Jika saat ini anak-anak kita banyak yang kecanduan gawai, maka apa yang saya alami dulu ketika masih remaja adalah kecanduan radio. Saat itu tidak banyak anak seusia saya yang tergila-gila dengan radio gelombang pendek (short wave).
Ketika jam empat pagi, saat sebagian orang masih terlena di balik selimut, saya sudah berada di depan radio mendengarkan warta berita dari Radio Australia Siaran Indonesia (RASI). Pergi ke sekolah tidak lupa saya membawa pesawat radio gelombang pendek ukuran kecil. Di saat istirahat atau jam kosong pun saya masih sempat mendengarkan BBC World Service.
Pada malam hari, sambil belajar saya ditemani BBC London Siaran Indonesia, Suara Jerman (Deutsche Welle) dan Radio Nederland Wereldomroep Siaran Indonesia (Ranesi). Tengah malam, saya masih memutar Special English Program dari Voice of America (VOA), siaran berita dan features dalam bahasa Inggris yang disajikan dalam tempo lambat, untuk memberikan kesempatan kepada pendengar dengan bahasa ibu non-Inggris yang belum mahir berbahasa Inggris.
Dari radio-radio tersebutlah saya memeroleh banyak wawasan tentang politik, sosial, teknologi, seni, dan juga belajar bahasa. Tiap hari ada pelajaran bahasa Inggris dari Radio Australia, yang bernama English from Australia dan dari BBC London, BBC English Program. Dari Deutsche Welle juga ada pelajaran bahasa Jerman, Auf Deutsche Gesagt dan Deutsch, Warum Nich? Sebagai siswa SMA jurusan bahasa, waktu itu, saya merasa sangat terbantu dengan siaran-siaran tersebut.
Dari siaran gelombang pendek pula saya banyak mendapatkan wawasan tentang agama, terutama Kristen. Sejumlah lembaga penyiaran Kristen internasional memancarkan siarannya dalam bahasa Indonesia melalui gelombang pendek. Sekali pun saya penganut Islam, saya mendapatkan kesempatan kursus Alkitab gratis dari radio dan ditindaklanjuti dengan kursus melalui surat menyurat.
Dari hobi mendengarkan radio saya juga memeroleh banyak sahabat pena. Sahabat pena tersebut juga sama-sama pendengar radio gelombang pendek, tidak hanya dari Indonesia saja, tetapi beberapa juga dari luar negeri.Â
Saya juga tergabung dalam club-club pendengar radio gelombang pendek. Club-club itu menerbitkan buletin dalam wujud kertas stensilan. Tiap-tiap stasiun radio menerbitkan kalender, pedoman acara, dan juga sticker yang dibagikan gratis untuk pendengar yang memintanya. Â Radio-radio tersebut disiarkan langsung dari negaranya, dengan pemancar ulang di beberapa tempat di luar negeri.
Siaran radio gelombang pendek memang tidak begitu populer di masyarakat kita. Di samping kualitas suara yang tidak sebaik kualitas suara siaran radio yang menggunakan frekuensi modulasi (FM), siaran gelombang pendek tidak menarik bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, yang rata-rata menikmati radio untuk memeroleh hiburan. Siaran radio gelombang pendek sebagian besar menyajikan berita, ulasan, dan siaran kata yang lain, yang sangat minim dari konten-konten hiburan. Lagu-lagu biasanya hanya menjadi selingan sepintas saja.
Radio-radio asing berbahasa Indonesia tersebut menjadi alternatif informasi bagi penduduk Indonesia yang haus akan berita-berita seimbang, sebab banyak tokoh-tokoh Indonesia yang berseberangan dengan penguasa waktu itu mendapatkan panggung untuk berbicara di radio-radio ini. Berita-berita radio asing tersebut sangat seimbang, baik mengenai negaranya sendiri maupun berita-berita tentang Indonesia.
Voice of America (VOA) misalnya, sekalipun radio ini dikelola oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan menjadi corong Amerika Serikat ke seluruh dunia, namun demikian banyak berita-berita yang disajikan justru bermuatan kritik yang tajam terhadap kebijakan resmi pemerintah Amerika Serikat. Hal seperti ini tidak pernah kita jumpai pada media dalam negeri.Â
Ketika itu media masa di Indonesia masih mendapatkan kontrol ketat dari pemerintah. RRI dan TVRI adalah media masa elektronik corong pemerintah, dan seluruh isi siarannya tidak boleh bertentangan dengan kebijakan penguasa. Tiap hari masyarakat dicekoki doktrin-doktrin keberhasilan pemerintah Orde Baru. Segala macam kebobrokan ditutupi rapat-rapat. Tidak sedikit koran dan majalah dibredel lantaran memuat berita yang tidak segaris dengan penguasa ketika itu.
Ketika pemerintahan Orde Baru tumbang, Indonesia memulai babak baru dalam dunia pers. Media masa tidak lagi mendapatkan kontrol ketat dari pemerintah. Departemen Penerangan yang ketika itu merupakan momok bagi media masa ditiadakan sampai sekarang. Stasiun televisi swasta bermunculan, beberapa di antaranya adalah televisi berita. Hadirnya siaran-siaran televisi berita tersebut telah mengobati kerinduan sebagian masyarakat Indonesia yang menginginkan berita yang beragam serta seimbang.
Era keterbukaan di tanah air membuat radio-radio asing satu per satu menghentikan siarannya dalam bahasa Indonesia. Beberapa radio waktu itu masih bertahan melalui satelit, sekalipun sudah tidak lagi memancarkan siarannya melalui gelombang pendek. Perkembangan internet yang begitu cepat, lembaga-lembaga penyiaran asing tersebut lebih memilih menyiarkan berita, pelajaran bahasa dan memerkenalkan budayanya melalui website. Melalui website-nya Voice of America (VOA) juga masih memertahankan siaran beritanya dalam bentuk siaran radio dan televisi dalam bahasa Indonesia. Beberapa radio dan televisi filial turut menyiarkan beberapa program VOA.
Harus saya katakan terus terang, pada masa sebelum Orde Baru tumbang, RRI bukanlah siaran radio idola saya. Waktu itu saya sama sekali tidak bangga dengan RRI. Karena telinga saya sudah terbiasa mendengarkan siaran radio asing, saya merasa sangat aneh ketika mendengarkan berita-berita RRI. Sesekali saja saya mendengarkan Voice of Indonesia, siaran RRI dalam bahasa Inggris, hanya untuk sekadar mengasah telinga saya agar terbiasa mendengarkan siaran dalam bahasa Inggris.
Waktu telah berlalu, wajah RRI saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan wajah RRI era pemerintahan Orde Baru. Pada masa Orde Baru tidak pernah kita dengar tokoh-tokoh yang berseberangan dengan pemerintah bisa berbicara di RRI. Saat ini RRI adalah lembaga penyiaran yang sangat terbuka, segala aspirasi masyarakat bisa disampaikan lewat siaran RRI.Â
Dikutip dari laman ppid.rri.co.id RRI menyelenggaran siarannya berpedoman pada nilai-nilai standar penyiaran, antara lain siaran bersifat independen dan netral, dan siaran harus memihak pada kebenaran.
Kini RRI adalah teman saya dalam perjalanan ke mana pun. Di dalam mobil selalu berkumandang siaran Pro-3 RRI. Sejumlah tokoh dengan wawasan yang cerdas dan kritis bisa berbicara lantang di corong RRI. Kini saya sudah tidak takut lagi dicekoki dengan doktrin-doktrin pemerintah dan dibuai dengan siaran-siaran yang tidak mencerdaskan.Â
RRI telah menjadi idola baru saya. Masuk ke kota mana pun, yang selalu saya cari adalah siaran RRI. Aku bangga RRI. Semoga RRI tetap memertahankan independensinya. Selamat hari jadi ke-75. Semoga tetap menjadi radio kebanggaan Indonesia dalam mengawal demokrasi kita. Sekali di udara, tetap di udara! Sekali merdeka, tetap merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H