Mohon tunggu...
Wachid Hamdan
Wachid Hamdan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah, Kadang Gemar Berimajinasi

Hanya orang biasa yang menekuni dan menikmati hidup dengan santai. Hobi menulis dan bermain musik. Menulis adalah melepaskan lelah dan penat, bermusik adalah pemanis saat menulis kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Difabel Makin Jaya: Raih Mimpi dengan Konsep Pertemanan inklusif!

5 Oktober 2024   11:00 Diperbarui: 6 Oktober 2024   16:22 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

 

Berbicara tentang difabel itu sama saja seperti menggali harta karun; banyak sisi menarik yang bisa dijelajahi. Kita bisa mulai dari kisah perjuangan yang bikin kita terharu, cara aktualisasi diri yang penuh kreativitas, proses menempuh gelar pendidikan yang kadang penuh liku, sampai beragam cara yang menjadikan difabel mampu meraih kemandirian. Dan yang lebih menarik lagi, kita bisa lihat fenomena di mana para difabel menggapai prestasi baik di tingkat nasional mau pun internasional. Nggak heran kalau sering muncul pertanyaan, “Kok bisa ya seorang difabel bisa mencapai prestasi yang mengharumkan nama bangsa?”

Di sini, saya ingin mengajak teman-teman semua untuk membahas lebih dalam tentang salah satu aspek penting  yang bisa membantu difabel dalam menggapai berbagai mimpi. Terkadang, hal-hal ini jika dipandang secara nalar agak sulit dicerna, tapi saya yakin kita semua bisa memahami. Mari kita tengok sosok-sosok seperti Cheta Nilawati Prasetya Ningrum, difabel netra yang menjadi jurnalis difabel pertama di Tempo. Ada juga Prof. Dr. Alimin, M.Ag, seorang hafidz Quran sekaligus guru besar di UIN Syarif Hidayatullah. Dan jangan lupa Angkie Yudistia, seorang difabel tuli yang kini menjabat staf presiden RI. Keren, kan?

Tentu saja, mereka semua punya tantangan masing-masing dalam mengejar mimpi. Dari membentuk mental sekuat baja, menghadapi stigma dari masyarakat yang kadang masih ribet, sampai berurusan dengan prasarana yang masih jauh dari kata aksesibel. Belum lagi peraturan yang kadang nggak mengakomodasi difabel dengan baik. Namun, semua itu bukan jadi penghalang selama mereka memiliki tekad yang kuat, membangun lingkungan yang mendukung, dan terus meningkatkan kapasitas pribadi. Salah satu faktor yang paling krusial? Membangun pertemanan yang inklusif.

Semenjak kehilangan penglihatan di tahun 2020, saya merasakan betul bagaimana kontribusi pertemanan dalam membantu saya menggapai mimpi sangatlah besar. Kebanyakan teman-teman saya berasal dari lingkungan non-difabel. Dari pengalaman kerja di MTS 2 Sleman yang masih belum sepenuhnya inklusif, menjadi kontributor di beberapa media digital, hingga membangun komunitas yang semangatnya inklusif, semua itu bisa saya capai berkat dukungan teman-teman di sekitar saya.

Membangun Pondasi Inklusif dalam Pertemanan Sehari-Hari

Nggak ada yang mustahil, kok. Kita sebagai difabel bisa banget membangun sirkel pertemanan yang inklusif. Tentu aja, ini bukan tanpa tantangan. Tapi, kalau kita perjuangkan dengan sepenuh hati, pasti teman-teman kita bakal menghargai difabel sebagai sosok yang patut diapresiasi.

Sejak 2020, karena minimnya informasi seputar difabel, kenalan difabel, dan partisipasi aktif di organisasi difabel, saya menuntut diri untuk tetap bergaul, meski dengan teman non-difabel. Dengan bekal membaca literatur, mengikuti FGD sosial inklusif, dan diskusi dengan praktisi hak difabel, saya mendapatkan banyak ilmu untuk membangun pertemanan yang inklusif. Berikut beberapa hal yang saya lakukan:

1. Membawakan Diri Apa Adanya

Salah satu hal yang selalu saya pegang adalah, dalam bergaul, saya akan selalu tampil apa adanya. Nggak ada tuh rasa minder atau nuntut yang nggak perlu. Saya bergaul dengan enjoy, berusaha aktif, dan selalu komunikatif tentang kendala yang saya hadapi. Misalnya, kalau ada teman yang mau membantu saya berjalan di kampus, meskipun saya sudah hafal jalur tersebut, saya akan menerima niat baik mereka. Dengan begitu, saya bisa menjelaskan cara berinteraksi yang baik kepada sahabat difabel.

“Jujur saya malah belajar banyak, Mas. Meski sampean tidak bisa melihat, tetapi komunikasi sampean yang baik bikin saya tidak tersinggung. Ketika saya salah menggandeng, sampean memberi tahu cara yang benar. Ini jadi ilmu baru bagi saya,” ungkap Malik, sahabat non-difabel dari UIN Sunan Kalijaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun