“A campaign is any series of actions or events that are meant to achieve a particular result, like an advertising campaign of television commercials and Internet ads that tries to convince kids to buy bubble gum-flavored toothpaste”. – Vocabulary.com
[caption id="attachment_330277" align="aligncenter" width="663" caption="Ketua Umum Hanura Wiranto berkampanye di Serang. (Antara/ Ismar Patrizki)"][/caption]
SAYA masih nggak habis pikir dengan model kampanye konvoy beriringan di sepanjang jalan dan menghimpun massa di suatu lapangan. Penyelenggara kampanye tersebut sebenernya ngerti nggak arti dan tujuan dari “kampanye?”
Menurut pemahaman saya, dalam kampanye ada dua pihak yang harus ada:
1. Pihak yang berkampanye dan
2. Pihak yang jadi sasaran kampanye (audience).
Nah, pihak kedua itu seringkali nggak jelas.
Ambil contoh: Suatu parpol mengadakan kampanye di jalan raya dengan iring-iringan kendaraan bermotor. Siapa yang jadi sasaran kampanye? Masyarakat umum? Kebanyakan masyarakat malah jengkel karena jalanan dibuat macet. Apakah itu tujuan kampanye? Mending kalo iring-iringannya bagus kayak pawai dan ada atraksinya, lha kebanyakan cuma pamer klakson doang. Ini jelas makan biaya dan tidak efisien.
Contoh lagi: Suatu parpol mengumpulkan massa di lapangan luas. Ada dua contoh kondisi dalam hal ini.
Kondisi pertama: Massa tersebut adalah massa fanatik/loyal terhadap partai. Dalam kondisi tersebut, untuk apa kampanye dihadapan pemirsa yang sudah bakal memilih partai tersebut? Lain urusan kalo itu adalah acara internal partai, misalnya ulang tahun partai.
Kondisi kedua: Massa tersebut adalah massa bayaran. Ini lebih aneh lagi, sama aja kayak onani. Bayangkan, kita keluar uang milyaran untuk bikin acara dan bayar orang untuk sorak-sorak dan tepuk tangan saat kita kasih orasi.
Namanya juga massa bayaran, belum tentu mereka akan menyimak pemaparan visi-misi apalagi milih partai tersebut. Buat mereka, yang penting kan dibayar.
Dalam pemahaman saya, sasaran audience paling utama untuk kampanye partai itu adalah kelompok “swing voters” dan para golputers. Bukan massa fanatik dari partai tersebut. Tujuannya jelas: bagaimana meyakinkan mereka (swing voters dan golputers) agar memilih partai tersebut.
Kampanye di depan massa bayaran, massa loyalis partai, massa loyalis partai lain, itu sebenarnya tidak efisien.
Nah, susahnya kampanye partai itu adalah: Mereka hanya punya waktu tiga minggu untuk meyakinkan audience (swing voters dan golputers). Promosi suatu produk sampai benar-benar menguasai pasar saja tidak mungkin hanya dalam waktu tiga minggu.
Masyarakat, terutama para “swing voters” yang akhirnya memilih suatu partai pada pemilu saya kira lebih banyak dipengaruhi oleh citra dan kinerja partai/tokoh capres di luar masa kampanye yang singkat itu ketimbang hasil simpati karena telah disuguhi dangdut dan memahami visi-misi yang dipaparkan dalam orasi singkat di lapangan.
Jadi, efisienkah “kampanye singkat” menjelang pemilu itu? Menurut hitungan saya sih tidak terlalu efisien. Terlalu banyak buang uang untuk hal-hal tidak perlu.
Daripada uang milyar-milyaran dihamburkan untuk menggalang konvoy massa dan bikin acara besar di lapangan luas yang diisi massa loyalis atau massa bayaran, lebih baik uang segitu untuk “beli suara” para swing voters dengan sistem “pasca-bayar”. Dari segi efisiensi, itu jauh lebih efisien walaupun tidak etis. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H