Revolusi industri 4.0 diiringi disruptive innovationnya menempatkan pendidikan islam di persimpangan jalan. Persimpangan itu akan membawa dampak bagi masing masing institusi pendidikan diantaranya madrasah.
Kini pembelajaran madrasah bebas memilah dan memilih apakah dirinya harus siap menghadapi perubahan yang baru sehingga mampu berdaya saing atau justru sebaliknya dengan hanya bertahan dengan pola dan tradisi masa silam.
Dampak Revolusi Industri
Mengutip hasil penelitian dari McKinsey pada tahun 2016 bahwa dampak dari digital technology menuju revolusi industri 4.0 pada lima tahun kedepan akan ditemukan 52,6 juta jenis pekerjaan yang akan mengalami pergeseran atau hilang dari muka bumi.
Hasil penelitian ini menyiratkan pesan bahwa masyarakat yang masih ingin memiliki eksistensi diri dalam kompetisi global harus mempersiapkan mental dan skill yang mempunyai keunggulan kompetitif (competitive advantage) dari lainnya.
Jalan utama mempersiapkan skill yang paling mudah dilakukan adalah dengan berperilaku baik (behavioral attitude), meningkatkan kompetensi diri dan memiliki semangat literasi. Kesiapan diri tersebut dapat dilalui dengan jalur pendidikan dan konsep diri melalui pengalaman bekerjasama lintas generasi dan disiplin ilmu.
Berdasarkan realitas tersebut, maka perlu adanya revolusi di dalam tubuh pendidikan Islam. Pendidikan Islam di era 4.0 perlu untuk turut mendisrupsi diri jika ingin memperkuat eksistensinya. Mendisrupsi diri berarti menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat serta berorientasi pada masa depan.
Dirjen Pendidikan Islam Muhammad Ali Ramdhani dalam pidatonya mengatakan bahwa perlu adanya kemampuan adaptasi agar seorang pembelajar mampu menyelaraskan diri dan berdialog dengan lingkungan strategis di sekitarnya, tanpa kehilangan identitasnya.
Baginya, adaptasi harus menjadi kekuatan untuk memahami, bahwa sebuah lembaga pendidikan harus menghadirkan anak zaman. Mereka yang beribukan waktu berayahkan zaman akan menari bersama zaman untuk menarikan zaman. Dan dalam konteks pendidikan, dinamika zaman hari ini adalah kebutuhan manusia terhadap penguasaan teknologi.
Menciptakan Anak Didik Penguasa Zaman
Ramdhani memiliki pandangan bahwa orang yang hebat pada hari ini adalah orang yang mampu membaca masa depan dengan baik. Guru yang hebat akan mampu melahirkan anak didik yang akan bisa menguasai zamannya. Dan kemampuan ini harus diimbangi oleh guru yang terus belajar menyesuaikan zaman.
Menurutnya, orang yang terus belajar adalah pemilik peradaban masa depan. Eksistensi belajar adalah eksistensi kehidupan, berhentinya belajar adalah berhentinya kehidupan.
Seiring dengan kemajuan zaman, guru menghadapi tantangan mengintegrasikan teknologi secara efektif ke dalam kegiatan belajar mengajar. Meskipun demikian, teknologi tentu tidak dapat menggantikan peran guru sepenuhnya. Salah satu unsur yang harus ada dalam pembelajaran adalah unsur pedagogik.
Oleh karenanya, penggunaan teknologi dalam pembelajaran membutuhkan suatu pemahaman mengenai prinsip pedagogik khususnya dalam mengintegrasikan teknologi untuk mewujudkan transformasi pembelajaran.
Transformasi pembelajaran ini tidak hanya semata berbicara tentang penggunaan teknologi digital dalam pembelajaran, lebih dari itu peserta didik perlu dibekali dengan satu kecakapan berpikir komputasi atau sering dikenal dengan istilah Computational Thinking (CT).
Dalam dunia pendidikan, computational thinking kerapkali didefinisikan sebagai metode pemecahan masalah yang didalamnya melibatkan pengungkapan masalah dan solusi.
Memasuki abad ke-21 computational thinking menjadi keterampilan dasar berpikir yang wajib dimiliki oleh peserta didik seperti halnya kemampuan membaca, menulis, dan berhitung.
Berpikir komputasi melatih otak untuk terbiasa berfikir secara logis, terstruktur, dan kreatif serta membuat peserta didik lebih cerdas dan membuat mereka lebih cepat memahami teknologi yang ada di sekitar mereka guna menghadapi perkembangan zaman yang kian pesat.
Program Prioritas Kementerian Agama
Sebagai bentuk transformasi pembelajaran untuk menghadapi revolusi industri 4.0, Computational Thinking menjadi salah satu dari tujuh program prioritas Kementerian Agama di tahun 2021. Program yang digawangi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) ini akan mulai diterapkan pada guru madrasah di berbagai penjuru tanah air.
Dilansir dari situs Kemenag RI, program ini akan dimulai dari sembilan Kabupaten/Kota sebagai pilot project, yaitu: Kota Banda Aceh, Kota Banjarmasin, Kabupaten Garut, Kota Surakarta, Kota Malang, Kabupaten Banyuwangi, Kota Mataram, Kabupaten Polewali Mandar dan Kota Sorong.
Bagi Ramdhani, computational thinking bukan ilmu matematika atau sosial, tapi ilmu yang berkaitan dengan cara membaca yang harus diajarkan sejak siswa berada di lingkungan Madrasah Ibtidaiyah.
Outputnya adalah kemampuan membaca ayat kauniyah pada prosedur- prosedur kemanusiaan dengan menghadirkan alat. Dan tugas selanjutnya adalah bagaimana mengantarkan anak didik agar kemudian mampu berkiprah di masa mendatang.
Kalimat diatas nampaknya bukanlah pepesan kosong, mengingat sebelumnya, Kemenag sudah mulai menerapkan CT pada pendidikan madrasah dan telah diinjeksikan pada 50 madrasah. Penerapan CT ialah ikhtiar membekali peserta didik agar dapat menguasai dunia digital sehingga mampu merespon isu utama di masa mendatang.
Prestasi Internasional Injeksi CT Madrasah
Lebih dari itu, injeksi CT pada madrasah juga dikompetisikan secara internasional, dan hebatnya, Indonesia berhasil meraih capaian gemilang dengan menduduki ranking lima dunia.
Ramdhani mengakui bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang dan tidak boleh ada uji coba dalam prosesnya, Â kemampuan kita dalam beradaptasi harus tetap berkembang. Kita menghadapi banyak kompetisi. Dan konsep pendidikan haruslah matang.
Senada dengan Dhani, Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah, Muhammad Zain menegaskan ketika bicara kompetensi siswa, maka tidak akan terlepas dari kemampuan guru dalam mengajar.
Menurutnya, tantangan mulai dari munculnya era internet of things (IOT), menuntut guru untuk tidak hanya kreatif terkait materi ajar, tapi juga inovatif pada metodologi pengajaran.
Zain memandang akselerasi kompetensi madrasah tidak hanya dimulai dari peserta didik, pendidik di madrasah juga harus melengkapi dirinya dengan kemampuan dan pengetahuan cara berpikir berbasis komputer (computational thinking).
Zain meyakini penerapan CT di madrasah dapat memantik cara bernalar peserta didik dalam belajar, sehingga kedepannya dapat mendongkrak angka PISA Indonesia di mata internasional.
Semoga penerapan computational thinking dapat menjadi mercusuar yang dapat melakukan akselerasi untuk peningkatan kompetensi madrasah di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H