2. Menjadi Difabel yang Terbuka
Di pertemanan, saya nggak pernah menutup diri dari pertanyaan kawan-kawan non-difabel. Semua pertanyaan tentang kedifabelan saya, selalu saya jawab. Dari sinilah teman non-difabel bisa paham akan kebutuhan kita. Selain itu, saya juga nggak sungkan untuk membantu mereka. Misalnya, ada teman yang ingin belajar seni hadrah, saya bantu mereka belajar menabuh alat musik hadrah.
Membantu teman non-difabel bukan berarti kita merasa lebih rendah. Justru, ini jadi ladang menyuburkan pertemanan dan memberikan rasa saling menghargai.
“Aku salut, Mas. Saat kamu ngajari aku cara membuat daftar pustaka otomatis dan catatan kaki di MS. Office Word, aku jujur, tidak nyangka kamu bisa bantu aku menyelesaikan masalah ini,” kata Nafa, kawan non-difabel dari UII Yogyakarta.
Bangun Pertemanan yang Saling Memberdayakan
Menjadi difabel yang ingin membangun pertemanan inklusif seharusnya dimulai dari diri sendiri. Amanat UU No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, menegaskan bahwa ini adalah tugas kita bersama. Bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tugas kita sebagai individu difabel untuk menyebarkan semangat inklusif di lingkungan sosial kita.
Ingat, kita harus menjadi jiwa yang berdaya saing. Jangan terpatri dalam pikiran, “Aku difabel, jadi aku harus selalu dibantu.” Kontribusikan apa pun yang bisa kita lakukan. Bantu dengan ide dan gagasan, serta jangan malu untuk berbagi skill yang kita kuasai kepada sahabat non-difabel agar kita bisa bekerja sama. Misalnya, saya mampu mengonsep acara, memimpin rombongan ziarah, dan sedikit menguasai ilmu penulisan. Ini semua saya tawarkan untuk membantu teman-teman non-difabel.
Dengan cara ini, kepercayaan teman non-difabel kepada kita akan meningkat. Selama kita bisa komunikasikan kemampuan kita, bantu mereka dengan maksimal, dan tunjukkan bukti nyata dalam forum, kepercayaan diri kita sebagai difabel juga akan semakin meningkat.
“Saat sampean cerita bisa hadrah dan memimpin ziarah, saya pun mencoba meminta sampeyan ngajari di Dusun Mriyan dan membantu mengonsep agenda pengajian akbar tahun lalu. Jujur, saya bangga bisa kolaborasi dengan sampean,” ungkap Galih, sahabat non-difabel dari Dusun Mriyan, Seyegan, Yogyakarta.
Beberapa hal di atas hanyalah segelintir contoh dari teman non-difabel yang dekat dengan saya. Malik, Nafa, dan Galih adalah contoh nyata dari mini laboratorium pertemanan inklusif saya. Berkat kepercayaan dan dukungan mereka, saya kini bisa meraih kemandirian. Mengajar hadrah, membantu mobilitas saat wawancara, mencari buku untuk kuliah, dan menemani proses karier di jurnalisme, semuanya adalah hasil dari hubungan mutualisme dalam pertemanan kami.
Jadi, mari kita bangun pertemanan inklusif dari diri kita sendiri. Gapailah mimpi bersama dengan kawan-kawan terbaikmu. Pertemanan yang inklusif bukan hanya memperluas pandangan, tetapi juga menumbuhkan rasa saling menghargai dan mendukung. Dan ingat, mimpi itu bisa diraih bersama-sama, baik difabel maupun non-difabel. Let’s do this!