Â
"Sukses dan berjaya itu bukan diwariskan, tapi ditempa oleh tantangan dan kerja keras tiap waktu!"
Beberapa waktu terakhir, saya terus merenung tentang kondisi tunanetra di sekitar saya. Entah soal ekonomi, kepercayaan diri, dan kemampuan untuk memiliki skill yang mampu bikin berdaya. Semua itu udah kayak rujak yang campur aduk bikin mules sendiri kalau dipikir terus. Ya, itu. Soalnya saya juga seorang tunanetra yang masih magang.
Bila menerawang beberapa tahun ke belakang, ketunanetraan yang saya alami terjadi pada 2020. Bisa dibilang juga kalau sekarang saya masih dalam masa pengembangan oleh pihak development. Heheheh. Hal itulah yang membuat saya terus mengamati dinamika yang terjadi mengenai tunanetra di sekitar tempat saya tinggal.
Perlu sedulur ketahui, menjadi tunanetra itu susah-susah gampang. Berjalan, bersosial, makan, minum, masak, sekolah, bekerja tanpa menggunakan indra penglihatan. Hmmm... udah kayak superhero yang punya kemampuan melakukan kegiatan tanpa perlu penglihatan. Keren bukan? Tapi, ya, itu. Stigma, stereotip, diskriminasi, dan perundungan sosial itulah yang sering bikin langkah tunanetra rumit untuk menggapai pencapaian.
Selaku tunanetra modifan karya Tuhan, saya cukup bersyukur. Meski bukan terlahir sebagai keluarga borjuis, muka nggak impresif, dan fisik non-atletis, saya mampu meringkas penerimaan diri dengan santai. Tentu, semua itu penuh kerikil cobaan, badai cercaan, dan tentunya mulut wangi saptiteng dari para tetangga, kerabat, dan lingkungan yang kadang bikin merengut bin mecucu, jadi proses yang begitu saya nikmati.
Yeaah, benar sekali. Saat ini saya telah memasuki tahun ke-4 untuk terus melakukan development terkait pribadi, skill, dan membangun jaringan. Tak lupa "nge-upgrade" kekuatan mentalitas, daya juang, serta performa untuk memberikan kiprah. Meski kadang tetap diragukan. Ahh, persetan dengan stigma dan stereotip itu. Yang penting, saya terus berjuang!
Nah, di antara saya mosak-masik membangun pribadi yang sekuat baja, saat duduk dengan beberapa teman, dosen, dan aktivis, saya menyimak betapa Gen Z tunanetra memiliki banyak PR. Banyak dari mereka yang ternyata tidak memiliki skill bersosial yang baik, etika, kekuatan moral, dan daya juang tinggi. Sebagian dari mereka dibesarkan dalam wadah "Full Service" dari keluarga yang menganggap tunanetra harus terus dilayani. Kan runyam sekali. Saya sendiri yang baru mengalami ketunanetraan di 2020 saja berpikir untuk berlari, berjuang, dan berperang untuk meningkatkan kapasitas diri. Lah, mereka? Kok malah nyaman dengan ketidakberdayaan itu.
Tentu hal di atas bikin saya tercenung. Kok bisa rekan-rekan tunanetra malah nyaman dijadikan objek untuk selalu dibantu? Berada di situasi lemah, tak bisa mandiri, dan terus meminta tolong ke kanan dan kiri. Kok bisa? Hmmm... Entahlah, saya juga tidak tahu. Mungkin salah cara edukasi, salah memahami konsep inklusif, atau mereka hanya malas untuk berjuang.
Belum lagi saat saya diberikan mandat untuk mengampu kelas komputer bicara di PLD UIN Sunan Kalijaga. Biyuuh... susah sekali teman-teman tunanetra diajak produktif, kooperatif, dan proaktif. Padahal, skill "IT" itu sangat wajib dikuasai untuk menjalankan perkuliahan. Bahkan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik di masa depan kelak. Era digital ini bikin kita harus melek teknologi. Tidak terkecuali tunanetra, bukan?
Teknologi sudah ada, aksesibilitas tersedia, dan wadah serta pembimbing ada di hadapan mata. Kok bisa-bisanya hanya tinggal berjuang, belajar, dan berproses, mereka malah susah diajak untuk berkembang. Inikah yang dimaksud mental tempe? Entahlah, saya juga tak paham.