Sebenarnya, ide ini tercetus ketika ada obrolan di Twitter* setelah tragedi ledakan bom di Vihara Ekayana [Sumber] Kebetulan, Vihara tersebut juga tempat ibadah rekan dekat saya.
Waktu itu, pembicaraan sempat menuju ke arah kenapa Menteri Agama, sebagai Muslim, tidak mengucapkan selamat saat perayaan hari besar Umat Kristiani, yaitu Hari Natal.
Sebenarnya hal ini memang sangat sensitif. Karena, dengan tidak mengucapkan selamat, pastilah ada anggapan negatif terhadap umat Muslim.
Namun, di sisi lain, pendapat yang berbeda di kalangan umat Muslim sendiri terjadi. Ada yang memperbolehkannya dan ada yang tidak.
Nah, saya tidak akan membahas lebih lanjut terkait hal tersebut, karena bersifat sangat pribadi. Sebelumnya saya juga mohon maaf, saya sendiri tidak mengucapkan selamat pada saat umat agama lain merayakan hari besar, mohon dimaklumi.
Oleh karena itu, saya ingin mencoba menduga kenapa hal ini bisa dipermasalahkan. Satu hal, mungkin karena kita kurang membuka diri terhadap agama lain. Ini bukan bermaksud menuduh pembaca, mohon dimaafkan.
Saya kebetulan pernah berkunjung ke Sumatera Utara, yaitu di daerah PakPak Bharat, Sidikalang, dan Simalungun. Kebetulan sekali, saya tinggal di rumah pemeluk Nasrani. Saya di sana sering berdiskusi mengenai berbagai hal, termasuk agama dan keyakinan. Meskipun memang tidak khusus masalah mengucapkan selamat hari raya, setidaknya berbagai hal yang dianggap tabu bisa kami bicarakan dengan santai dan saling mengerti.
Sementara itu, saat berkunjung ke Simalungun, saya mendapati sebuah desa yang mayoritas Nasrani. Waktu itu, saya bertemu dengan kepala desa, karena kebetulan beliau juga Nasrani, maka saya dipersilakan untuk menginap di rumah orang Muslim.
Kira-kira begitu cerita singkatnya. Apalagi kalau terkait makanan, sekalinya saya datang ke sana, ke tiga tempat tersebut, saya diberitahu bahwa ini yang boleh dimakan orang Muslim dan tidak. Mereka yang memberitahu saya.
Dari situ, saya memetik satu hal yang penting untuk menjalin kerukunan dalam kehidupan antar pemeluk agama, yaitu berkomunikasi dengan baik serta tidak saling curiga satu sama lain. Bukan maksud saya menganggap bahwa di antara pembaca tidak berkomunikasi dengan baik.
Dalam artian, masing-masing agama memiliki aturan sendiri yang bersumber dari kitab suci masing-masing agama. Di umat Muslim, ada tambahan yaitu berupa Hadits serta kesepakatan berdasarkan cara-cara dalam dua sumber hukum tersebut. Tentunya, aturan tersebut yang harus diikuti oleh seorang Muslim. Begitu juga dengan Nasrani, ada Al Kitab, dan tentunya aturan itulah yang harus dipenuhi.
Mengucapkan selamat saat perayaan hari raya umat agama lain menjadi perdebatan, oleh karena itu, mungkin pak Menteri Agama memang berkeyakinan tidak boleh. Mohon dimaklumi untuk hal ini.
Sementara itu, beberapa orang menganggap hal tersebut melanggar toleransi beragama. Sehingga mungkin muncul pertanyaan, kalau begitu, kenapa jadi Menteri Agama RI? Tidak Menteri Agama Islam? Pertanyaan yang juga terlontar selama obrolan di Twitter*.
Berhubung ini masalah keyakinan, saya tidak berani menggugat Pak Menteri Agama. Pun, jika Menteri Agama RI non-muslim pun, tidak akan saya tuntut untuk harus mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri, misalnya.
Toleransi mungkin saya sendiri mendefinisikannya sebagai menghargai, bukan berarti mengikuti. Mohon maaf sekali jika pendapat ini sangat kasar di hati sebagian pembaca.
Jadi, kita perlu mengetahui batas-batas aturan agama yang dianut oleh orang lain, mendiskusikannya, mengobrolkannya agar bisa saling mengerti. Jika memang sudah saling menghormati, misalnya Muslim di dalam agamanya tidak diperkenankan mengucapkan selamat pada hari raya agama lain, tentu hal tersebut tidak menjadi masalah. Ini menurut saya, silakan ditanggapi jika ada kesalahan atau kekurangsetujuan.
Di kosan saya, yang kebetulan juga diisi oleh dua pemeluk agama, yaitu Muslim dan Nasrani, tidak pernah terjadi sikut kanan sikut kiri, hehe. Seringkali kami berdiskusi, walau kadang tidak langsung, tentang aturan agama masing-masing, dan itu seru-seru saja. Dan kehidupan kos kami tetap ramai, masak mie bersama sebagai anak kos.
Nah, terkait hal tersebut, agama berasal dari hati, menurut saya. Jika ada perayaan hari besar, mengapa menteri tidak ikut mengucapkan ke seluruh agama di NKRI? Mungkin jawaban saya adalah, keyakinan dan aturan dalam agama yang dianutlah yang menjadikannya. Tentunya perlu dimaklumi juga, tidak untuk diperdebatkan.
Atau mungkinkan kita butuh menteri untuk tiap-tiap agama? Salam kompasiana!
*: Di sana ada Pak @gm_gm, saudara @desyukron, dan Ibu @kristuti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H