Pernyataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD atas tertangkapnya hakim MK Patrialis Akbar memicu polemik. Mahfud mengaitkanya dengan pertanggungjawaban Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut Mahfud, secara moral SBY harus bertanggungjawab karena Patrialis menjadi hakim MK sebagai respresentasi pemerintah waktu itu.
Pernyataan Mahfud patut disayangkan. Pasalnya, penunjukan Patrilias sudah sesuai mekanisme yang berlaku. Protes memang ada. Tetapi vonis sidang Mahkamah Agung membuktikan Keppres No. 87/P Tahun 2013 sama sekali tidak bertentangan dengan UU Mahkamah Konstitusi.
Sebagai guru besar tata negara, Mahfud tentu paham bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tidak ada yang seorang pun yang boleh tegak di atas hukum. Dan secara hukum pula, petunjukan Patrilias sebagai hakim MK adalah sah.
Lucunya, gagal menemukan celah di sisi hukum, Mahfud malah menariknya ke ranah moral. Perspektif ini menggambarkan kesalahan fatal Mahfud dalam menelisik subtansi dari persoalan.
Pertama, Mahfud telah melakukan tindakan menyalahkan korban (blaming the victim). Â Logikanya begini. Tidak seorang pun yang bisa membaca masa depan, sehingga mengamanatkan seseorang akan berbasiskan pada rekam jejak. Ada imajinasi yang terbentuk berbasiskan rekam jejak itu.
Ketika rakyat memilih Jokowi sebagai Presiden ke-7 RI, mereka berbasiskan rekam-jejaknya dan janji-janji politik semasa pilpres. Lantas, ketika janji-janji  Jokowi semasa Pilpres tidak terpenuhi, layakkah menyalahkan rakyat?  Bukankah rakyat yang menjadi korban di sini? Kepercayaan mereka telah dikhianati?
Kedua, Â benarkah penunjukan itu yang menjadi masalah? Bukankah Akil Mochtar yang sudah melewati seleksi di tingkat DPR pun terbukti korup? Jika secara moral pemerintah harus bertanggungjawab atas penangkapan Patrialis, bukankah hal yang sama juga harus diterapkan dalam kasus Akil Mochtar yang merupakan respresentasi dari DPR, dan diusulkan oleh Partai Golkar.
Lantas, mengapa Mahfud terkesan berat sebelah. Ketika Akil ditangkap, Mahfud tidak meminta pertanggungjawaban DPR, apalagi Golkar. Bahkan Mahfud seolah membela koleganya itu dengan menyebut bahwa Akil bersih sampai Mahfud pensiun dari MK. Ada apa ini?
Apakah bungkamnya Mahfud ada kaitannya dengan rencananya untuk maju dalam Pilpres 2014? Mahfud tidak mau cari masalah dengan DPR dan parpol karena sedang butuh dukungan untuk menjadi peserta Pilpres 2014?
Ketiga, tertangkapnya Akil dan Patrialis tidak bisa dipisahkan dengan kinerja Mahfud selama menjabat ketua MK. Sejauh mana keseriusan Mahfud dalam mendorong pengawasan internal MK? Buktinya, baru enam  bulan Mahfud MD lengser dari Ketua MK, Akil Mochtar yang mengantikannya langsung terjaring OTT KPK. Jangan-jangan semasa Mahfud menjawab Ketua MK, penyelewengan hakim konstitusi sudah kerap terjadi.
Kecurigaan ini wajar  saja. Bukankah pengacara Akil, Tamsil Sjoekor, sempat menyebut Mahfud Md pernah melanggar kode etik saat menjabat Ketua MK. Saat UU KPK diuji di MK, Mahfud bertemu dengan pengacara KPK yang kemudian menjadi komisioner KPK. Pertemuan dilangsungkan di rumah dinas Akil di Widya Chandra, Jakarta Selatan.
Mungkinkah ada kesepakatan khusus dalam pertemuan itu? Sayangnya, sampai sekarang informasi ini tidak ditindaklanjuti oleh aparat hukum.
Akhir kata, sebaiknya Mahfud berhati-hati sebelum menuding seseorang. Jangan seperti bercermin pada kaca benggala. Salah-salah, malah lebih banyak salah pada dirinya ketimbang orang yang ditudingnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H