Terbengkalai! Satu kata yang cocok untuk menggambarkan kondisi pengelolaan sampah di Jember. Mengapa hal itu bisa terjadi? Sesulit itukah mengatasi masalah ini? Bagaimana kontribusi pemerintah dalam menanggulangi hal ini? Apakah masyarakat diam dalam permasalahan ini? Bagaimana solusi dari permasalahan tersebut? mari kita bahas tuntas terkait pertanyaan -pertanyaan tersebut.
Jember pernah menjadi salah satu peraih penghargaan Adipura pada tahun 2017. Penghargaan itu didapat setelah menunggu selama 23 tahun. Adanya penghargaan ini menjadi bukti komitmen Kabupaten Jember terhadap kebersihan dan lingkungan.Â
Namun, hal tersebut tidak bertahan lama, karena setelah mendapatkan penghargaan adipura konsistensi dalam mempertahankan prestasi tersebut malah cenderung mengalami degradasi. Bukan tanpa alasan, kita lihat saja bagaimana cara Jember memperlakukan pengelolaan sampah di daerah-daerahnya sendiri, salah satu contoh yang bisa kita lirik kondisi saat ini seperti pengelolaan sampah di Desa Jelbuk, Jember.
Beginilah kondisi tempat pembuangan sampah yang ada di Desa Jelbuk, tumpukan sampah tersebut merupakan kumpulan dari sampah rumah tangga, pasar dan sampah yang diangkut dari beberapa daerah sekitar Desa Jelbuk seperti Desa Panduman dan Desa Gumukcandi.Â
Tentu kumpulan sampah-sampah dari tempat yang berbeda-beda tersebut harusnya diimbangi dengan sistem pengelolaan sampah yang baik, namun sampai saat ini sistem pengelolaan sampah di Desa Jelbuk cenderung tidak tersistem buruk.Â
Bagaimana tidak, kumpulan sampah tersebut langsung dibakar tanpa dipilah terlebih dahulu, juga untuk pengumpulan dan pembakaran sampah hanya dioperasikan oleh dua orang yang dibekali mobil pick up saja, tanpa dibekali alat-alat kebersihan maupun pengaman.Â
Selain itu, untuk honor petugas sampah, perawatan mobil, bensin dan kebutuhan-kebutuhan lain terkait sampah ditangguhkan pada iuran masyarakat yang berlangganan untuk diambil sampahnya.Â
Tarif dari langganan itu sendiri mulai dari Rp15.000 - Rp20.000 dan tidak semua rumah masyarakat yang berada di Desa Jelbuk ikut berlangganan untuk diambil sampahnya. Menurut penuturan bapak Syamsul sendiri selaku salah satu aparat desa mengatakan alasan desa tidak menanggung semua biaya operasional sampah di sini lebih dikarenakan adanya dorongan masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam kebijakan pengelolaan sampah desa.Â
"Kan yang jadi repot itukan adanya partisipasi masyarakat mas, jadi ya udah desa hanya nyedian pikep sama lahan saja, untuk honor dan sisanya itu biar diambil dari dana iuran masyarakat mas". Ujar beliau.