Mohon tunggu...
Achmmad M
Achmmad M Mohon Tunggu... -

Lepaskan ...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Omdo Saya untuk Atasi Banjir Jakarta

5 Agustus 2013   12:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:36 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banjir Jakarta adalah salah satu masalah terbesar yang dihadapi, secara eksklusif, sebagai tugas yang dibebankan kepada pemerintah. Ya gubernur dan wakil gubernur. Selain itu, beberapa pihak juga mulai mengingatkan agar penduduk Jakarta juga sadar untuk mencegah banjir. Nah, terlepas dari itu, ada beberapa hal yang rasanya belum terjawab, khususnya oleh saya sendiri, terkait penyelesaian masalah banjir di Jakarta. Ya, mungkin beberapa jawaban memang sudah ada, misalnya mampatnya kali, kiriman banjir, dan entah beberapa penyebab umum lain. Sementara itu, sisi-sisi lain yang mungkin saya anggap lebih fundamental ternyata belum banyak tersedia informasi. Ada dua hal yang saya anggap sangat penting untuk kita ketahui, antara lain lansekap asli kota Jakarta tempo dulu serta perkembangannya dan sejarah banjir di Jakarta. Untuk mengetahui lansekap asli Jakarta, jelas saja kita harus membaca literatur-literatur yang untungnya, mungkin kebanyakan berbahasa Belanda. Ya, jika memang benar, setidaknya perkembangan kota Jakarta menjadi pusat perdagangan adalah saat-saat pendudukan Belanda di Indonesia. Silakan lihat History of Jakarta. Oleh karena saya bukan dari latar belakang arsitektur, mungkin pendapat saya ini salah. Jika memang Belanda dulu membangun, setidaknya mungkin akan ada konsep bahwa Batavia itu akan seperti apa. Untuk tahu akan seperti apa, misalkan persebaran bangunan dan pemukiman, perlu ada peta lansekap. Saya harap ada kompasianer yang bisa dan mau menjabarkan peta berikut ini.

[Sumber: Wikipedia - Author: Link].

Yang saya tahu, di situ memang ada beberapa lokasi merupakan rawa atau berawa ditunjukkan dengan tulisan “Sumpfe” atau “Sumpfige”. Sisanya, perlu diketahui lahan-lahan kosong tersebut sebenarnya adalah apa. Saya rasa ini penting untuk diketahui mengingat daerah rawa jika tidak salah sering tergenang dengan air, dan jika diurug paksa, mungkin airnya akan berpindah ke lokasi terdekat saat ada aliran air masuk. Saya tidak tahu apakah pemerintah Indonesia, atau mungkin Belanda, memiliki arsip semacam itu, khususnya rencana pembangunan Jakarta tempo dulu, sebelum orang-orang berdatangan ke Jakarta secara massif. Setidaknya perlu diketahui, apakah daerah yang saat ini rawan banjir memang tidak dijadikan sebagai lokasi pembangunan gedung, perumahan dsb. Telah dicatat bahwa 24.000 hektar (40%) dari luas kota Jakarta berada di bawah permukaan laut.  Lihat "Stay Alert Floods, Jokowi". Jadi, sepertinya banjir Jakarta ini bisa dibilang “alami”, terlepas dari berbagai pendapat lain. Saya sempat mengobrol dengan kawan saya dan mengatakan, dia mendapatkan info lebih kurang menyatakan bahwa banjir di Jakarta, khususnya rob itu peristiwa alami, tentunya penanggulangannya ya “tidak ada”. Untuk urusan ini, saya mengusulkan, maaf cuma usul, kalau restrukturisasi kota perlu referensi dari Belanda. Ya, lagi-lagi Belanda, yang juga memiliki kasus yang sama. Sebabnya juga sama, karena manusia, cuma beda secara teknis. Sebagian daratan di bawah permukaan laut di Belanda disebabkan oleh ekstraksi gambut yang berlebihan. Lihat Netherlands. Sebelum pembangunan infratstruktur anti banjir, Delta Work, Belanda juga menjadi langganan banjir, tidak jauh kira-kira dengan Jakarta. Misi Delta Work, untuk mencegah banjir, dilakukan antara lain dengan membangun dam. Selengkapnya silakan baca Delta Works.

13756790821915659040
13756790821915659040
Ilustrasi Delta Works. via Deltawerken Copyright: OpenStreetMap.org
“Yang menarik adalah, proyek tersebut membutuhkan waktu 30 tahun!!” - Wikipedia.

Mungkin itu adalah penyelesaian berdasarkan lansekap Jakarta yang ada. Mungkin kita perlu belajar dari Belanda. Mungkin saja Delta Work termodifikasi bisa dilakukan di Jakarta, tentu ini perlu biaya besar dan kerja keras terus menerus. Selain itu, perlu ditilik juga sejarah banjir di Jakarta. Banjir juga terjadi semenjak tahun 1621, 1654, 1918, 1942, 1976, 1996, 2002, 2007. Faktor alami adalah gelombang tinggi karena pengaruh gravitasi bulan. Saya kurang paham tentang hal ini, silakan dikoreksi. Lihat "Stay Alert Floods, Jokowi". Secara historis, pada tahun-tahun banjir tersebut, tentu terdapat beberapa perubahan di kota Jakarta. Misalkan pembangunan, pertambahan jumlah penduduk, atau mungkin perubahan keadaan sungai dan juga kota terdekat yang mungkin menyebabkan banjir. Penelusuran literatur untuk kondisi sosial masyarakat pada era-era banjir perlu dikaji. Saya tidak tahu metodenya seperti apa, namun perbandingan tiap tahunnya mungkin bisa dijadikan sebagai salah satu wahana untuk mengetahui penyebab banjir selain yang selama ini di dengungkan, semisal banjir kiriman, buang sampah sembarangan dll. Siapa tahu ada penyebab yang lebih mendasar selain hal-hal itu semua.

"Ini adalah proyek besar, semua harus mendukung, dan butuh waktu puluhan tahun. Harus diwariskan dari kepemimpinan satu ke kepempimpinan selanjutnya!!"

Itulah mungkin usulan saya yang masih abstrak, saya harap akan banyak usulan dari berbagai sudut pandang lain, koreksi pendapat dan sebagainya. Salam Kompasiana! Salam penghuni Jakarta, kata salah satu guru saya*, Ich bin Batavianer!! *: identitas tidak saya sebutkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun