Saya ambil kesimpulan, jadi pilihan orang terkadang memiliki tingkat rasionalitas sendiri. bahkan ada yang meminimkan rasionalitasnya demi alasan agama, atau golongannya.
Kemudian ada juga kawan saya pak S. dia juga memiliki pekerjaan yang sama persis dengan pak W di atas. Namun kali ini pak S ini lebih punya tingkat fanatisme yang cukup tinggi. Terlebih mengenai paham keagamaannya. Seolah berbanding terbalik perilaku pilihannya dengan pekerjaannya sehari-hari. Bahkan kalau boleh saya katakan, perilakunya sudah seperti membabi buta mendukung calon nomor tertentu. Kenapa membuta, setiap saat dia bisa mengirimkan ajakan bernada setengah memaksa di media group sosial (whatsapp) untuk membenarkan pilihan yang dia suarakan.
Hmm... sungguh beda-beda bukan orang menentukan pilihan dengan rasionalitasnya. Perilaku masing-masing kita pun seolah seperti turut terhanyut dalam alur politik pilpress. Bahkan yang kita takutkan, dengan arus politik yang menghangat ini bisa menghilangkan rasionalitas kita untuk tetap saling menghargai sesama dan menghormati kemanusiaan, bukan atas nama kepentingannya semata, atau bukan atas nama agamanya.
Jadi, urusan pilpres ini saya kira adalah urusan penyaluran hak konstitusional warga negara untuk menentukan pilihan politik terhadap satu calon yang dianggap bisa mewadahi aspirasinya. Adapun soal pertimbangan agama, fisik, ras, maupun alasan lain yang minim data dan fakta, semestinya tidak menjadi pertimbangan kita. Selamat memilih, dan menunggu pilihan Anda! Menang, kalah jangan jadi soal! Hargai sesama, dan tetap jaga keutuhan silaturrahim kita sesama anak bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI