Mohon tunggu...
Wadji
Wadji Mohon Tunggu... Dosen - Ketua Umum Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI)

Love4All

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyusui dan Menyuapi

1 Agustus 2020   22:00 Diperbarui: 2 Agustus 2020   08:06 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: shop.kmberggren.com

Diakui atau tidak, stereotip tersebut berangkat dari oposisi biner yang dikemukakan oleh Aristoteles, dan selebihnya dipengaruhi oleh penafsiran atas kitab suci.

Oposisi biner Aristoteles sebagaimana dikutip Antony Synnott dalam bukunya The Body Social: Symbolism, Self and Society (1993) bahwa laki-laki lebih kuat, perempuan lebih lemah, laki-laki pemberani, perempuan berhati-hati; laki-laki mencapai keinginan mereka di luar rumah, perempuan memelihara apa yang diperoleh di dalam rumah; satu seks diadaptasikan bagi aktivitas-aktivitas di luar ruangan, yang lain bagi kehidupan di dalam ruangan; dan meski keduanya berbagi dalam mendidik anak, perempuan tetap harus mengasuhnya sementara laki-laki mendidiknya.

Perempuan bisa menyusui, laki-laki tidak, adalah hal sederhana yang membuktikan oposisi biner tersebut telah menemui kegagalannya sejak semula. Salah satu kekuatan yang dimiliki oleh perempuan, dia adalah sumber kehidupan awal manusia, sejak janin tumbuh dalam rahimnya, dan berlanjut saat sang ibu menyusuinya kelak setelah lahir.

Setiap minggu pertama di bulan Agustus kita merayakan World Breastfeeding Week (Pekan Menyusui Sedunia). Even yang sangat mulia ini mengingatkan para ibu dan calon ibu tentang pentingnya menyusui sang jabang bayi. Ada sekian banyak ibu dengan aneka macam alasan tidak menyusui anaknya, mulai dari alasan kesibukan dalam pekerjaannya, persediaan susunya rendah, sampai penyakit menular.

Salah satu sarana pengikat antara ibu dan anak adalah aktivitas menyusui. Lusia Kus Anna (Kompas 22/1/14) menyatakan bahwa menyusui bukan hanya kegiatan paling ideal untuk melakukan sentuhan kulit, tetapi juga membuat Anda bisa berlatih mengetahui keinginannya. Perhatikan ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya.

Dengan memberikan perhatian dan kasih sayang, bayi akan belajar untuk percaya dan nyaman bersama Anda. Jika Anda tak bisa menyusui, maka lakukan lebih banyak kontak fisik dan ajak ia bicara saat memberikan susu kepadanya.

Klein seperti dikutip Sue Vice dalam artikelnya "Teori Feminis Psikoanalisis" mengatakan bahwa bayi merasa cemburu bukan terhadap penis laki-laki , namun pada kesempurnaan keibuan, keadaan bersatu dengan sang ibu.

Erich Fromm dalam bukunya Love, Sexuality and Matriarchy about Gender (1997), mengutip Bachoven yang menyatakan bahwa ikatan dengan ibu adalah ikatan emosional yang paling mendalam. Kerinduan yang paling dalam masa kanak-kanak -- sebuah kerinduan yang tidak pernah meninggalkan manusia, sampai akhirnya dia kembali ke ibu bumi -- adalah kerinduan terhadap kasih seorang ibu.

Ibu baginya adalah kehidupan, kehangatan, makanan, kebahagiaan, keamanan. Ia adalah cinta yang tidak bersyarat, pengalaman menjadi dicintai bukan karena saya patuh, baik, berguna, tetapi karena saya adalah anak ibu. Karena saya membutuhkan cinta dan perlindungan.

Kiranya tidak berlebihan ketika Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex (1989) mengutip pernyataan Hegel bahwa kelahiran anak adalah kematian orangtua. Anak adalah makhluk hasil cinta mereka yang bersifat eksternal, dan sebaliknya seorang anak akan memeroleh keberadaannya sendiri dalam pemisahan dari sumbernya, pemisahan di mana sumber tersebut akan menemukan jalan akhir.

Selanjutnya Beauvoir menyatakan bahwa seperti perempuan yang sedang jatuh cinta, seorang ibu merasa senang jika melihat dirinya dianggap penting; keberadaannya dibuktikan dengan keinginan yang ia sediakan; namun yang membuat sang ibu mencintai kesulitan dan kebesaran adalah kenyataan bahwa hal itu tidak membutuhkan hubungan timbal-balik; sang ibu tidak berhubungan dengan laki-laki, pahlawan, setengah dewa, tetapi dengan tubuh kecil, jiwa yang mengoceh, dan tersesat dalam kerapuhan dan ketergantungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun