Sejak zaman SD, ya dulu saya pernah sekolah, saya selalu “dibujuki” dengan kalimat bahwa ladang berpindah merupakan salah satu penyebab rusaknya hutan. Penyebabnya mungkin klasik, karena pepohonan banyak ditebang, semak-semak dibakar dan entahlah masih banyak lagi. Namun, sepertinya ada sesuatu yang tidak sepenuhnya benar mengenai hal itu. Gagasan semacam ini saya mantapkan ketika saya sedang mengobrol dengan salah satu teman saya. Ia memiliki rumah di Riau, sedang kampung aslinya berada di Tarutung, Sumatera Utara. Waktu itu, kami berdua sedang asyik ngobrol tentang Bukit Barisan, gunung berapi, cerita tentang Krakatau dan sebagainya. Saat saya menengok salah satu halaman buku berjudul Ekspedisi Bukit Barisan 2011: Peduli dan Lestarikan Alam Indonesia (buku pinjaman dari teman saya yang meminjam), saya jadi teringat ketika berkesempatan menyaksikan bagaimana sistem ladang berpindah yang saya duga sudah turun temurun. Kedua contohnya berasal dari Sumatera Utara, dari PakPak Bharat dan Simalungun. Waktu itu, saya berkesempatan untuk mengunjungi kawasan pinggir hutan di PakPak Bharat, termasuk deretan Bukit Barisan. Bersama beberapa penduduk lokal, saya sempat melintasi bekas ladang yang sudah ditinggalkan selama 25 tahun lebih, konon begitu ceritanya. Ya, meskipun memang tidak selebat hutan Amazon, bisa tergambarkan bahwa kawasan tersebut sudah tampak seperti hutan lagi. Pepohonan tumbuh dengan suburnya, tanpa ada masyarakat yang menganggu atau menebangi pohon. Beberapa hari kemudian, saya berkesempatan untuk mengunjungi lokasi lain. Masih di lokasi berdekatan, saya mengunjungi lokasi yang dinamakan dengan rambah kedep (semoga tidak salah tulis). Lokasi tersebut adalah ladang yang sudah ditinggalkan, dan perawakannya mirip sekali dengan hutan. Banyak bunga cantik di sana, ada bunga lipstick (Aeschynanthus) dan juga burung alap-alap (tidak teridentifikasi sampai jenis). Beberapa waktu kemudian, saya berkesempatan untuk mengunjungi sudut lain tanah yang dihuni Suku Batal, yaitu Dolok Simbolon, Simalungun. Perjalanan sepintas melintasi tebing dan lembah yang sungguh luar biasa. Terkait dengan ladang berpindah, satu hal yang saya ingat saat itu adalah bekas persawahan yang mirip dengan rawa-rawa. Saat melintasi bekas hamparan sawah yang berlumpur, saya membayangkan di situ ada ular besar yang akan mengejar kami layaknya di film-film. Untung saja itu hanya ilusi saya. Hehe. “Itu merupakan tanda bekas kampung,” kata salah satu rekan saya waktu itu, Pak Paimon namanya. “Ah, mana mungkin itu bekas kampung?” masih kagum dan agak tak percaya (Semoga tidak banyak salah info di sini). Beberapa batang durian besar nampak gagah menjulang di sela-sela pepohonan “hutan”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H