Mohon tunggu...
Wachid Hamdan
Wachid Hamdan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah, Kadang Gemar Berimajinasi

Hanya orang biasa yang menekuni dan menikmati hidup dengan santai. Hobi menulis dan bermain musik. Menulis adalah melepaskan lelah dan penat, bermusik adalah pemanis saat menulis kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hadiah Bidadari yang Berujung Teragedi

7 Oktober 2024   08:00 Diperbarui: 7 Oktober 2024   08:01 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Sarjono masih saja memegangi perut. Mulutnya terus saja mangap-mangat seperti ikan. Sebenarnya, aku kasihan juga padanya. Sudah beberapa menit lalu kubantu mengoleskan minyak ke tengkuknya dan memberinya wedang jahe.

"Halah kang!Cuma masalah begitu saja kok  mukamu jadi kayak pantat panci," sindir ucup.

"Kamu tak merasakan ya? Ini luar biasa. Berbagai sensasi aneh masih membekas jelas" ujar Sarjono sambil melotot ke Ucup.

"Hehehehehe. . tawadlu boleh, kang! Tetapi ya dilihat-lihat dahulubarangnya," kembali Ucup menimpali dengan plengah-plengeh.

Mendapati kelakuan mereka, aku hanya bisa ikut tersenyum. Ruangan berdinding hijau ini tampak ramai meski jam sudah  pukul 00.00, karena para santri masih ada yang mengaji, belajar, wiridan di mimbar dan aktivitas lembur yang lain. Gemericik teratur dari pancuran di tempat wudlu yang langsung iambil dari mata air yang disalurkan oleh bambu, menjadi harmoni tersendiri.

"sudah-sudah! Yang waras mengalah," saranku.

"aku yang waras!" sahut Sarjono.

Baca juga: Tiada tapi Ada

"widiiw! Ya Aku lah. Wong yang masih makan dengan benar ya Cuma aku sama Samsul," bantah Ucup tak mau kalah.

 "dasar gendeng semua!" sungutku sambil berlalu meninggalkan dua makhluk tidak jelas yang kini tengah beradu mulut.

***

Deraian tawaku dan Ucup belum usai. Melihat Sarjono yang masam wajahnya, membuat rasa geli di perut semakin tak karuan. Sunyi dan dinginya malam tak lagi terasa. Bahkan, akibat ulah kami, ayam yang biasa berkokok di atas genting gapura hanya terdiam. Mungkin ia membatin "Dasar monyet gila".

"takkan kubiarkan sedikitpun racikan surga ini jatuh," kembali Sarjono mulai berceloteh.

Memang kebiasaan santri. Ketika makan dan ada remah yang jatuh, bila tidak kotor, dengan segera iambil, untuk dimakan lagi. Aku dan Ucup tak menghiraukan celotehanya. Hanya sesekali menimpali untuk menggojloknya.

"Weleeh! Ini biasa saja Jhon.  Tempe benguk ya tetap seperti ini di mana pun" sambar ucup.

"Wis kalau tidak tahu mendign diem ngapa. Ganggu suasana!"  Tandas Sarjono. Ucup pun hanya nyengir mendengar gerutuan itu.

Tempe benguk terbuat dari kedelai yang besar-besar. Saat dimasak olahan baceman, maka permukaan kedelai akan menghitam. Tak selang lama, tiba-tiba Sarjono merasa ada yang jatuh disarungnya. Tanpa melihatnya, cuek saja ia masukan kembali barang itu kemulut.

"Piyuh, piyuh, piyuhh. . Hakkkhhhhhh!" teriak Sarjono sambil merogoh mulutnya.

"Astaghfirullah, minggat ora kamu! Hayoooo, segera keluar. Tak bakar kamu nanti," ujar Ucup sambil memegang kepala sarjono.

"Hekhhhh, klukklukklukkluk. wekh,wekh,wekh!" kembali Sarjono berulah dengan melompat-lompat sambil membungkukan badan.

Aku dan Ucup bingung dibuatnya. Segera, kubaca ayat kursi. Ucupun kembali memegang umbun-umbun Sarjono. Kembali ia berteriak sama persis dengan sebelumnya. Tak lama, jono memuntahkan isi perutnya. Setelah lega, ia duduk menjeplak begitu saja.

Dengan wajah pucat, Sarjono menatap kami kesal. Ucupun segera mengangsurkan segelas air hangat. Kembali sunyi mengelilingi kami. Suara burung hantu, jangkrik, dan kodok menjadi sound track menemani Sarjono yang terus meludah.

astagaaa dragonn! aku tidak kesurupan," ujar Sarjono sembari menatap galak ke arahku dan Ucup.

"Ternyata yang jatuh tadi bukan kedelai. Melainkan tahi tokek . Koplak memang. Kok tadi ndak tak lihat dahulu. Sumpah Rasanya masih kental  di mulutku," jelas sarjono.

Mendengar penuturan Sarjono, sontak aku dan Ucup terpingkal-pingkal. Tak menyangka sebegitu konyol  santri ajaib ini. Memang pantas, kalau iantara kami ia yang sering menjadi bahan gojlokan karena ulah-ulah ajaibnya.

"hiyo,hiyo,hiyo. Kalau kurang tak masakin lagi nasinya kang. Enggak usah  makan tahi tokek segala!" sahut Ucup.

"Cinta ya cinta, Jhon. Tetapi gak semua barang terus di embat!" timpalku sambil berusaha meredakan tawa.

"Eng,  sialan!  Aku ya tidak tahu. Kan biasanya itu ya aman-aman saja. Paling nasi atau remahan lauk. Tetapi tadi langsung saja tak sikat. Ehh, rasane pahit-pahit gimana begitu" sungut Sarjono. Justru, aku dan Ucup kembali ngakak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun