Mohon tunggu...
Wadji
Wadji Mohon Tunggu... Dosen - Ketua Umum Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI)

Love4All

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Djoko Tjandra, Joko Pandan, dan Joko Lainnya

3 Agustus 2020   12:42 Diperbarui: 3 Agustus 2020   12:38 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Majulah Joko Pandan! Di mana ia?

Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa

Anak panah empat arah dan musuh tiga silang

Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang

Bait tersebut adalah kutipan dari “Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo”, sebuah sajak yang ditulis oleh W.S. Rendra. Ada dua tokoh yang secara eksplisit disebutkan oleh Rendra dalam sajak ini, yakni Atmo Karpo dan Joko Pandan.

Akhir-akhir ini nama Joko sering muncul sebagai headline sejumlah media masa. Memiliki nama Joko, bisa menjadi kebanggaan, namun mungkin ada juga yang malu. Bangga karena nama presiden R.I. yang ke-tujuh bernama Joko Widodo, malu karena ada buron yang bernama Djoko Tjandra. Terdapat kemungkinan juga ada yang merasa bangga sekaligus malu, bahkan ada juga yang tidak bangga dan tidak malu.

Di masa kecil saya, nama Joko amat populer dalam cerita ludruk. Ludruk adalah kesenian daerah Jawa Timur, yang kala itu kesenian tersebut masih menemui kejayaannya. Sandiwara tradisional yang pemainnya didominasi oleh laki-laki ini, di samping laris dari panggung ke panggung, juga populer melalui siaran radio. 

Waktu itu Ludruk RRI Surabaya adalah kelompok ludruk yang menguasai media radio dan memiliki peran penting dalam melestarikan budaya Jawa Timur. Ludruk tidak hanya sekadar tontonan, tetapi sekaligus merupakan tuntunan. Melalui lakon ludruklah, pemirsa/pendengar turut diajak untuk merenung tentang problema hidup. 

Ludruk memang menyajikan kisah-kisah hidup sehari-hari, selebihnya berupa mitos, legenda dan sejarah yang dikemas dalam cerita rekaan. Dulu, ludruk selalu ditunggu-tunggu. Bahasa yang digunakan dalam ludruk adalah bahasa sehari-hari, yang mudah dicerna oleh semua lapisan masyarakat. Tari Remo dan dagelan yang mengawali pergelaran ini membuat ludruk menjadi tontonan yang segar dan menghibur.

Dari sekian banyak nama-nama tokoh dalam ludruk, barangkali nama Joko adalah nama yang paling populer, yang menjadi judul lakon ludruk. Ada lakon Joko Umbaran, Joko Berek, dan Joko-Joko lain yang sebagian besar sudah tidak saya ingat lagi. Secara harfiah kata “joko” berarti jejaka, lelaki bujangan. Menurut situs namamia.com,  nama Joko melambangkan ambisi yang membaja. Jika nama seseorang Joko, ia adalah orang yang tak henti-hentinya berupaya meraih apa yang diinginkan dalam hidup.

Saat ini pergelaran ludruk di kampung-kampung jarang kita jumpai. Dulu ludruk mudah ditemui di tempat-tempat hajatan, baik pengantin, sunatan, atau sekadar acara syukuran. Seniman ludruk, kala itu juga kebanjiran order dari instansi-instansi pemerintah. Ludruk digunakan sebagai corong untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. 

Saat ini kemungkian besar popularitas ludruk telah digeser oleh orkes dangdut. Pergelaran ludruk menjadi sajian langka, dan jika ada pergelaran ludruk pun, jumlah penonton jauh lebih sedikit daripada pergelaran orkes dangdut, yang penuh dengan sensasi goyangannya.

Di tengah sepinya pergelaran ludruk di panggung kesenian tradisional, munculah lakon Djoko Tjandra di panggung “ludruk nasional” sekaligus telah menggoyang para "pemain ludruk” yang lain. Serial panjang ini mencapai klimaksnya ketika tanggal 30 Juli lalu ia tak bisa lagi lolos untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, pasca petualangannya sejak tahun 2009 silam. Djoko Tjandra memang bukan lakon pertama, dan mungkin bukan pula yang terakhir, yang tampil dalam pergelaran “ludruk nasional”.

Dalam dunia sastra Indonesia, nama Joko juga bukan barang asing. Setidaknya ada nama-nama penyair yang mengandung nama Joko, seperti Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo.

Tokoh fiktif Joko juga ada dalam karya sastra. Setidaknya Rendra menampilkan tokoh Joko Pandan dalam puisinya yang berjudul “Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo”. 

Kebalikan dari kasus Djoko Tjandra, yang ia menjadi buron polisi selama lebih dari 10 tahun, dalam puisi ini yang mejadi buron adalah bapaknya, yakni Atmo Karpo. Sajak ini secara simbolik menyiratkan penderitaan Ayub yang bertubi-tubi, dimulai dari seluruh hartanya musnah, anak-anaknya mati sampai seluruh tubuhnya digerogoti penyakit. Ketegaran Ayub menghadapi cobaan ini dilukiskan Rendra dalam bait berikut ini.

Pada langkah pertama keduanya sama baja

Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo

Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka.

Dalam konteks masa kini, Ayub adalah antitesis dalam masyarakat yang dipenuhi oleh para koruptor. Jika para koruptor menempatkan harta benda di atas segalanya, sehingga seluruh cara pun digunakan untuk memerolehnya, namun yang diperbuat Ayub adalah sebaliknya. Secara material, Ayub adalah orang yang paling kaya di negerinya. Ketika seluruh harta Ayub musnah, Ayub tidak pernah berpaling, dan masih tetap setia memuji-NYA.

Di tengah “goyangan duniawi”Ayub masih tetap memerlihatkan sebagai orang yang paling kaya, kaya hati, dan kaya akan iman: "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayub 1:21).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun