Mohon tunggu...
Wadji
Wadji Mohon Tunggu... Dosen - Ketua Umum Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI)

Love4All

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Yodi Prabowo dan Bunuh Diri Idealisme

31 Juli 2020   20:23 Diperbarui: 8 Agustus 2020   08:47 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang yang menunggu

dan mengarungi waktu

hati padang tanpa bunga

udara dan batu sekali dikandungnya.


Sepi terbaring pada malam dan pagi

menyiksa racun jemu yang abadi.


Ia duduk di atas luka

berbelai dengan hawa ia berkata:

Saya sudah tua,

dan disuruh saya:


Duduk saja di sana!

Dan menanti

Kutipan di atas adalah puisi Rendra yang berjudul “Perempuan yang Menunggu.” Perempuan dalam sajak tersebut bisa seorang ibu yang menunggu suami atau anaknya, atau seorang gadis yang menunggu kekasihnya. Siapa pun perempuan yang ada di sajak itu, yang jelas Rendra ingin mengatakan tentang ketidakpastian, sampai kapan harus berharap. Saat ini, tidak hanya orang tua Yodi Prabowo, tetapi publik secara luas sedang menunggu agar penyebab kematian Yodi Prabowo, editor Metro TV, segera terungkap.

Sebagai orang yang awam dan terbiasa dengan berpikir secara sederhana, hati kecil saya sejak semula tidak pernah percaya bahwa Yodi  Prabowo, melakukan tindakan bunuh diri. Alasan saya sederhana saja, di saat tren bunuh diri memakai racun tikus atau racun nyamuk, Yodi Prabowo malah memilih bunuh diri dengan memakai sebilah pisau dapur. Sesuatu yang akhir-akhir ini barangkali dianggap tidak lazim. Dari situ, bayangan saya langsung mengarah pada cerita wayang, ketika Dewi Setyawati menusukkan keris ke tubuhnya, wujud cinta yang tulus kepada sang suami, Prabu Salya yang gugur di medan perang.

Kegalauan saya sempat ambyar ketika membaca tentang keterangan polisi yang memang cukup meyakinkan, bahwa Yodi melakukan tindak bunuh diri. Bukti-bukti yang dikemukakan polisi cukup lengkap mulai dari rekaman CCTV, pisau yang dipakai bunuh diri, sampai pada keterangan saksi-saksi. Sebagaimana diberitakan oleh Kompas.com (25/7) Tim Labfor Polri sudah memeriksa semua barang bukti, seperti rambut, pisau, motor, ponsel, dompet, dan pakaian korban. 

Hasilnya, semua barang bukti itu tidak ditemukan sidik jari orang lain. Polisi juga sudah memeriksa bercakan darah yang ada di pisau hingga cipratan darah di tembok, dipastikan seluruhnya adalah darah korban. Tak ditemukan pula tanda-tanda terjadinya pertikaian di lokasi ataupun di sekitarnya. Salah satu petunjuk yang sangat kuat adalah rekaman CCTV di toko Ace Hardware, di mana Yodi membeli sebuah pisau seorang diri pada tanggal 7 Juli 2020, siang hari.

Dokter Spesialis Forensik Rumah Sakit Polri Kramat Jati Arif Wahyono sebagaimana dikutip Tempo.co (25/7) mengatakan bahwa Yodi tewas karena 2 luka tusukan, yakni di bagian dada dan tenggorokan. Ia tewas diperkirakan pada Selasa, 7 Juli 2020 atau 3 hari sebelum jenazah ditemukan warga.

Meskipun keterangan tersebut begitu detilnya, namun sejumlah pihak, terutama orangtuanya, masih meragukan kesimpulan polisi tentang kematian Yodi Prabowo. Maklum, di tengah makin meningkatnya jurnalis menjadi korban kekerasan, kesimpulan apa pun, sekalipun itu mungkin benar, pasti masih akan tetap menyisakan sejumlah hal yang perlu dipertanyakan.  Apalagi menurut Suwandi, ayah Yodi Prabowo dalam perbincangannya dengan di acara Mata Najwa, Trans7 (30/7), sebelum menghilang, Yodi masih sempat mengedit empat berita, termasuk berita kasus Joko Tjandra. Ini, kata Suwandi, tidak bisa dilakukan oleh orang yang dalam keadaan depresi.

Di negeri ini profesi jurnalis memang kerap kali berhadapan dengan aparat hukum, penguasa, dan pemilik modal. Jurnalis adalah corong kebenaran, membeberkan fakta apa adanya, sehingga acapkali membuat geram mereka yang merasa terusik kepentingannya. Sejumlah kasus kematian jurnalis tidak pernah terungkap dengan tuntas.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, sebagaimana diberitakan oleh VOAIndonesia.com (14/01), pada Januari 2020 merilis laporan tahunan yang berisi beragam catatan mengenai kekerasan terhadap wartawan di Indonesia sepanjang 2019 dan proyeksi tentang kondisi kebebasan pers tahun ini. Menurut LBH Pers, aparat kepolisian merupakan pelaku terbanyak dalam melakukan kekerasan terhadap wartawan.

Dalam catatan LBH Pers, polisi terlibat dalam 33 kasus kekerasan terhadap wartawan. Pelaku kedua tertinggi adalah masyarakat (17 kasus). Pelaku terbanyak lainnya adalah pejabat publik (7 kasus) dan pengusaha (6 kasus). Pola kekerasan terbanyak dialami wartawan adalah kekerasan fisik (30 kasus), disusul dengan perusakan peralatan liputan (24 kasus) dan intimidasi (22 kasus). Kekerasan fisik dialami wartawan, biasanya terjadi saat mereka meliput tindakan represif aparat kepolisian kepada masa pengunjuk rasa.

Selain tindak kekerasan oleh aparat, awak media juga dibayangi ketakutan oleh “momok” beberapa pasal karet yang ada di dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-undang ITE seringkali disalahgunakan sebagai alat penguasa dan pemilik modal untuk menjerat siapa pun yang menjadi sasarannya. Orang-orang yang dianggap berseberangan pendapat atau mengganggu kepentingannya seringkali menjadi sasaran korban Undang-undang ITE. Sejumlah elemen masyarakat telah mendorong agar beberapa pasal karet dalam undang-undang tersebut dihapus.

Menurut Haris Prabowo (Tirto.id 27/12/19) dalam penerapannya, pasal-pasal karet dalam UU ITE justru menjadi senjata untuk menjebak lawan politik. Aparat negara disinyalir menjadi pelaku kekerasan terkait hak berekspresi warga. Pelapor kasus UU ITE terbanyak, misalnya, justru dari kalangan pejabat negara: 35,92 persen. Pelaporan pejabat negara kepada terlapor awam berbasis ujaran ekspresi dan kritik atas kinerja atau posisi pejabat tersebut. Namun, kata Haris, kasus cenderung diarahkan kepada materi bermuatan ujaran kebencian. Bukannya melindungi, pasal karet kerap dipakai sebagai alat membungkam masyarakat sendiri.

Hukum di Indonesia sering diistilahkan sebagai runcing ke bawah, dan tumpul ke atas. Sindiran Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolhukam), Prof. Mahfud MD tentang “industri hukum” di Indonesia tampanya sangat tepat. Sebagaimana dikutip Kompas.com (9/12/19) ia mengatakan bahwa  fenomena "industri hukum" adalah ketika hukum disalahgunakan untuk kepentingan seseorang. Industri hukum itu adalah suatu penegakan hukum di mana hukum itu diakali, dicari-carikan sehingga orang yang salah itu menjadi bebas, orang yang benar itu bisa masuk penjara. Ia minta hukum jangan dijadikan industri.

Lemahnya penegakan hukum membuat jurnalis menjadi pihak yang rentan dari tindak kekerasan dan kriminalisasi. Perlindungan hukum terhadap profesi ini masih jauh dari yang diharapkan. Telah banyak jurnalis di negeri ini menjadi korban kekerasan, bahkan beberapa di antara mereka telah terbunuh di kala melaksanakan tugasnya, namun idealisme jurnalis tidak akan dapat dibunuh, dan idealisme tidak akan pernah bunuh diri. Isya-Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun