"Ah, iya. Aku ikut. Ingatanmu hebat juga, ya. Padahal baru ngeliat sekali."
"Jelas dong. Hahaha. Waktu itu aku lagi ngeliput di sana, pas lagi rusuh-rusuhnya itu. Terus ngeliat kamu. Ya udah, aku jadi inget sampai sekarang."
"Segitu berkesannya aku, ya?"
"Hahahaha. Nggak juga," balasnya seraya tertawa ringan. "Oh, iya. Karena tugasku udah selesai. Aku pamit dulu, ya."
"Memangnya tau jalan pulang?"
"Ya, taulah. Memangnya aku anak kecil? Sudah, ya. Aku pergi dulu," ucapnya, yang kemudian langsung pergi menyebrangi jalan.
"Perlu aku antar?" teriakku ketika dia sudah berada di sebrang jalan.
"Nggak perlu. Terima kasih, Nathan," ucapnya yang langsung pergi begitu saja dan memasuki salah satu jalan setapak tanpa lampu yang ada di sebrang jalan. Lalu, dengan perlahan bayangannya pun mulai menghilang ditelan kegelapan.
Setelah kepergiannya, aku mulai merenungkan tentang sosok yang baru saja pergi meninggalkanku sendirian di sini. Siapa gadis bernama Karin itu? Kenapa mengenaliku yang notabennya adalah mahasiswa unpopular dan tidak memiliki banyak relasi dari fakultas lain? Lalu, pikiranku mulai menerawang ke masa lima bulan yang lalu. Saat terjadinya demo. Karin. Anggota pers mahasiswa. Mahasiswa Fakultas Sastra dan Ilmu Budaya.
Ah, sial! Aku benar-benar tidak mengenal dia siapa. Tapi rasanya wajah itu memang familiar di otakku. Tapi, siapa?
Karena terlalu penasaran, akhirnya aku membuka smartphone-ku dan menuju ke google untuk mencari tahu tentangnya. Siapa tahu memang ada, 'kan? Jadi tidak salahnya aku mencari di sana.