Mohon tunggu...
Wafa Nur Afifah
Wafa Nur Afifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Sunan Gunung Djati bandung

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jejak Sejarah di Kawasan Kota Lama Bandung

26 Juni 2022   22:45 Diperbarui: 26 Juni 2022   23:56 1196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berjalan-jalan disekitar kawasan kota lama Bandung, menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan luar maupun dalam kota Bandung. 

Kawasan ini memiliki ciri khasnya tersendiri diantaranya adalah terdapat banyak sekali bangunan-bangunan yang dibangun pada masa kolonial dan membuat para pengunjung tertarik datang untuk berfoto. Namun, banyak sekali cerita sejarah yang ada di bangunan-bangunan tersebut.

Titik Nol Kilometer Bandung

 Titik nol kilometer kota Bandung ditandai dengan tugu kecil yang tingginya kurang dari satu meter. Jika dilihat tidak ada yg khusus dari gedung kantor Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Barat. yang bertempat di Jalan Asia Afrika, Bandung. Keindahan arsitektur gedung-gedung peninggalan Kolonial yang ada di sekitarnya, lebih menarik perhatian para wisatawan yang sedang berkunjung di kawasan tersebut.

Beberapa pengunjung yang berjalan-jalan di sekitar jalan Asia Afrika tertarik untuk mendekat karena di depan kantor tersebut ada sebuah monumen mesin menyerupai lokomotif tua, tetapi itu sebenarnya adalah sebuah mesing penggilingan (stoomwals) kuno. 

selain itu terdapat empat patung replika wajah yang terletak di sebelah kanan dan kiri monumen, sebelah kiri yaitu patung berwajah HW (Herman Willem) Daendels, dan patung RA Wiranatakusumah II yang saat itu menjabat sebagai bupati Bandung. Dan di sebelah kanan yaitu patung berwajah Ir. Soekarno dan Mas Soetardjo Kartohadikusumo.

  Selain itu terlihat juga sebuah prasasti yang berjudul "Prasasti Bandoneg '0' (Nol)". Dalam prasasti itu diceritakan kisah Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal tahun 1808-1811 yang ditugaskan oleh Pemerintah Hindia Belanda, 

untuk menjalankan tugas yaitu membangun Jalan raya Pos (Grote Postweg) dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sebagai upaya mempertahankan pulau jawa dari serangan Inggris. walaupun sampai saat ini, pembangunan jalan Anyer-Panarukan dikenal sebagai kerja paksa dan menewaskan banyak nyawa.

 Pada tahun 1810, Gubernur Jendral Daendels bersama Bupati Bandung RA Wiranatakusumah II berjalan ke sebuah tempat yang akan dilewati untuk pembangunan Jalan Raya Anyer-Panarukan. lalu Daendels menancapkan tongkatnya dan berkata "Zorg, dat als ik terug kom hier een satd is gebouwd." yang artinya "Coba usahakan, bila aku datang kembali ke tempat ini telah dibangun sebuah kota."

 Lalu akhirnya di tanggal 25 September 1810, Bupati Wiranatakusumah II mendapatkan surat keputusan untuk memindahkan pusat pemerintahan kota kabupaten yang awalnya berada di Dayeuhkolot ke lokasi dimana Daendels menancapkan tongkatnya. 

Dan karena peristiwa itu pula tanggal 25 September menjadi momentum hari jadi Kota Bandung, dan tempat Daendels menancapkan tongkatnya tersebut dijadikan "Titik Nol Kilometer Bandung".

Hotel Savoy Homann

Tidak jauh dari titik nol kilometer Bandung, berdiri sebuah bangunan hotel yang bernama Savoy Homann, yang terletak di seberang. Dari awal berdirinya sampai dengan saat ini, Savoy Homann tetap menjadi salah satu tempat persinggahan yang nyaman bagi wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung.

Awalnya hotel ini bernama "Homann" saja yang di ambil dari nama pemilik yang pertama yaitu Mr.A.Homann. Hotel ini pernah menjadi persinggahan dan penginapan para delegasi Negara-negara yang mengikuti Konferansi Asia Afrika (KAA), Konferensi PATA dan Konferensi Islam Asia Afrika

Pada awal berdirinya hotel Homann ini masih berbentuk rumah panggung, berdinding gedek bambu dan bertatap rumbia. Sekitar tahun 1871-1872, bangunan ini masih serupa dengan rumah penduduk biasa. Namun pada tahun 1867, rumah panggung milik keluarga Homann ini turun ke tanah dan berubah menjadi bangunan papan kayu.

Setelah beberapa kali mengalami perubahan gaya arsitektur bangunan, renovasi hotel "Homann" rampung pada akhir tahun 1939, persis dilambang Perang Dunia Kedua. Apa yang telah ditata dan sejak merampungkan gedung baru "Savoy" jadi berantakan dengan kedatangan Bala Tentara Jepang. Sejak tahun 1942, seluruh bangunan Savoy Homann dijadikan asrama Opsir Jepang, segala peralatan dan perlengkapan hotel rusak berat.

Gedung De Majestic

Gedung De Majestic merupakan salah satu bangunan karya C.P Wolff Schomaker yang didirikan pada tahun 1902 dan di gunakan sebagai bioskop untuk kaum elit Belanda sekaligus untuk melengkapi jalan Braga yang saat itu merupakan pusat perbelanjaan dan pusat mode di Hindia Belanda yang dikenal sebagai Paris van Java.

Gedung ini dibangun pada periodisasi ke 2 yaitu antara tahun 1922-1925. di periode ini schomaker memadukan beberapa unsur lokal arsitektur tradisional Indonesia dengan gaya arsitektur Eropa. Karakter Eropa terlihat dari ukuran dan bentuk geometris bangunannya dan penempatan pintu jendela. adapun unsur lokal yang diterapkan adlah Kala berukuran besar dan berwarna emas pada bagian atas fasad bangunan sebagai aksen.

Bangunan ini pernah mengalami beberapa kali pergantian nama dan fungsinya. saat pertama kali didirikan, bangunan ini diberi nama Concordia Bioscoop dan di era yang sama berganti menjadi Majestic Bioscoop. Lalu setelah kemerdekaan bangunan ini berganti nama menjadi Oriental Bioskop. 

Setelah itu masih dengan fungsi yang sama berubah kembali menjadi Bioskop Dewi. Pada tahun 2002, gedung bisokop majestic di lakukan pembangunan kembali dan dialihfungsikan menjadi gedung serba guna untuk berbagai kegiatan seperti pertemuan, pameran serta petunjukan musik dan namanya menjadi Asia Africa Cultural Center (AACC). dan sampai saat ini gedung tersebut telah berubah kembali menajdi De Majestic.

 Pada zaman kolonial Belanda itu, De Majestic merupakan gedung elit bagi kaum elit. Semua yang datang ke sini berpakaian rapi dan bersepatu. Bahkan pada zaman itu ada aturan di De Majestic yang berbunyi verbodden voor en honder inlander: "Dilarang masuk bagi anjing dan pribumi." 

Pribumi disejajarkan dengan anjing? Jelas saat itu De Majestic hanya diperuntukan bagi mereka para Toean dan Mevrouw. Sekarang, pakai sandal boleh saja. Sandal juga bagian dari simbol pemberontakan. Pemberontakan pada jajahan aliran elite dan jajahan aliran bijak yang kaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun