Para orang berpengaruh, atau biasa disebut "influencer" di Indonesia sedang menikmati masa keemasan. Mereka dapat meraup pundi uang dengan nominal besar dari materi-materi yang mereka unggah. Tingginya pengguna social media di Indonesia berpengaruh lurus terhadap jumlah audience yang mereka miliki. Tingginya audience sangat berpengaruh pada harga konten promosi. Sebut saja Ayu Ting Ting, artis pemilik akun instagram @ayutingting92 memiliki pengikut sekitar 20,3 juta mematik harga Rp. 6,5-7 juta per satu kali unggah.
Tidak sedikit konten yang diunggah melanggar norma masyarakat yang berlaku. Sebut saja bagaimana pemilik akun instagram @lucintaluna yang memiliki 2 juta pengikut mengunggah konten dan materi yang berbau seksual, belum lagi image LGBT yang sudah melekat pada dirinya. Tentu hal ini melanggar norma kesusilaan yang ada di Indonesia. Pengikut akun instagram @lucintaluna juga tidak tersaring di usia yang sesuai untuk menerima konten tersebut.
Semua tren memiliki masanya, termasuk influencer. Beberapa perusahaan telah mengurangi penggunaan influencer dalam strategi pemasaran mereka. Kebebasan yang berlebihan dalam mengunggah materi dalam social media juga mulai dikendalikan. Unggahan para orang berpengaruh ini mulai mencuri perhatian pemerintah ketika mereka mempromosikan produk perjudian, obat dan kosmetik yang belum tersertifikasi dan berbagai produk ilegal lainnya.
Masih sedikit influencer yang dengan tegas menyatakan unggahan mereka adalah salah satu bentuk promosi berbayar, padahal instagram sendiri telah memberikan fitur khusus kerjasama penjualan. Hal ini mungkin terjadi karena menurut riset yang dilakukan, paparan audience akan berkurang 5% ketika influencer secara terang-terangan menyatakan unggahan mereka adalah promosi.
Hal ini sesuai dengan ucapan pakar marketing, "promosi terbaik adalah ketika konsumen tidak sadar mereka sedang menjadi objek marketing".
Hal ini menyebabkan banyak Influencer tidak menunjukan kerjasama mereka. Di Indonesia, hal ini mungkin biasa saja, karena belum ada peraturan yang mengendalikan influencer. Namun, berbeda dengan negara lain yang sudah memiliki peraturan tentang influencer, Inggris contohnya.Â
Mereka yang menjadi influencer di Inggris harus secara jelas dan tegas menyatakan bahwa mereka dibayar atau mendapatkan sesuatu ketika mempromosikan dan membahas sebuah produk di media sosial. Unggahan menjadi ilegal ketika tidak memberikan pernyataan bahwa mereka menerima imbalan atas konten promosi yang mereka bagikan.
Karena kebiasaan masyarakat yang tidak suka melihat iklan, banyak influencer yang mencoba mengakali aturan. Tindakan yang ilegal mungkin dapat dipahami banyak kalangan, namun tidak semua orang dapat diam saat aturan dilanggar.
Kesialan menimpa Shopie Hinchliffe, seorang influencer yang memiliki 2,5 juta pengikut. Ia harus diperiksa oleh otoritas periklanan Inggris (Advertising Standart Authority / ASA). Hal ini terjadi karena ada setidaknya tiga orang yang melaporkan unggahan Shopie. Unggahan yang dilaporkan merupakan tips kebersihan, dimana Shopie atau lebih dikenal dengsn Mrs Hinch menyebutkan beberapa merek yang diduga pelapor merupakan promosi terselubung.
Sesungguhnya, tidak sedikit kasus penipuan dan barang palsu yang dijual secara online dan dipromosikan oleh influencer di Indonesia. Seringkali terjadi kasus dimana sang orang berpengaruh lepas tangan atas kasus yang terjadi. Hal ini tentu menyadarkan kita sebagai konsumen bahwa tidak semua influencer memilah apa yang mereka promosikan. Seharusnya pemerintah juga sadar akan perlindungan konsumen secara online yang memiliki payung hukum masih abu-abu.
Dengan audience yang tinggi dari seluruh golongan ekonomi dan usia, sudah saatnya otoritas di Indonesia mulai mengendalikan influencer. Banyak influencer yang dijadikan panutan oleh para remaja puber. Hal ini menyebabkan influencer sangat mudah memengaruhi mereka dalam memilih produk yang akan dipakai. Influencer memiliki dampak yang kuat dalam pembelian.
Salah satu yang diperlukan adalah panduan influencer dalam mempromosikan produk. Di Inggris, panduan promosi dalam sosial media telah dibuat tahun lalu. Panduan berisi 18 halaman tersebut mencakup pengertian iklan, metode pembayaran, bantuan otoritas sampai isi konten. Panduan dibuat sejelas mungkin agar para influencer dapat memahami mana konten yang tergolong promosi dan mana yang bukan.
Selain panduan promosi, masih banyak yang harus dibenahi dalam dunia influencer dan media sosial. Belum lagi pajak yang masih menjadi bayangan atas harta yang mereka dapatkan, lalu norma sosial yang semakin pudar karena tuntutan konten yang semakin menunjukan globalisasi. Perubahan teknologi memaksa kita bergerak cepat, semoga pemerintah sadar akan pentingnya mobilitas teknologi yang dibarengi dengan efisiensi penyesuaian payung hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H