Mohon tunggu...
willy journal
willy journal Mohon Tunggu... -

Menyajikan realitas apa-adanya, dan semoga saja bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan dari Lembah Masurai

27 Mei 2011   16:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:08 2301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka menamai daerah ini dengan sebutan Sungai Tebal, adalah sebuah dusun yang secara administrasi termasuk ke dalam dua buah desa, yaitu desa Dusun Tuo dan desa Nilo Dingin, Kecamatan Lembah Masurai, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Disini kita bisa melihat makna dari sebuah solidaritas, kegotong-royongan, dan harmonisasi kehidupan antar suku yang terbangun secara alami, terlihat sangat menarik seperti Gunung Masurai dan Gunung Nilo yang berada diantaranya. Untuk mencapai daerah ini, dari kota Jambi harus menuju kota Bangko atau ibu kota kabupaten Merangin, dari kota Bangko ini kemudian menuju ke daerah Jangkat, sebuah kecamatan yang posisinya ada di ujung kabupaten Merangin. Perjalanan dari koja Jambi sampai ke daerah Sungai Tebal membutuhkan waktu yang tidak sebentar, sekitar 10 jam perjalanan, melalui jalur darat yang membuat badan serasa dipijat, khususnya rute dari kota Bangko ke Lembah Masurai. Ribuan keluarga berasal dari Sumbagsel, mulai dari provinsi Lampung, Bengkulu, Sumsel dan Jawa, sekurangnya satu dekade terakhir memadati kawasan ini, demi satu keinginan bersama yaitu mengejar kepastian ekonomi melalui bertani kopi, oleh sebab yang dominan, bahwa tanaman kopi di Lembah Masurai lebih subur ketimbang di daerah asal, walaupun untuk mendapatkan lahan disini (terkadang) harus mengadai dan menjual aset yang ada dikampung halaman, namun spekulasi yang berat ini terbukti membuahkan hasil, setidaknya secara ekonomi bagi masyarakat yang berkehidupan di Sungai Tebal saat ini. Bulan ini, ribuan petani kopi di Lembah Masurai sangat disibukkan oleh sirkulasi hasil panen buah kopi mereka, jarak dan waktu seakan-akan tertimbun oleh kesibukkan tersebut, padahal untuk mengeluarkan hasil kopi dari kebun ke pasar yang berada di Sungai Tebal menghabiskan waktu yang tidak sebentar, berkisar 5 hingga 6 jam berjalan kaki, naik turun bukit, sambil memikul karung yang berisi puluhan kilogram biji kopi yang sudah kering. Disini, orang yang memikul karung berisi biji kopi kering ini disebut dengan istilah Ojek Kepala’, karena karung yang berat ini dari kebun hingga ke Sungai Tebal harus dibawa diatas kepala, bukan dipunggung atau dibahu, situasi ini tentu menjadi berbeda dengan makna memikul pada kebanyakan daerah dan tempat-tempat yang lain. Sedangkan untuk jasa atau upah ojek kepala sangat berpariatif, tergantung jauh dan dekatnya jarak, mulai dari 1000 hingga 2000 rupiah perkilonya, dengan berat karung yang berpariasi, mulai dari 45 hingga 110 kilo perorang. Cara yang sejujurnya berat ini mampu bertahan hingga dengan sekarang, mau tidak mau, karena akses dari kebun ke pasar hanya ada jalan setapak, yang membelah puluhan bukit atau pematang, sesekali melewati jalan logging eks HPH, berkali-kali menyeberangi sungai, bahkan melewati tebing yang curam, kondisi seperti inilah yang ditempuh setiap harinya oleh ribuan petani kopi disini, tentunya dengan berjalan kaki. Bagi petani yang kebunnya paling jauh, ojek kepala harus bergerak disubuh hari, dan pastinya kembali lagi kerumah sudah larut senja. Begitulah, terlihat dengan jelas disini semangat kebersamaan, Semangat ini dapat pula dilihat setiap saat, mulai dari memperbaiki jalan, memperbaiki jembatan, hingga dalam mengobati teman yang sedang dalam keadaan sakit, mereka cenderung cepat untuk saling membahu, walaupun untuk sampai ke Sungai Tebal harus mengotong temannya yang sakit selama berjam-jam dalam balutan kain sarung, singkatnya, apapun seakan-akan bisa mereka lakukan, demi menjaga nilai-nilai kebersamaan itu. Timbul Pertanyaan, Apakah semangat kebersamaan ini tumbuh karena merasa hidup diperantauan, atau memang semangat ini sudah ada sejak dari daerah asal, atau memang masyarakat disini yang memiliki nilai toleransi yang tinggi?. Semua alasan ini rasanya sangat memungkinkan, yang pasti semangat gotong-royonganlah yang membuat bertahan dan berhasilnya sistem kehidupan ribuan petani kopi diwilayah ini, selebihnya mungkin karena dukungan politik ekonomi pasar yang baik. Harga kopi di Sungai Tebal bulan ini relatif tinggi, menembus angka 18.000 rupiah perkilogram, harga ini bukan untuk kopi basah atau kopi yang masih ada kulitnya, tapi  untuk biji kopi yang sudah dikeringkan. Setiap keluarga biasanya memiliki kebun kopi setidaknya satu bidang, jika dikonversi kedalam luasan hektar, satu bidang ini setara dengan 2 hingga 2.5 hektar, biasanya dalam satu hektare berisi dengan 2500-3000 batang pohon kopi, sangat tergantung dengan bentuk permukaan tanah, kesuburan, curam atau datar.  Jika dalam sehektar kebun kopi menghasilkan 4 hingga 5 ton biji kopi kering pertahun, segitulah income rata-rata yang diperoleh keluarga petani di daerah ini. Namun, tanaman kopi bukan seperti tanaman karet dan sawit, karena masa produksi tanaman ini relatif pendek. Jika masa produksi sudah memasuki tahun ke-7 atau ke-8, maka pohon induk tanaman tersebut harus diganti dengan tanaman tunas yang masih muda, atau pohon induknya ditebang kemudian diganti dengan tunas-tunas muda. Kemudian, agar tetap menghasilkan buah yang baik dan lebat, petani disini juga melakukan perawatan tanaman dengan pola menyemprot pupuk pada bunga dan batang kopi. Shadat, seorang tokoh pemuda Sungai Tebal mengatakan bahwa diwilayah Sungai Tebal saat ini sekurangnya ada 98 gudang kopi, gudang disini dimaknai sebagai pembeli biji kopi kering atau penampungan, jika setiap hari pada masing-masing gudang menampung satu ton biji kopi kering, maka setidaknya ada seratun ton kopi kering yang dihasilkan diwilayah ini perharinya. Robusta adalah jenis kopi yang ditanam sebahagian besar oleh petani disini. Kenyataan ini sekaligus meyakinkan kita bahwa begitu besarnya putaran ekonomi yang terjadi diwilayah Sungai Tebal. Catatan yang dihasilkan badan statistik (BPS) kabupaten Merangin tahun 2010, menyatakan bahwa angka pertumbuhan di kecamatan Lembah Masurai sangatlah tinggi yaitu 7% pertahun, kecamatan Lembah Masurai tercatat paling tinggi khususnya untuk pertumbuhan penduduk di kabupaten Merangin. Begitupula dengan catatan PPK atau panitia pemilihan kecamatan untuk wilayah Lembah Masurai, menyatakan bahwa daftar pemilih untuk Pemilukada Kabupaten Merangin tahun 2008 di Sungai Tebal mencapai 6000 mata pilih. Jika merujuk nilai pertumbuhan yang dikeluarkan oleh BPS Merangin tentunya tidak terlalu sulit untuk mengetahui berapa jumlah penduduk dan mata pilih yang ada di dusun Sungai Tebal sekarang ini. Ashari, dari ketua Serikat Petani Indonesia Kabupaten Merangin, sekaligus juga sebagai petani kopi diwilayah ini menyatakan bahwa, daerah Sungai Tebal saat ini terdiri dari 2 Kepala Dusun, dua Kadus ini membawahi 11 RT yang merupakan representatif wilayah dan kelompok yang bermuara di Sungai Tebal, karena diwilayah ini ada 11 pematang yang kemudian dikonotasikan sekaligus kelompok untuk memudahkan sistem kordinasi dan konsolidasi, 11 pematang atau kelompok besar ini dari sisi geografis sebenarnya terbagi menjadi dua kelompok besar yang disebut dengan istilah seberang Siau dan Seberang Nilo, Siau dan Nilo adalah nama sungai besar yang menjadi (teritorial geografis) perkebunan kopi diwilayah Sungai Tebal. Walaupun di wilayah Sungai Tebal ada dua Kepala Dusun, namun dalam perjalanannya proses yang menyangkut administrasi dan kependudukan cenderung diurus oleh satu kepala dusun saja. Semangat kemandirian sosial ekonomi masyarakat di Sungai Tebal juga terlihat dalam beberapa hal pola pembangunan, khususnya sejak Sungai Tebal semakin ramai dan menguatnya secara ekonomi, masyarakat disini berhasil membangun simbol-simbol sosial seperti Sekolah, Listrik, Air, hingga Masjid dan Langgar. Hampir dipastikan pengadaan dan pembangunan fisik untuk beberapa sektor ini dibuat secara swadaya. Misalnya bagaimana air bisa sampai kerumah, masyarakat secara swadaya membeli pipa-pipa yang kemudian disambung ke sumber air yang berada dikaki gunung Masurai. Begitupula dengan Listrik, masyarakat disini membuat sistem mikro hidro atau listrik yang tenaganya bersumber dari aliran sungai, kemudian membuat instalasi disetiap rumah, ditandai oleh benda yang biasa mereka sebut amper, biasanya satu amper cukup untuk kebutuhan beberapa buah lampu, televisi, dan berbagai peralatan elektronik lainnya, walaupun hidupnya mulai sore hingga pagi hari, biasanya satu amper dikenakan biaya 100.000 perbulan. Begitu juga dalam membangun Sekolah, Masjid, Langgar dan kebutuhan umum lainnya, dengan sedikit iuran dan sumbangan, maka tidak terlalu lama pasti sudah berdiri dan bisa dimanfaatkan. Terasa begitu cepat dan mudah, berkat gotong royong dan kebersamaan. Semangat kemandirian yang begitu besar tentulah masih menyisakan pertanyaan, kenapa masyarakat tidak membangun jalan agar bisa ditempuh kendaraan?, agar sirkulasi kopi dari kebun ke gudang semakin cepat dan efisien, minimal untuk kendaraan roda dua. Jawabannya sama sekali diluar dugaan, menurut Ashari, “sistem yang ada sekarang ini, sekaligus membangun lapangan pekerjaan bagi teman-teman yang ingin mengojek kepala, karena teman-teman yang mengojek saat ini sebenarnya bukan karena tidak memiliki kebun, tapi bisa jadi karena kebun miliknya belum menghasilkan, namun yang penting diketahui menurutnya inilah kekuatan gotong royong disini, sekalipun saya punya kebun, saya juga harus menolong teman-teman untuk mengeluarkan kopi mereka ke sungai tebal, begitu juga dengan mereka, ketika saya ingin mengeluarkan kopi kepasar otomatis akan membantu saya”. Begitulah arti yang dipahami dari sebuah kebersamaan, terbangun secara sadar yang kemudian menjadi aturan baku tidak tertulis. Jika anda melihat langsung kehidupan petani kopi di Sungai Tebal ini, dari kebun hingga kepasar, pastinya akan melihat begitu besarnya tenaga-tenaga potensial khususnya umur-umur produktif mulai dari belasan tahun, mereka ini semuanya bekerja, mulai subuh hingga sore bahkan malam hari, rajin dan begitu optimis dengan pilihan hidupnya saat ini. Disela itu, ada seorang ibu rumah tangga yang menceritakan kebingungannya tentang KTP atau Kartu Tanda Penduduk, ibu ini merasa sangat heran, karena sudah tinggal bertahun-tahun di Sungai Tebal tapi belum juga bisa memiliki KTP setempat, menurutnya ada ribuan orang mempertanyakan hal yang sama, maklum karena sama-sama belum mendapatkan KTP, padahal mereka sudah beranak pinak disini. “Entahlah, apa yang salah dengan kami disini, kok hingga hari ini masih belum bisa mendapatkan KTP, padahal kami sudah berkali-kali mengurusnya” kata si Ibu. Keluh kesah juga terjadi seputar kepastian tentang status lahan yang menjadi perkebunan kopi mereka saat ini. Menurut Dinas Kehutanan Kabupaten Merangin, perkebunan kopi petani disini sebagian besar berada didalam kawasan hutan negara, dengan rincian 6.300 hektar berada di kawasan Hutan Produksi, 261 hektar di kawasan Hutan Produksi Terbatas, dan 1800 hektar berada kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Keluh kesah ini menjadi sebuah pemakluman, karena tahun kemarin kehidupan petani kopi diwilayah ini sempat terguncang akibat adanya operasi penertiban kawasan hutan oleh tim gabungan dari Dinas Kehutanan dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam, kenyataan ini setidaknya masih membekas dalam ingatan mereka. Namun perlu dicatat, hingga saat ini rasanya belum ada masyarakat yang menghindar dari permasalahan ini, mereka tetap berusaha untuk mendapatkan sebuah pengakuan, baik dari sisi kependudukan maupun status lahan yang dikelolanya saat ini, sekalipun ini bukan hal yang mudah, tentu harus ada solusi yang baik atas keluh kesah ini. Secara budaya, masyarakat disini juga membuat paguyuban, ada persatuan masyarakat dari daerah Bengkulu, Pagar Alam, Lampung, dan lain sebagainya. Paguyuban ini berfungsi mengurus kebutuhan-kebutuhan masyarakat secara ke-adatan, seperti dalam proses-proses perkawinan, Kemalangan dan jika terjadi perselisihan. Hingga hari ini rasanya persatuan antar daerah ini belum terlihat tendensi yang negatif dan merugikan, justru sebaliknya. Perlu diketahui, bahwa proses produksi buah kopi hingga menjadi biji kopi kering membutuhkan waktu yang tidak sebentar, karena paska buah kopi dipetik harus di jemur terlebih dahulu, lamanya waktu menjemur sangat tergantung cuaca, biasanya antara 1 hingga 2 minggu, setelah buah kopi benar-benar kering barulah kemudian digiling, proses penggilingan inilah yang memisahkan buah kopi dari kulit menjadi biji-biji kopi kering, dan kemudian baru bisa dijual. Lantas ada yang bertanya, kenapa tidak menjual buah kopi basah saja? Biar cepat dan tidak harus repot-repot melalui proses yang panjang dan memakan waktu tersebut. Menurut Ashari, “Jika disini menjual buah kopi dalam keadan basah atau masih dalam bentuk buah merah, maka mungkin sekali akan terjadi banyak pencurian, setiap orang bisa seenaknya mengambil buah kopi milik orang lain, karena bisa langsung dijual, akibatnya mungkin sekali membuat orang menjadi malas dalam bekerja” ujarnya. Tanggal 20 kemarin, sekolah dasar satu-satunya di Sungai Tebal melakukan acara perpisahan, terlihat begitu ramai dan meriah, karena di isi dengan beragam acara seperti, tari-tarian, pembacaan puisi, nyanyi dan acara pisah sambut yang diiringi hiburan organ tunggal. Bang Erwin, Kepala Dusun Sungai Tebal menjelaskan, “Jumlah murid di SD ini ada 450 orang anak, Gurunya cuma ada 3 orang, untuk memenuhi kebutuhan murid atas guru kami berusaha melalui komite sekolah, agar anak-anak kami disini bisa maksimal dalam belajar khususnya di sekolah”. Disini masih terlihat, bangunan SD yang terbuat dari papan, kalau dilihat dari kondisi fisik sepertinya sudah lumayan tua, disampingya berdiri kokoh bangunan yang baru seperti gedung-gedung sekolahan yang ada di perkotaan. Namun, walaupun terbersit kegembiraan, masih saja muncul pertanyaan, kemana anak-anak ini harus melanjutkan sekolahnya? Karena jenjang SLTP hingga SLTA berada jauh dari Sungai Tebal. Tersirat sebuah harapan, setidaknya bentuk tanggung jawab seorang pemimpin atas warganya. Lalu, bagaimana semangat kebersamaan dan kemandirian di Lembah Masurai ini bisa tetap bertahan? Tentu saja masyarakat yang paling tahu. Setidaknya mereka sudah menunjukkan contoh atas rasa saling menghargai dan bertoleransi, menjadi pupuk yang jitu dalam merawat arti sebuah kebersamaan dan kemandirian. (WM). Jambi, 25 Mei 2011. (w.journal@ymail.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun