Mohon tunggu...
Wagiman Rahardjo
Wagiman Rahardjo Mohon Tunggu... -

Hamba Allah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Obrolan Teras Masjid: Salat dan Kepemimpinan

9 Mei 2015   14:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:13 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sembari mengeratkan tali sepatu kananku, aku melihat lingkungan kampus yang sudah mulai sepi. Hari itu Jumat, dan seperti biasa, kegiatan tampak memudar setelah salat asar.

Seorang kawan menepuk pundakku dari belakang. Rupanya ia salat satu saf di belakangku tadi. Namanya adalah Joko, orang Jogjakarta asli.

"Assalamualaikum, Wagiman," sapa Joko sambil mengulurkan tangan kanannya. Kujabat erat uluran tangan itu, siapa tahu beberapa tahun lagi jabat tangan dengannya akan berharga mahal, pikirku.

"Kamu nggak ada kelas, Jok?" aku bertanya sembari menyandarkan punggung ke pilar teras masjid.

Joko hanya tersenyum. Dia berkata bahwa keperluannya mengunjungi kampus hanya untuk mengumpulkan berkas pendaftaran beasiswa.

"Sekalian salat asar lah Man," katanya lagi.

Sejenak, suasana hening. Joko melirik sebuah surat kabar yang tergeletak di pilar masjid, dan membacanya. Pada bagian headline koran regional itu, terpampang berita mengenai seorang kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi sejumlah ratusan miliar. Harta kekayaannya disita, dan keluarganya pun jatuh miskin.

"Heran aku Man, makin hari kok makin kacau saja negara ini," Joko menggelengkan kepala. Aku melirik halaman headline tersebut, alisku berkerut. Dengan duit ratusan milyar, barangkali saat ini aku sudah mengamankan satu kursi pascasarjana dan satu kursi doktoral di Eropa.

Joko menaruh kembali surat kabar tersebut di pilar masjid, kali ini raut mukanya nampak lebih serius.

"Man, terkadang aku berpikir, akan luar biasa ya sekiranya negeri ini dipimpin layaknya seorang yang sedang salat," Joko menggosok-gosok dagunya yang bercambang, kemudian menjulurkan kakinya ke depan.

"Bagaimana maksudmu, Jok?" tanyaku.

"Sempat terpikir nggak kamu Man, kalau sebenarnya salat kita itu sangat kaya filosofi?" jawaban Joko makin membuatku penasaran. Lantas, kubiarkan ia bercerita. Kuambil surat kabar yang tergeletak tadi, dan berkipas-kipas dengannya.

"Suatu hari, imam masjid kampungku pernah berceramah di sebuah kotbah Jumat. Beliau mengatakan bahwa salat berjamaah itu sarat akan nilai kepemimpinan. Gila, ini ceramah bakal aku ingat seumur hidup," senyum kembali tersungging di wajah Joko yang tadinya serius.

"Bahkan," tambah Joko, "Sebelum salat dimulai, nilai-nilai itu sudah bisa kita teladani."

Aku mengambil posisi duduk santai. Pembicaraan ini sepertinya akan berlangsung menyenangkan. Toh, aku tak punya kegiatan lain apabila aku pulang ke rumah.

"Pertama, azan. Panggilan ini mengandung pelajaran tentang inisiatif," kata Joko.

"Kok bisa?" aku sedikit heran.

"Ya bisa lah, Man!" tukas Joko. "Orang-orang yang memenuhi panggilan azan itu kan sebenarnya sudah belajar tentang mematuhi aturan. La ikraha fiddin, tidak ada paksaan dalam beragama. Nah, itu kalau bukan inisiatif apa namanya? Heheeee," pungkasnya.

Aku manggut-manggut, sejenak aku merenungi salat jamaahku yang masih bolong-bolong.

"Kemudian, aku tadi lihat kamu sempat ditawari jadi imam, kenapa kok nggak mau?" tanya Joko.

"Hahaha, kamu ini kepo ternyata Jok! Itu karena aku kenal mas-mas yang tadi akhirnya jadi imam. Setahuku, dia bacaannya lebih fasih dan ilmu agamanya lebih dalam. Dia pengurus masjid fakultas kan," ujarku.

"Kata ustad kampungku, itu pelajaran selanjutnya," Joko kembali tersenyum.

"Sebentar, aku paham! Maksudnya, kita sebaiknya menyerahkan urusan kepada yang ahli, bukan?" kali ini sepertinya aku sudah mulai dapat menerka arah pembicaraan Joko.

Joko mengangguk perlahan. "Tapi, ada hal penting lain yang kamu lewatkan, Man," tambahnya.

"Apa dong?" aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Pernah melihat orang berebut menjadi imam salat?" tanya Joko.

"Sejauh ini belum sih, malah banyak yang saling memberikan kesempatan," ujarku.

"Itu dia! Pelajaran berikutnya adalah, bahwa amanah itu bukan untuk diperebutkan. Saat ini, entah mengapa banyak orang berebut mendapatkan jabatan. Padahal, jabatan-jabatan tersebut lebih berat ketimbang menjadi imam salat," ungkap Joko.

"Kata siapa jadi imam salat nggak berat, Jok? Kan jadi imam itu berarti memimpin orang menghadap Allah," sanggahku.

"Lah, menurutmu apa jadi pejabat negara itu tanggung jawabnya bukan ke Allah juga, Man?" jawabnya.

"Haaa...mungkin karena jadi imam salat itu nggak dapat gaji jutaan plus mobil dinas!" ujarku sekenanya.

Tawa kami pun pecah bersama.

Kupikir-pikir, ada benarnya juga perkataan Joko, atau lebih tepatnya ustad kampung Joko. Bagaimana seandainya para pembesar negeri ini memandang amanah layaknya menunjuk imam salat. Mungkin saja tidak akan ada lagi saling jegal atau saling lempar kampanye hitam, karena mereka paham bahwa amanah adalah tanggung jawab. Tak menutup kemungkinan, kita akan melihat para pemimpin lebih saling memberikan kesempatan kepada mereka yang lebih kompeten. Tidak akan ada lagi berita tentang orang konyol yang mencari sensasi dengan mencalonkan diri sebagai pejabat negara.

Sementara itu, kulihat ponselku sejenak untuk membuka akun Twitter. Di sana, terpajang berita tentang seorang pengacara kontroversial yang mengaku siap menjadi presiden.

"Selanjutnya, ustadmu bilang apa lagi?" kali ini aku makin penasaran.

"Tahu kewajiban merapatkan dan meluruskan saf kan, Man? Itu pelajaran penting lainnya. Bahkan, salat pun mengajarkan kita untuk bersatu dan tidak tercerai-berai. Kadang aku sedih misalnya lihat orang nggak kebagian ruang masjid. Padahal, biasanya itu cuma karena makmum yang di dalam safnya renggang-renggang. Macam lagi marahan saja," ujar Joko.

"Aku juga ngalamin itu. Pernah juga malah kakiku diinjak gara-gara ngerapetin saf ke sebelahku, hehehe. Lanjut, Jok!" jawabku.

"Sebentar...ah, iya! Selanjutnya, beliau menjelaskan dua kewajiban makmum terhadap imam. Kamu tahu nggak, Man?"

"Mengikuti segala gerakan imam, dan mengingatkan imam kalau ia salah?" jawabku dengan nada setengah bertanya.

"Benar," kata Joko. "Bukankah itu pembelajaran yang sangat bagus buat kehidupan berdemokrasi kita, Man?" Joko menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit masjid.

"Iya kan? Kita nggak cuma disuruh taat semata, malah, kita juga disuruh menegur sekiranya imam salah melakukan gerakan salat. Pun, kalau imam lupa bacaan surat, kita pun boleh membantu meneruskan. Luar biasa kan ini seandainya diterapkan di kehidupan bermasyarakat kita," terus Joko.

"Hahaha, tentu! Sayangnya, di kehidupan bermasyarakat kita, banyak 'imam' lebih sering 'ngeyel' meskipun sudah diingatkan oleh makmum berkali-kali, Jok," balasku.

"Makmumnya juga harus mengingatkan secara benar, Jok. Ustadku juga pernah cerita, bahwa ada makmum yang menyahuti bacaan surat sang imam yang dinilainya salah. Sementara itu, makmum lain tetap diam dan imam pun melanjutkan bacaan. Usut punya usut, ternyata si makmum-lah yang salah hafalannya. Jadi, sebagai 'makmum' kita juga harus banyak belajar!"

"Serius? Terus bagaimana nasib si makmum yang sok tahu tadi?" tanyaku.

"Ngacir setelah salam, nggak kembali lagi!" tukas Joko. Dia tertawa terbahak-bahak sambil sesekali menutupi mulut dengan kepalan tangannya.

Setelah selesai dengan tawanya, Joko kembali menimpali, "Imam yang baik pun insya Allah nggak 'otoriter', ia bakal menyesuaikan diri dengan kondisi makmumnya."

"Terakhir, Man," tambah Joko sebelum aku sempat untuk memotongnya, "Beliau menutup ceramah dengan menunjukkan adab imam setelah salat. Seorang imam disunahkan untuk menengok ke arah makmum, dan ikut berdoa bersama mereka, yang ini kamu tahu maksudnya kan?" Joko tersenyum, seakan menerka bahwa aku paham maksudnya.

"Seorang pemimpin harus memerhatikan para pengikutnya, dan memastikan bahwa semua baik-baik saja kan?" aku menerka. Kali ini, aku yakin bahwa itulah pelajaran yang dimaksud Joko.

"Benar sekali, Man. Tentu saja masyarakat akan sangat merasa dihargai apabila sang pemimpin memperhatikan mereka. Dengan imam menghadap makmum setelah salat, kita bisa belajar bahwa pada akhirnya, kita semua setara. Baik imam maupun makmum, semuanya berdoa dengan khidmat di hadapan Allah," timpal Joko.

Aku sepenuhnya setuju. Menjadi beriman seharusnya membuat kita kian merasa kecil dan rendah hati, bukan menjadikannya jalan untuk saling menuding dan membunuh. Diam-diam, aku menyimpan rasa salut yang amat dalam terhadap ustad yang dikisahkan oleh Joko. Siapapun dirinya, ia telah menerjemahkan ritual ke dalam bahasa kemasyarakatan yang dekat dengan kita. Sesuatu yang kita butuhkan saat ini, ketika agama hanya dipahami sebatas dimensi kulit luarnya. Di saat yang sama, aku merenungi juga ilmu agamaku yang masih jauh dari kata sempurna. Aku bersyukur tidak buru-buru pulang ke rumah, pertemuanku dengan Joko hari ini cukup bermakna.

"Man, aku balik dulu ya, kantor fakultas sudah mau tutup soalnya," tepukan Joko di pundak membuyarkan lamunanku. Kutawarkan jabat tangan yang paling hangat untuk hari itu, dan ia pun pergi tanpa sempat aku mengucap terima kasih atas  kisahnya yang menggugah. Ah sudahlah, minggu depan kita masih bisa bertemu lagi.

Perlahan, aku melangkah keluar dari kampus. Saat menuju tempat parkir motor, kulihat sebuah spanduk bekas dari acara orientasi mahasiswa baru yang masih ada sejak September silam. Pada spanduk itu, tertulis: "Selamat datang, para calon pemimpin bangsa"

Aku tersenyum, mengambil motorku, dan bersegera pulang ke rumah. Tak sabar rasanya menanti waktu magrib tiba.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun