Seiring perkembangan transportasi, Bus Trans Jogja masih menjadi kendaraan favorit bagi mahasiswa Jogja dalam Berpergian. Harga relatif terjangkau itulah yang menjadi faktor terkuat. Alternatif transportasi lain seperti ojol, memang memberikan banyak kelebihan. Tetapi, harga yang mahal terkadang cukup membuat dompet kembang kempis!
Saya pribadi merupakan penyandang disabilitas netra sejak tahun 2020. Hal itu di sebabkan oleh penyakit glaukoma yang saya idap sejak kecil. Mulanya hanya coba-coba dengan penurunan daya penglihatan, Ehh akhirnya nyaman dan sekarang kondisi saya sudah pada tahap blind people  (tidak bisa melihat sama sekali).
Nah! Kembali ke pokok pembahasan. Dengan kondisi sebagai mahasiswa, berbagai penelitian, dan kegiatan organisasi, otomatis menuntut saya untuk bermobilitas tingkat tinggi. Aplikasi ojol yang sudah menjamur, ternyata tidak menyelesaikan problem tersebut. Kondisi keuangan yang khas mahasiswa kelas tipis, membuat saya harus cerdas dalam memecahkan persoalan itu. Akhirnya Trans Jogja menjadi solusi yang masuk akal!
Semua aktifitas di luar rumah, saya lakoni dengan ngelaju. Dari daerah Cebongan, terus pergi ke Terminal Jombor dan naik Bus Trans Jogja, sesuai jalur tempat yang di tuju. Pada setiap projek, di tkp (tempat kejadian projek) saya menggunakan relawan untuk mengatasi kondisi mata yang sudah tidak berfungsi. Entah untuk menggambarkan wujud benda-benda visual, membacakan tulisan di daftar menu, dan lain-lain. Tapi untuk menuju lokasi, hal itu biasa saya tempuh dengan mandiri. Dewe yoo kendel!
Meski Disabilitas, Aku tetep sadar diri!
Konsekuensi menjadi pengguna bus, otomatis saya tidak bisa egois. Entah minta di layani secara intens, meminta respon yang baik, dan tetek bengek lain. Meskipun ada jargon "Dahulukan ibu hamil, Lansia, dan Penyandang Disabilitas," yang kembali lagi itu hanya sistem ikut-ikut trend saja. Kenapa kok saya berani bilang gitu? Lha, saya yang ngalami.
Petugas Halte Yang Menjengkelkan
Hal pertama yang ingin saya sampaikan yaitu terkait kru yang berada di halte. Tidak usah jauh-jauh, cukup pengalaman ketika di Jombor. Seharusnya sekaliber perusahaan otobus seperti Trans Jogja, seyogyanya memiliki pengelolaan dan pemberdayaan SDM pegawai yang baik. Tapi di sini, saya memiliki pengalaman yang membuat hati kemeropok.
Waktu itu seperti biasa, sekitar jam 6.30 saya berangkat kuliah. Nah, ketika sampai di terminal dan naik ke halte, saya belum menemukan kejanggalan. Bayar, terus jalan pelan menuju kursi. Entah petugas pagi itu kemana, biasanya saya akan dibantu. Minim-minimnya di arahkan dengan suara. "Lurus, Mas! Terusss... Awas belok kanan. Nah duduk di situ!" teriak petugas, wes koyo ngabani Bus parkir. Tapi hari itu ndak ada yang bantu. Hal koyo gitu, wis biasa!
Kejanggalan mulai saya rasakan ketika bus 5A yang mengarah ke UIN datang. Petugas kok tetap ndak ada yang mengarahkan. Tetapi saya berpikir positif, "Ahh, mungkin lagi pada sibuk!" akhirnya saya berjalan pelan menuju pintu. Saat berdesakan dengan penumpang lain, tiba-tiba kru dari bus 5A mengingatkan, "Awas, Mas! Langkah panjang." Sontak saya hati-hati jalan ke bibir pintu untuk masuk bus. Tiba-tiba dari samping, saya serasa ada yang nyeret. Karena seretan itu, saya agak limbung dan hampir saja terperosok jatuh, bila tidak di selamatkan kru bus 5A yang baik hati.
"Kandani kon njangkah kok ngeyel! Rasakno kui," ucap si penyeret nyelekit.