Akhirnya hari pencoblosan tiba. Semua seperti bersuka menyambut hari pemilihan calon presiden. Orang akan datang berbondong-bondong ke TPS untuk urun suaranya demi pilihannya masing-masing. Rupa-rupa gelagat orang sebelum memilih dan menentukan pilihannya itu. Ada yang biasa saja, agak meninggikan tensi semangatnya, hingga ada yang secara buta menunjuk si A atau B menjadi calon pujaannya, seolah tanpa catat sehingga menafikan pilihan lainnya.
Sungguh itulah rupa-rupa gelagat orang dalam menghadapi pencapresan kali ini. Seperti teman saya dan teman anda juga tentunya atau orang-orang disekeliling anda. Pastilah ada yang mendukung pasangan capres nomor urut 1 atau juga nomor urut 2. Semua punya fanatisme sendiri dan alasan tersendiri untuk merasionalisasikan pilihannya. Dari pilihan rasional, klenik hingga persoalan agama.
Saya tentu punya pilihan sendiri dan mantap, insya allah memilih untuk masa depan bangsa ini yang (semoga) lebih baik).. amiin. Namun saya tidak ingin bahas terlalu tajam di sini.
Saya hanya ingin share saja beberapa perilaku orang-orang di sekitar saya dalam menghadapi pilpres ini. Pengalaman ini memang sudah saya rasakan sejak 1 bulan terakhir. Bahkan perdebatannya makin terasa panas sejak H-1 hingga hari H ini, sampai pasca pencoblosan barusan. Masih terdengar cletukan untuk menyuarakan suaranya masing-masing. Seolah suara mereka berimbas pada gerakan massa atau keinginan kita mengikuti ajakan mereka.
Ada teman saya sebut saja pak W. Orangnya cukup rasional. Bahkan sehari-hari bekerja dengan tingkat rasionalitas yang tinggi, dengan melakukan kajian atau penelitian. Namun ternyata ketika curhat masalah pilihan, dia masih belum bisa menggunakan pemikiran dan rasionalitas yang dia gunakan sehari-hari itu untuk menilai siapa capres pilihannya. Seketika dia mengakui bahwa pilihannya memang atas dasar agama.
"saya milih Nomor 'ini', karena unsur agama"
"Kok bisa gitu pak?" tanya saya.
Jawabannya cukup mengagetkan saya. Katanya, calon sebelah itu didukung oleh golongan Islam yang (sebut saja) menyimpang (seperti: syiah dll). Kemudian saya tanya balik, "kenapa mempertimbangkan figur kepemimpinan itu dari orang-orang yang mendukungnya, bukan sosok pemimpinnya?"
"bukankah tidak fair kalau menilai Pak Prabowo dan Pak Jokowi itu berdasarkan siapa yang ada di belakang mereka berdua?" saya menambahkan, bahwa sebelum anda menilai untuk memilih itu pasti sudah punya praanggapan terlebih dahulu, bahwa Nomor 1 lebih baik karena nomor nomor 2 pendukungnya adalah yang tidak saya sukai, atau mempunyai paham keagamaan yang berbeda dengan kita. Begitupun sebaliknya.
Bukankah pendukung masing-masing calon juga memiliki alasan sendiri dalam menentukan pilihannya.
Menurut saya, menentukan satu pilihan karena pilihan lain memiliki pengikut atau pendukung yang tidak sepaham (agama) dengan kita sepertinya kurang pas. Apalagi sampai pada tahap menghalal-haramkan pilihan orang demi mementingkan pilihan yang kita anggap paling tepat.