Mohon tunggu...
w rahman
w rahman Mohon Tunggu... profesional -

lahir di Cilacap, tinggal di Depok, Jawa Barat. belajar menyelami ilmu sedekah; sedekah ilmu, sedekah harta dan lain-lain... serta menjadi suami, ayah yang baik, manfaat buat sesama.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rupa-rupa Rasionalitas Memilih

9 Juli 2014   18:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:51 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya hari pencoblosan tiba. Semua seperti bersuka menyambut hari pemilihan calon presiden. Orang akan datang berbondong-bondong ke TPS untuk urun suaranya demi pilihannya masing-masing. Rupa-rupa gelagat orang sebelum memilih dan menentukan pilihannya itu. Ada yang biasa saja, agak meninggikan tensi semangatnya, hingga ada yang secara buta menunjuk si A atau B menjadi calon pujaannya, seolah tanpa catat sehingga menafikan pilihan lainnya.

Sungguh itulah rupa-rupa gelagat orang dalam menghadapi pencapresan kali ini. Seperti teman saya dan teman anda juga tentunya atau orang-orang disekeliling anda. Pastilah ada yang mendukung pasangan capres nomor urut 1 atau juga nomor urut 2. Semua punya fanatisme sendiri dan alasan tersendiri untuk merasionalisasikan pilihannya. Dari pilihan rasional, klenik hingga persoalan agama.

Saya tentu punya pilihan sendiri dan mantap, insya allah memilih untuk masa depan bangsa ini yang (semoga) lebih baik).. amiin. Namun saya tidak ingin bahas terlalu tajam di sini.

Saya hanya ingin share saja beberapa perilaku orang-orang di sekitar saya dalam menghadapi pilpres ini. Pengalaman ini memang sudah saya rasakan sejak 1 bulan terakhir. Bahkan perdebatannya makin terasa panas sejak H-1 hingga hari H ini, sampai pasca pencoblosan barusan. Masih terdengar cletukan untuk menyuarakan suaranya masing-masing. Seolah suara mereka berimbas pada gerakan massa atau keinginan kita mengikuti ajakan mereka.

Ada teman saya sebut saja pak W. Orangnya cukup rasional. Bahkan sehari-hari bekerja dengan tingkat rasionalitas yang tinggi, dengan melakukan kajian atau penelitian. Namun ternyata ketika curhat masalah pilihan, dia masih belum bisa menggunakan pemikiran dan rasionalitas yang dia gunakan sehari-hari itu untuk menilai siapa capres pilihannya. Seketika dia mengakui bahwa pilihannya memang atas dasar agama.

"saya milih Nomor 'ini', karena unsur agama"

"Kok bisa gitu pak?" tanya saya.

Jawabannya cukup mengagetkan saya. Katanya, calon sebelah itu didukung oleh golongan Islam yang (sebut saja) menyimpang (seperti: syiah dll). Kemudian saya tanya balik, "kenapa mempertimbangkan figur kepemimpinan itu dari orang-orang yang mendukungnya, bukan sosok pemimpinnya?"

"bukankah tidak fair kalau menilai Pak Prabowo dan Pak Jokowi itu berdasarkan siapa yang ada di belakang mereka berdua?" saya menambahkan, bahwa sebelum anda menilai untuk memilih itu pasti sudah punya praanggapan terlebih dahulu, bahwa Nomor 1 lebih baik karena nomor nomor 2 pendukungnya adalah yang tidak saya sukai, atau mempunyai paham keagamaan yang berbeda dengan kita. Begitupun sebaliknya.

Bukankah pendukung masing-masing calon juga memiliki alasan sendiri dalam menentukan pilihannya.

Menurut saya, menentukan satu pilihan karena pilihan lain memiliki pengikut atau pendukung yang tidak sepaham (agama) dengan kita sepertinya kurang pas. Apalagi sampai pada tahap menghalal-haramkan pilihan orang demi mementingkan pilihan yang kita anggap paling tepat.

Saya ambil kesimpulan, jadi pilihan orang terkadang memiliki tingkat rasionalitas sendiri. bahkan ada yang meminimkan rasionalitasnya demi alasan agama, atau golongannya.

Kemudian ada juga kawan saya pak S. dia juga memiliki pekerjaan yang sama persis dengan pak W di atas. Namun kali ini pak S ini lebih punya tingkat fanatisme yang cukup tinggi. Terlebih mengenai paham keagamaannya. Seolah berbanding terbalik perilaku pilihannya dengan pekerjaannya sehari-hari. Bahkan kalau boleh saya katakan, perilakunya sudah seperti membabi buta mendukung calon nomor tertentu. Kenapa membuta, setiap saat dia bisa mengirimkan ajakan bernada setengah memaksa di media group sosial (whatsapp) untuk membenarkan pilihan yang dia suarakan.

Hmm... sungguh beda-beda bukan orang menentukan pilihan dengan rasionalitasnya. Perilaku masing-masing kita pun seolah seperti turut terhanyut dalam alur politik pilpress. Bahkan yang kita takutkan, dengan arus politik yang menghangat ini bisa menghilangkan rasionalitas kita untuk tetap saling menghargai sesama dan menghormati kemanusiaan, bukan atas nama kepentingannya semata, atau bukan atas nama agamanya.

Jadi, urusan pilpres ini saya kira adalah urusan penyaluran hak konstitusional warga negara untuk menentukan pilihan politik terhadap satu calon yang dianggap bisa mewadahi aspirasinya. Adapun soal pertimbangan agama, fisik, ras, maupun alasan lain yang minim data dan fakta, semestinya tidak menjadi pertimbangan kita. Selamat memilih, dan menunggu pilihan Anda! Menang, kalah jangan jadi soal! Hargai sesama, dan tetap jaga keutuhan silaturrahim kita sesama anak bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun