Mohon tunggu...
Vrita Amerta
Vrita Amerta Mohon Tunggu... -

a passionate woman

Selanjutnya

Tutup

Politik

Framing dan Priming Pemberitaan Teluk Benoa

26 November 2014   23:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:45 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang aneh dari prilaku media di Bali saat menteri KKP Susi Pudjiastuti berada di saba. Ibu menteri yang dikenal nyentrik tersebut dipertontonkan  demo Komunitas Surver yang menolak Revitalisasi Teluk Benoa (RTB). Setelah itu muncul pemberitaan media yang simpang siur tentang pernyataan Susi terhadap rencana revitalisasi teluk Benoa.
Bali Post dan Bali TV memberitakan statemen menteri Susi yang dikemas menjadi terkesan seolah Susi menentang rencana RTB. Padahal, faktanya tidak demikian. Kalau berita di media itu sebuah teks, maka sesungguhnya dia tidak bisa berdiri sendiri lepas dari konteks.
Misalnya, saat ke Bali menteri Susi ditanya wartawan:
Wartawan: Pendapat Ibu terhadap rencana revitalisasi teluk Benoa?
Menteri Susi: Bila dilakukan dengan benar, dan memberi manfaat bagi masyarakat Bali tidak ada salahnya dengan reklamasi Benoa.
Wartawan: Apa tidak ada alternatif lain selain reklamasi?
Menteri Susi: Iya makanya perlu dipelajari.
Lantas berita yang keluar berjudul :
Menteri Susi: Perlu Alternatif Lain selain Reklamasi Teluk Benoa.
Dalam analisis isi media ini merupakan praktek framing. Framing merupakan anak kandung dari teori agenda setting media. Dalam hal ini terlihat jelas Bali Post melakukan praktek framing dalam politik pemberitaannya karena memiliki agenda setting menolak reklamasi.
Framing dan Priming
Framing berasumsi bahwa media bisa membentuk perspektif tertentu, atau “memutar” (spin), terhadap peristiwa yang disajikannya. Pada gilirannya, ini akan berpengaruh terhadap sikap publik terhadap peristiwa tadi. Framing ini disebut juga sebagai second level of agenda-setting. Ghanem (1997: 3) menyatakan bahwa dengan framing, agenda-setting tidak lagi hanya menanyakan ‘what to think about’, namun juga ‘how to think about’.
Yang menjadi perhatian analisis framing adalah atribut suatu topik, dan bagaimana atribut ini akan berpengaruh terhadap opini publik. Ini menjelaskan pada tahap pertama, yang menjadi fokus adalah agenda media. Apa yang akang diangkat oleh media? Itulah agenda media. Apa yang diangkat oleh Bali Post sebagai berita, itulah agenda tersembunyinya.
Selain Framing dalam analisis media dikenal juga priming. Priming adalah proses di mana isu yang diangkat media akan mengingatkan publik akan informasi sebelumnya yang mereka miliki tentang isu itu, sehingga akan memicu perhatian yang lebih.
Misalnya wawancara imajiner antara wartawan dan menteri Susi berikut ini:
Wartawan: Pendapat Ibu terhadap rencana reklamasi teluk Benoa?
Menteri Susi: Bila dilakukan dengan benar, dan memberi manfaat bagi masyarakat Bali tidak ada salahnya dengan reklamasi Benoa.
Wartawan: Tapi ada masyarakat yang menolak?
Menteri Susi: Iya, itu biasa. Selalu begitu ada yang pro dan kontra.
Wartawan: Grup band SID asal Bali ikut menolak juga Bu.
Menteri Susi: Iya, itu biasa. Selalu begitu ada yang pro dan kontra.
Wartawan: Kemarin komunitas Surfer juga menolak.
Menteri Susi: Iya, itu biasa. Selalu begitu ada yang pro dan kontra.
Begitu seterusnya, narasumber seperti 'dipaksa' atau mau terstimulasi untuk menyetujui peristiwa sebelumnya.
Priming adalah dampak dari stimulus yang sudah ada sebelumnya. Priming memiliki kekuatan mempengaruhi tindakan atau penilaian yang akan dilakukan kemudian. Dalam konteks media, priming adalah dampak dari isi media (misalnya liputan reklamasi teluk Benoa) terhadap perilaku atau penilaian khalayak yang muncul kemudian (misalnya mendukung atau menolak reklamasi) (Lihat dalam Roskos-Ewoldsen et al., 2007: 53).
Teori tentang priming dibangun atas dasar asumsi bahwa ada orang tidak mengelaborasi pengetahuan tentang persoalan di sekitarnya dan tidak mempertimbangkan segala sesuatu yang diketahuinya. Yang paling diperhatikan adalah apa yang paling cepat melintas di dalam pikirannya. Dengan memberikan perhatian pada aspek tertentu dari reklamasi teluk Benoa, media akan membantu untuk menentukan penilaian (Alger, 1989: 127)
Priming dan framing merupakan dua proses pengaruh media yang membantu menjelaskan bagaimana khalayak dipengaruhi media. Jika dua jurus media ini digunakan sekaligus pada situasi masyarakat yang haus informasi tapi tidak memiliki akses untuk mengkritisi media, sangat berbahaya sekali bagi masa depan masyarakat bersangkutan. Karena realitas yang hadir palsu bentukan kepentingan media.
Dalam hal ini, akademisi bertanggungjawab memberikan pencerahan pada publik untuk tetap bertahan hidup secara kritis di tengah kepungan informasi yang diproduksi melalui agenda seting media tersebut.Sementara bagi pemerintah hal seperti ini harus dicermati sebagai upaya halus dari media untuk mengintervensi otoritasnya dalam mengelola daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun