Jumat, 24 Januari 2024. Barangkali hari itu adalah hari yang menyenangkan tapi hanya sampai pukul 13:30. Kenapa?Â
Perpustakaan memang ramah untuk dijadikan tempat diskusi. Itulah yang kami alami siang itu. Aku bersama teman-teman kelompok studi sibuk diskusi tentang kelompok kami.
Rencana, tindak lanjut, evaluasi. Tiga kata yang tidak pernah lepas dari agenda kami. Ruang diskusi cukup sengit mendapat perlawanan. Keras, saling mengkritik, bahkan meluapkan keresahan memang adalah hal sudah biasa. Namun bukan itu yang penting, sebab diskusi berakhir pukul 14:20 WIB.
Setelah diskusi, aku bersama empat (4) orang temanku memutuskan untuk makan siang bersama, mereka adalah Paulina, Maria, Aca, dan Jusri. Seperti biasa, makanan murah adalah makanan favorit mahasiswa. Mahasiswa mana? Siapa lagi kalau bukan mahasiswa tak ber uang.
Kami berjalan seraya terburu-buru mencari makanan di luar kampus. "Makanan mana?", ucapku seraya meminta rekomendasi. "Warung nenek aja", ucap Paulina dengan santai. "Hah, warung nenek? Apa yang punya kantin nenek-nenek ya?, ucapku dalam hati. Entah dari mana julukan itu berasal.
Paulina, Maria, dan Jusri menuju sebuah warung makan, mungkin itu yang mereka maksud warung nenek. Masa iya? Pasalnya tak ada satupun nenek di warung itu. Langkah mereka dihentikan dengan arah Aca yang melaju ke warung lain, "di sini masih ada urapnya", ucapnya sambil mencari tempat di dalam. Aku masuk dan mereka bertiga menyusul masuk.
Ketika aku masuk sudah pasti aku memperhatikan sekitar. Wajarlah soalnya aku baru pertama kali masuk warung itu. Rata-rata mahasiswa, hanya satu yang berbeda. Seorang bapak berpakaian rapi, gemuk, usianya mungkin setengah abad atau lebih, mungkin dia pekerja.
Pesanan pelan-pelan pesanan berdatangan dan kami siap santap. Tak lengkap rasanya jika makan tak disertai obrolan. Kami pun memulai obrolan dengan topik klasik bagi aktivis mahasiswa, "Negara", itulah yang kami bahas. Entah kenapa pertanyaan tiba-tiba muncul, "sebenarnya kenapa kamu begitu anti terhadap negara?, pertanyaan itu rupanya ditujukan Aca kepadaku.Â
Sebetulnya pertanyaan itu perlu direvisi namun kujawab saja sebab aku tau maksudnya. "Sebab tak ada yang bagus di negara ini, coba kamu sebutkan apa yang bagus dan akan saya bantah", ucapku dengan lantang. Aca menjawab, "Ada loh orang yang makan karena negara, misalnya di kampung kami orang-orang dikasih telur satu krak, beras lima kg, terus anak-anaknya dapat PIP dari sekolah, itukan membantu mereka", ucapnya seolah membela.
Tentu aku tak terima, pasalnya aku sudah siap dengan segala argumentasi yang puja-puji penguasa. "Apakah langkah itu berhasil menekan angka kemiskinan, apakah langkah itu berhasil membuat mereka sejahtera? Justru itulah yang membuat mental miskin mereka menjadi-jadi. Mereka miskin karena lahannya sempit atau karena tidak punya modal dan kurang sumber daya, lagian kalau negara memberi bantuan memang sudah seharusnya negara mensejahterakan rakyatnya sebab itulah tugasnya karena kita mengenal konsep welfare state. Jadi, kalau pun negara berbuat baik menurutmu ya memang tugas mereka" ucapku menggebu-gebu.