"Angka kemiskinan meningkat lalu standar kemiskinan diturunkan, apakah ini yang kita sebut baik? Orang yang pengeluarannya di atas dua puluh satu ribu perhari bukan lagi orang miskin" ucapku seraya meyakinkan. Tak cukup sampai di situ, aku mulai menyinggung tugas negara, "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, itu perintah konstitusi lho, apakah semua fakir miskin dan anak-anak yang terlantar sudah diperlakukan baik oleh negara?, kurasa itu cukup untuk meluluh lantahkan beberapa kata yang diucapkan Aca.
"Iya sih" ucap Aca dengan pelan. "Kayak kami juga dulu punya tanah di kampung terus udah turun temurun gitu kan tapi waktu bapakku mau ngurus sertipikat nya tiba-tiba seminggu kemudian ada palang bertuliskan "Tanah ini milik Negara", ricuh lah terus mereka bilang kami bisa pake tapi gak bisa punya sertipikat, ucapnya seolah curhat dengan menyampaikan keresahannya.Â
"Makanya kau masih bilang negara ini baik, sejak kapan negara punya tanah" ucapku meyakinkan. "Itu adalah strategi mereka agar sewaktu-waktu kalian bisa di usir padahal jauh sebelum negara ini lahir leluhurmu sudah menguasai tanah itu, akhirnya rakyat kecil tar marjinalisasi", jawabku kiranya jiwa aktivis berkobar-kobar.Â
"Makanya sebenarnya kita kayak dibodoh-bodohi kan sama mereka" kata Aca. Sepertinya dia mulai sadar. Aku lanjutkan percakapan dengan berkata "coba kita lihat penguasa kita sekarang, mereka bilang akan memperluas lahan sawit. Untuk siapa? Ya sudah pasti untuk para kapitalis, tidak mungkin bagi rakyat kecil. Terlepas dari aspek lingkungan statement itu sudah tolol ditambah lagi itu bisa berdampak terhadap masyarakat adat, masyarakat adat mereka coba punahkan dengan para kapitalis", aku kira orang-orang sekitar memperhatikan percakapan kami.Â
Ketiga teman yang lain hanya manggut-manggut seperti mengiyakan percakapan kami. "Terus kenapa kau bercita-cita jadi menteri?", tanya Maria tiba-tiba. "Apakah kamu mau jadi orang jahat juga? Soalnya kan banyak orang yang bersuara akhirnya setelah masuk terbawa arus", tambahnya seolah menyindir. "Iya, iya, iya", ucap Paulina dan Jusri serentak. Sebetulnya aku bingung kenapa mereka bertanya begitu pasalnya memang aku pernah bilang cita-citaku jadi menteri. Tapi masa iya mereka anggap itu serius, hahaha.
Kujawab saja, "Kalau orang-orang baik tidak mau jadi orang berpengaruh atau berkuasa, lalu siapa yang akan menghasilkan perubahan. Kita mau diam dengan kondisi negara seperti ini? Kalian, saya, ayo jadi orang-orang baik yang ingin jadi orang hebat, dengan begitu perubahan akan lahir. Makanya kita perluas gerakan ini, karena itulah kita bergabung kelompok studi, jawabku dengan percaya diri. Aku pikir mereka cukup pesimis dengan jawabanku tapi tidak apa-apa, pelan-pelan mereka pasti bisa.
Rupanya bapak yang kusebut di awal mendengar bincang-bincang kami. Duarr, klimaks pun tiba. Tiba-tiba ia menunjukkan lanyard yang ia gunakan dan duduk menghadapku. Ku coba perhatikan, rupanya lanyard nya tertulis "ASN", aku tak jeli melihat instansi mana. Mukanya murung, cemberut seolah tersinggung dengan ucapan-ucapan kami.
Tapi apa maksudnya dia berbuat begitu? Dia ingin menghentikan diskusi kami atau ingin membungkam suara kami karena dia "ASN", nampaknya begitu. Apa jabatannya? Baru jadi ASN saja sudah mau membungkam, dasar brengsek. Itulah yang kusebut "Bossy", merasa hebat, ingin mengontrol orang lain, atau sok powerful. "Bapak siapa sih ini?", ucapku dalam hati.
Waktu berlalu begitu cepat rupanya sudah pukul 13:59. Kelas akan mulai pada pukul 14:00, kami pun bergegas mengambil jalan masing-masing. Sebelum pulang aku sempatkan menyapa bapak itu. "Ayo pak", ucapku dengan gestur melawan. Aku ingin menegaskan bahwa dia bukan siapa-siapa. "Siapa kau? Sok-sokan mau melarang orang", ingin kukatakan begitu. Tapi sudahlah kelasku lebih penting dari dia.
Sebelum masuk kelas Aca bertanya "Bapak itu maksudnya apa tadi? Aku kaget lho", tanyanya penasaran. Kujawab saja "biasa orang-orang kreak yang sok powerful, dia mau bilang aku ini ASN jadi jangan kritik-kritik negara". "Ohh, soalnya aku masih baru lho kalau kalian kan sudah biasa" simpulnya.Â
Sebenarnya ceritanya tak sesingkat itu tapi pesannya adalah jangan merasa berkuasa atas orang lain kalau kamu pejabat. Kerjamu ya kerjakan, kerja kami ya ini. Memang pejabat-pejabat sering begitu, sifat "Bossy" melekat pada mereka.