Nama : Wafi Audri Azhari Santoso
Nim : 202210230311542
Pandemi Covid-19, telah mengubah pola interaksi yang selama ini terjadi di masyarakat. Tak heran pasca Covid-19 menyerang pertama kali di Indonesia, berbagai permasalahan baik di bidang kesehatan, sosial, pendidikan, hingga ekonomi bermunculan. Permasalahan yang dirasakan bukan hanya perihal dampak pada aspek kesehatan fisik saja namun juga pada kesehatan mental.Â
Dalam beberapa kasus yang ditemukan disekitar kita pada masa pandemi sedang gencar melanda banyak dijumpai masyarakat yang merasa terganggu perihal mentalnya akibat terlalu banyak dilingkupi ketakutan dalam pikirannya.
Menurut (WHO, 1990), kesehatan mental adalah kondisi kesejahteraan (wellbeing) seorang individu yang menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan kehidupan yang normal, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya.
Berkaitan dengan kesehatan mental, kebiasaan mendiagnosa diri sendiri menjadi permasalah serius selama pandemi berlangsung yang membuat banyak masyarakat yang menereka tentang diri mereka masing-masing. Dalam permasalah psikologi fenomena ini dikenal dengan self-diagnose.Â
Dari beberapa kejadian yang ditemukan selama pandemi banyak para pemuda yang mengaku mengalami depresi dan gangguan mental di media sosial yang padahal jika ditelusuri merupakan gejala dari Self- diagnose.
Kebanyakan dari mereka yang melakukannya adalah anak muda, dan pada umumnya pelampiasan yang mereka lakukan adalah dengan menyakiti diri sendiri, memotong rambut hingga menangis terseduh-seduh sambil merekam kejadian tersebut dan mengunggahnya ke media sosial untuk mendapatkan simpati dan empati dari orang-orang yang mengikutinya dijagat maya. (Darmadi, 2022)Â
Menurut (White, 2009) Self diagnose adalah upaya memutuskan bahwa diri sedang mengidap suatu penyakit berdasarkan informasi yang diketahui. Upaya ini pada dasarnya mereka lakukan karena penasaran dengan gejala yang sedang dialami yang kemudian mendorong mereka untuk melakukan penelusuran tentang gejala yang dialami dengan membandingkannya pada referensi yang didapat dari jagat maya.Â
Self-diagnose dilakukan hampir oleh seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi karena mereka merasa khawatir akan diberi diagnosis penyakit yang buruk apabila berkonsultasi dengan dokter. Kurangnya kepercayaan mereka terhadap dokter karena takut di diagnosis terjangkit Covid-19 menjadi alasan bagi mereka untuk melakukan diagnosa mandiri (self diagnose)
Menurut seorang psikolog (Arjadi, 2019), kebiasan self diagnose sendiri memiliki kecenderungan dan dampak negatif apabila terlalu tergesah-gesah dalam menyimpulkan dan mengambil keputusan yang belum tentun benar kevalidannya. Kesalahan terbesar bagi masyarakat yang menerapkan self diagnose adalah melakukannya secara individu dengan pemahaman yang ala kadarnya dari internet dan enggan untuk berkonsultasi pada dokter ahli.
Self diagnose pada kesehatan mental dapat membuat individu mengalami kecemasan secara berlebih. Karena kecemasan berlebih inilah lazimnya para individu tersebut berperilaku tidak lazim seperti contohnya panik tanpa alasan, ketakutan berlebih terhadap suatu hal yang sebenarnya dapat diatasi.
Pada kasus selama pandemi kepanikan tersebut banyak dialami orang-orang yang memiliki ketakutan berlebih terhadap penyebaran virus Covid 19 sehingga melakukan beberapa tindakan yang tidak lazim dan cenderung tidak bisa dikontrol (panik) seperti panic buying, dan dampak paling buruk lainnya adalah meningkatkan kecemasan yang membuat seseorang merasa depresi.
Misalnya seperti menganggap segala bentuk penyakit yang berkaitan dengan batuk, radang dan hidung tersumbat sebagai gejala dari terjangkitnya virus Covid 19, yang kemudian hal tersebut mendorong seorang penderita untuk melakukan diagnosa pribadi melalui bantuan internet dengan mencari tahu tentang gejala dan cara pengobatan alaminya tanpa harus pergi ke dokter. Hal ini membuat para penderitanya menjadi resah dan cemas akibat rasa takutnya yang berlebih atas anggapan liarnya. Padahal pada dasarnya gejala tersebut mungkin saja hanya karena maindset seseorang tersebut, yang akibatnya adalah pada psikis seseorang tersebut dan mengganggu metabolisme tubuhnya.
Maka dari itu, Perlu adanya sosialiasi dan pendampingan terhadap para pendiagnosa untuk perlahan meninggalkan kebiasaan self diagnose yang tidak disertai dengan pengetahuan yang memadahi.Â
Maka pendekatan yang perlu dilakukan untuk mengurangi dampak self diagnose adalah dengan memberikan edukasi dan berdiskusi dengan masyarakat tentang bahayanya self diagnose. Pendekatan ini dilakukan agar supaya masyarakat umum tidak menelan mentah informasi yang didapat dari internet tanpa pengetahuan yang cukup tentang hal tersebut.Â
Masyarakat perlu mengetahui bahwa laman penyedia informasi tersebut apakah kredibel atau tidak. Untuk bisa mendapatkan diagnosis dengan benar, seseorang perlu mendatangi dokter. Lalu dilakukan anamnesis terkait keluhan dan pemeriksaan fisik dasar. Apabila dokter tersebut tidak mampu menangani penyakit tersebut, bisa dilakukan proses rujuk ke fasilitas tingkat lebih tinggi.
Daftar Pustaka
Arjadi, R. (2019). Bahaya self diagnose bagi kesehatan mental. Radiordk.
Darmadi, D. (2022). Self diagnosis dan pamer mental ilness. DetikNews.
White, R. &. (2009). Cyberchondria: Studies of the escalation of medical concerns in web search. ACM Transactions on information System, 1-37.
WHO. (1990). A, The introduction of a mental health component into Primary care.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI