Sepanjang tahun 2020, lembaran kelam memang sering mewarnai kehidupan masyarakat adat Indonesia. Masih segar di ingatan kita tentang tindak kriminalisasi terhadap peladang di Kalimantan misalnya.
Mereka yang secara turun temurun membuka ladang dengan cara membakar, dan hanya sebatas untuk memenuhi ketahanan pangan lokal, dan sudah berlangsung ratusan dan bahkan mungkin ribuan tahun, serta terbukti tidak pernah merusak lingkungan hidup harus berhadapan dengan aparat hukum, sementara perusahaan-perusahaan besar yang melakukan pembakaran hutan banyak yang lolos dari sanksi hukum.
Segala macam persekusi di negeri ini yang dilakukan oleh pemerintah daerah seringkali mendapatkan pembiaran dari pemerintah pusat. Sekali pun mungkin ada respon dari pemerintah pusat, namun demikian biasanya hanyalah sekadar "pemanis bibir" dan tak pernah ada upaya serius dalam menuntaskan masalah.
Pembiaran ataupun bentuk-bentuk semacamnya dapat diartikan sebagai  menyetujui atas tindakan kesewenang-wenangan tersebut. Persekusi terhadap masyarakat adat dan minoritas pada umumnya menjadi tontonan berseri, dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya.
Pembelaan terhadap minoritas hanyalah janji manis penghias kampanye agar kelihatan sebagai calon pemimpin yang ideal, dan kandas ketika penguasa terpilih berhadapan dengan tekanan mayoritas yang juga "nagih janji" bahwa aspirasinya harus dipenuhi.
Laksana harus memilih di antara dua pilihan, pemerintah ternyata merasa lebih aman dan nyaman menuruti kehendak mayoritas ketimbang mendengarkan jeritas minoritas yang makin tertindas. Sempitnya wawasan aparat dan kesombongan relegius sebagian masyarakat kita, telah menempatkan minoritas sebagai pihak yang semakin terpinggirkan.
Menempelkan cap "sesat", "kafir", "meresahkan masyarakat", "penghambat pembangunan" dan semacamnya kepada sekelompok masyarakat yang menjadi sasaran peminggiran, adalah alat yang seringkali digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk membangun opini publik bahwa mereka layak dimusnahkan dari bumi pertiwi.
Dalam pasal 12 United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Masyarakat Adat) disebutkan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk mewujudkan, mempraktikan, mengembangkan dan mengajarkan spiritualitas, tradisi agama, adat istiadat dan upacara meraka.
Konstitusi kita juga menjamin kelangsungan hidup masyarakat adat. Dalam pasal 18B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dalam praktiknya, konstitusi seringkali diabaikan. Pemerintah sering  membiarkan pertikaian antar kelompok dan membiarkan hukum rimba berlaku di negeri ini: siapa yang kuat akan menang. Negara hanya menjadi penonton yang baik. Minoritas selalu menjadi bahan isu dan "barang dagangan" yang sewaktu-waktu bisa "dipoles" dan "dimainkan" dalam citra yang diinginkan oleh para pihak-pihak yang berkepentingan.
Bagi minoritas, ada atau tidak ada negara serasa tidak ada bedanya, sebab kebijakan pemerintah jarang berpihak kepada minoritas. Konstitusi pun seringkali ditabrak. Dalam kasus Sunda Wiwitan salah satu yang dijadikan dasar oleh pemerintah adalah pertimbangan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Desa Cisantana. MUI adalah organisasi masa (ormas), seperti juga ormas-ormas lainnya.