Mohon tunggu...
Sylvia Liwis
Sylvia Liwis Mohon Tunggu... -

Seorang ibu rumah tangga yang senang bercerita dengan anak - anaknya agar mereka tumbuh dengan moral dan akhlak yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat Kelas Bawah

9 November 2014   18:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:15 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ah... akhirnya bisa pulang juga. menatap persawahan dan bentangan alam yang menyejukkan. Disana sini tampak sepeda berlalu lalang dengan pengemudi bercaping dan berjarik.  Kehidupan dimana waktu berhenti pada masa lalu dan tak pernah berubah.

Rumah Mbah Marto - tetanggaku masih seperti dulu. Berlantai tanah. Tidak usah takut cacing. Ini lantai jaman dulu yang dibuat padat dan keras dengan campuran bahan kapur , batu padas dan lain - lain. Aman dari gangguan binatang. Dindingnya dari anyaman bambu dan atapnya... entahlah aku kurang tahu apa nama daun - daunan ini. Sudah tak berbentuk tapi cukup untuk menahan aliran hujan. Walaupun sebenaranya cukup luas hingga ada ruang tamu, ruang makan dan kamar tidur. Luasnya kurang dari 30 meter hingga pajak yang dibayar masuk subsidi kelurahan. Beliau juga punya penerangan listrik. Hanya 900Watt. dan karena tidak memiliki barang elektronik, jadi hanya membayar 25 ribu rupiah per bulan. " Tidak kurang papan", kata beliau sambil mengangguk - anggukkan kepala.

Dapur ada di belakang. Hanya sebuah cagak beratap tanpa dinding yang memudahkan asap keluar membumbung ke angkasa. Simbok tidak kenal kompor . Hanya bata yang disusun kemudian di beri kayu bakar. Beras yang dimasaknya hanya upah hasil menjadi buruh di sawah bu Lurah. Sayuran yang di makan hanya sayuran yang sengaja ditanamnya di pinggiran irigasi sawah garapannya. Belaiu juga makan telur dari hasil memelihara ayam tetangga. "Cukup", kata beliau. "Tidak kurang pangan".

Pakaiam beliau juga hanya seadanya. "Jika di beri tetangga ya diterima. Selalu ada saja yang memberi. Jadi buat mena - eman kalo beli lagi", kata beliau.

Beliau sangat merawat kain dan pakaian yang digunakannya. Tidak dicuci dengan deterjen, hanya air mengalir dari sungai kecil di belakang rumah. sungai jernih tanpa limbah domestik karena memang rumah kami jauh dari tetangga yang lain. warna kain tidak mudah luntur kena diterjen dan serat kain masih kuat selama bertahun - tahun tidak tersentuh mesin cuci. Tidak perlu takut tidak higienis. Air disini masih bagus langsung dari gunung. "Tidak kurang sandang", kata beliau.

Dipojok ruang tamu ada sebuah sepeda engkol kuno yang selalu menemaninya di setiap perjalanannya ke pasar. Sepeda milik ayahnya sewaktu masih hidup dulu. Masih kuat walau telah melewati banyak jaman.

Saat kami para orang muda ini berkumpul dan membicarakan tentang naiknya harga Bensin dan Gas, beliau hanya terdiam. Beliau tidak kenal gas dan bensin. Ketika kami membicarakan harga barang naik, beliau hanya terdiam. "Harga barang apa toh yang naik? Apa ya ga bisa diganti dengan yang lain? Opo iyo saiki jaman susah?"

Beginilah kehidupan masyarakat kelas bawah sebenarnya. upah mbah Marto bukan berupa uang. kalaupun dalam bentuk uang, hanya 300 ribu per bulan. Seharusnya beliau menjerit terjepit serba kekurangan. Tapi ini lah Mbah marto dan Mbok Marto. hidup seadanya tanpa terpengaruh harga minyak, harga supermarket maupun harga pasar.

Lalu yang terjepit itu sebenarnya siapa? Apakah masyarakat kelas menengah yang ingin hidup lebih mewah atau masyarakat kelas atas yang masih serakah??? Entahlah, bukan hak saya untuk mengkritik siapa pun?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun