Mohon tunggu...
Vivi Bun
Vivi Bun Mohon Tunggu... -

A language enthusiast. Love cats and books. Interested in culture and global studies. Currently working on my bachelor degree in International Relations.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Manusia Diperjualbelikan

19 Agustus 2017   11:03 Diperbarui: 21 Agustus 2017   12:23 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prosesnya terbagi menjadi tiga sesi. Yang pertama adalah recruitment/abduction, para korban ditipu atau dipaksa dengan segala macam janji-janji agar korban menerima tawaran. Pelakunya adalah travel agency dan perusahaan yang sedang membuka lowongan pekerjaan. Orang yang dikenal pun dapat menghampiri korban karena tahu akan keadaan sulit yang sedang dihadapi korban. Cara lainnya adalah dengan penculikan dan mengancam akan melukai keluarga korban.

Yang kedua adalah transfer/transportation, korban akan dibawa ke suatu tempat untuk dieksploitasi. Terkadang para korban dijadikan barang kargo untuk dikirim melalui jalur air. Sesi ketiga adalah exploitation, korban tiba di tempat tujuan kemudian mulai berkerja. Pada umumnya di idustri perkebunan, pabrik, rumah tangga, salon, perusahaan kebersihan dan restoran.

Korban akan dikawal dengan senjata yang kemudian akan membuat insting bertahan hidup manusia berkerja, yaitu tidak melawan. Tentu ada keinginan kuat untuk lari kepada pihak berwajib, namun nyawa taruhannya karena bagaimanapun korban kalah jumlah. Keterbatasan bahasa dan pengetahuan umum tentang negara tujuan semakin menciutkan mental korban. Mereka semakin lama semakin terbiasa untuk menahan emosinya. Rasanya akan seperti mati rasa. Timbul sebuah penerimaan dan pengakuan atas diri yang lemah dan takut.

Mereka takut untuk dideportasi dan dipertemukan kembali dengan keluarganya dalam keadaan yang memalukan atau bahkan dipenjara karena terlibat dalam jaringan prostitusi dan narkoba. Data pribadi yang dirampas memperbesar kemungkinan orang terkasih mereka menjadi taruhan. Sulit juga untuk mempercayai polisi yang mungkin saja kurang peka terhadap warga asing.

Itulah sebabnya mengapa bisnis semacam ini sangat sulit untuk dilacak. Rasa takut tetap lebih kuat dibandingkan keberanian untuk melawan kejahatan itu sendiri. Kurangnya kepekaan masyarakat dan pemerintah juga turut andil dalam sulitnya mengidentifikasi jaringan ini. Perdagangan manusia tentu melibatkan orang-orang berbahaya. Warga sekitar yang menyadari adanya bisnis ilegal tersebut takut untuk membuka mulutnya. Tetap menjadi pihak yang tidak peduli akan mengamankan posisi mereka dan menjauhkan diri dari bahaya.

Keterlibatan kaum elit dan pihak ofisial membuat kasus semakin sulit untuk dibongkar. Bisnis dengan profit besar seperti ini tentu sudah dirancang dengan seapik mungkin agar tidak cepat gulung tikar atau diringkus polisi. Bahkan seorang polisi dapat diajak berkerjasama agar memudahkan pelaku menutupi jejaknya. Jika ini sudah menjadi realita bersama, hanya warga yang berani matilah yang mampu melaporkan kebiadaban ini.

Pada akhirnya, para korban mengalami trauma fisik dan psikologis yang sangat mendalam sehingga sangat sulit untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaan para pelakunya.. Tempat berkerja dan plat mobil yang terus berganti juga menyulitkan pelacakan para pelaku. Tidak jarang korban dijual di lingkungan rumahnya, namun ancaman yang dilontarkan pelaku nampaknya mengakar kuat di alam bawah sadar korban sehingga rasa takut tetap menjadi penghalang. Korban sudah terlatih untuk selalu menutup mulutnya. 

Keputusasaan

Globalisasi mempermudah segalanya namun memunculkan juga masalah baru. Perusahaan multinasional semakin bertambah profitnya sedangkan yang tertinggal akan tetap tertinggal. Belum ditambah dengan peludakan penduduk yang membuat lapangan pekerjaan semakin tak kasat mata. Angka imigrasi terus meningkat setiap tahunnya, membuat cemas warga lokal yang belum mendapatkan perkerjaan dengan upah mencukupi. Perdagangan meluas tak terkecuali pada human trafficking.

Krisis ekonomi yang melanda sebuah negara meningkatkan jumlah manusia yang diperdagangkan. Semakin memburuk keadaannya, semakin rendah kualitas hidup rakyat. Ketidaksetaraan yang terus menderah rakyat menciptakan keputusasaan yang menyakitkan jati diri. Rakyat semakin hari semakin sakit hati pada pemerintahan yang ada sehingga manusia-manusia ini menjadi sangat rentan penipuan ketika dijanjikan kemakmuran di negeri baru.

Dari sinilah muncul faktor "tarik" dan "dorong". Calon korban terdorong dalam lingkaran kemiskinan dan pengangguran. Pekerjaan yang ditawarkan menjadi sebuah tantangan baru untuk keluar dari lingkaran keputusasaan. Pekerjaan ini bukan hanya datang dari pelakunya langsung. Orang terdekat dapat secara tidak langsung memasukkan korban ke kandang singa. Niatnya hanyalah membantu, namun ternyata berujung maut. Keluarga yang putus asa juga tidak akan segan menjual anaknya dengan iming-iming perkerjaan baru dan hidup yang lebih baik untuk anaknya. Di sinilah orang terdekat tertarik ke dalam jalur perdagangan manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun