Saat ini kemungkian besar popularitas ludruk telah digeser oleh orkes dangdut. Pergelaran ludruk menjadi sajian langka, dan jika ada pergelaran ludruk pun, jumlah penonton jauh lebih sedikit daripada pergelaran orkes dangdut, yang penuh dengan sensasi goyangannya.
Di tengah sepinya pergelaran ludruk di panggung kesenian tradisional, munculah lakon Djoko Tjandra di panggung “ludruk nasional” sekaligus telah menggoyang para "pemain ludruk” yang lain. Serial panjang ini mencapai klimaksnya ketika tanggal 30 Juli lalu ia tak bisa lagi lolos untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, pasca petualangannya sejak tahun 2009 silam. Djoko Tjandra memang bukan lakon pertama, dan mungkin bukan pula yang terakhir, yang tampil dalam pergelaran “ludruk nasional”.
Dalam dunia sastra Indonesia, nama Joko juga bukan barang asing. Setidaknya ada nama-nama penyair yang mengandung nama Joko, seperti Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo.
Tokoh fiktif Joko juga ada dalam karya sastra. Setidaknya Rendra menampilkan tokoh Joko Pandan dalam puisinya yang berjudul “Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo”.
Kebalikan dari kasus Djoko Tjandra, yang ia menjadi buron polisi selama lebih dari 10 tahun, dalam puisi ini yang mejadi buron adalah bapaknya, yakni Atmo Karpo. Sajak ini secara simbolik menyiratkan penderitaan Ayub yang bertubi-tubi, dimulai dari seluruh hartanya musnah, anak-anaknya mati sampai seluruh tubuhnya digerogoti penyakit. Ketegaran Ayub menghadapi cobaan ini dilukiskan Rendra dalam bait berikut ini.
Pada langkah pertama keduanya sama baja
Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka.
Dalam konteks masa kini, Ayub adalah antitesis dalam masyarakat yang dipenuhi oleh para koruptor. Jika para koruptor menempatkan harta benda di atas segalanya, sehingga seluruh cara pun digunakan untuk memerolehnya, namun yang diperbuat Ayub adalah sebaliknya. Secara material, Ayub adalah orang yang paling kaya di negerinya. Ketika seluruh harta Ayub musnah, Ayub tidak pernah berpaling, dan masih tetap setia memuji-NYA.
Di tengah “goyangan duniawi”Ayub masih tetap memerlihatkan sebagai orang yang paling kaya, kaya hati, dan kaya akan iman: "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayub 1:21).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI