...pi...”

”Hentikan! Rasakan pembalasanku. Setimpal! Sekarang! Selamat!” hardik Kucluk.

Satu nafas ia tarik, kemudian berkata lirih, ”Tuan Kucluk, saya permisi dulu. Jikalau ada waktu, saya akan mengunjungi Anda lagi”.

Kemudian, ia pun pergi, dengan iringan beberapa bodyguard, sembari melepaskan senyuman khasnya. Bagi siapa saja yang melihat akan terpesona, kecuali Kucluk yang memang sungguh muak dibuatnya. Lambat laun hanya remang-remang bayangan Kemplu bersama rombongannya di lorong ruangan segi empat itu yang tersisa. Sementara, dari balik jeruji besi, Kucluk bersuara lirih, ”Mati aku, terjebak oleh retorika orang pilihanku sendiri.”

DASAR KUCLUK!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun