Di awal tahun baru ini, menurut hemat saya, ada dua hal yang cukup menyisakan misteri, masa depan politik Jokowi dan tulisan Sarasdewi. Untuk kategori yang terakhir menarik disimak, bukan saja karena saya ingin meletakkan dirinya dalam posisi yang sejajar dengan Presiden, tetapi beberapa tulisannya telah menyisakan sebuah tafsir ambivalensi. Tulisannya bertajuk “Pertarungan untuk Teluk” yang diposting pada tanggal 28 Desember 2014 di http://sarasdewi.blog.com/2014/12/28/pertarungan-untuk-teluk-2/ telah menyiratkan ‘keangkuhan’ berlebihan dalam mengurai tema tentang Teluk Benoa. Penolakannya pada upaya revitalisasi menggambarkan dirinya pada sebuah penafsiran yang artifisial. Dengan sedikit percaya diri, ia begitu gamblang melontarkan pernyataan sumir yang cukup nyinyir. Semisal merasa paling benar mengakomodasi sebuah fakta sosiologis tentang penolakan revitalisasi dari beberapa minoritas warga.
Pada konteks ini ada beberapa narasi gagasan yang cukup problematis. Pertama, dalam tulisannya Sarasdewi mengunakan logika yang miskin konteks. Penjabarannya tentang suksesi kepahalawanan dalam romantisme sejarah masa lalu dengan mengangkat beberapa pahlawan seperti I Gusti Ngurah Ray, sesungguhnya praksis tidak ada relasi substansial dengan bentuk dan klaim pejajahan baru ala Sarasdewi, apalagi dengan upaya pembangunan revitalisasi di Teluk Benoa. Padahal menurut Asvi Warman Adam, sejarah adalah simbol dan anasir berharga yang tidak bisa dengan mudah didorong –apalagi disamakan-dengan sembarang situasi. Sebab penggunaan secara serampangan pada entitas sejarah akan mengkebiri makna dan nilai-nilai historis dari realitas sejarah kepahlawan itu sendiri.
Dalam kasus ini realitas sejarah dan kepahlawanan hanya menjadi mobilitas pragmatis dari ambisi seseorang untuk melakukan pembenaran sepihak. Sebab ide puncak gagasan Sarasdewi dengan membandingkan plakat kolonialisme dan imprealisme adalah bentuk penyeragaman yang tidak berdasar. Kolonialisme dan imprealisme dalam semua aspeknya adalah dua term yang berbeda.
Kedua, penggunaan istilah Tri Hita Karana juga menuai paradoks. Konsep Tri Hita Karana merupakan konsep universal. Relasi manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dan juga alam, merupakan dasar pijakan yang utuh. Tulisan Sarasdewi tentu sedikit menyimpang, bahwa kerja-kerja revitalisasi oleh pemerintah dianggapnya sebagai pengingkaran dan ancaman bagi konsep suci Tri Hita Karana. Padahal jika dianalisis lebih jauh, adanya sedimentasi, abrasi, dan pendangkalan, merupakan bentuk-bentuk penyakit alam yang murni diakibatkan oleh tangan-tangan manusia yang tak bertanggung jawab.
Relasi manusia dengan alam bersifat buas. Ketidakmampuan beradaptasi dengan alam Teluk Benoa, merupakan cerminan dari lemahnya relasi mereka antar sesama manusia, apalagi dengan Tuhannya. Apalah arti ritual-ritual seperti upacara Dewa Yadha atau upacara Bhuta Yadnya dalam setiap mometum perayaan dan ‘persembahyangan’ jika pada saat yang bersamaan mereka terus menerus tidak bersahabat dengan kesucian dan kemurnian Teluk Benoa.
Di sini kebijakan pemerintah melalui Perpres No. 51 tahun 2014 dan support dari gubernur Mangku Pastika serta masyarakat luas justru merupakan bentuk implementasi Tri Hita Karana yang sesungguhnya. Sebab revitalisasi tidak saja akan berdampak baik secara ekologis, tetapi juga kesejahteraan ekonomis warga Bali. Dalam situasi emergensi ekologis, bukankah menyalakan lilin lebih terhormat dari pada mengutuk kegelapan.
Ketiga, terjadi generalisasi atas penyebutan penolakan warga. Penolakan warga dijadikan legitimasi untuk lagi-lagi melakukan pembelaan secara absolut. Padahal dalam realitasnya penolakan tersebut tidak terlalu menyeruak ke permukaan dan hanya segelitir kelompok-kelompok veteran yang melakukan penolakan tanpa dasar yang kuat. Pada tahap ini, ketika pemerintah mendorong revitalisasi dengan segala upaya perbaikannya, tetapi justru ditentang dengan alasan yang tak berdasar, justru di situlah berpotensi muncul kepentingan ‘lain’ dalam bentuk artikulasi sederhana, semisal mobilitas massa yang diorganisir oleh pihak asing atau NGO yang dibiayai oleh asing.
Kudeta asing
Sistem demokrasi yang menyediakan ruang terbuka bagi kompetisi telah mengundang aktor internasional untuk masuk dan melakukan proses-proses intervensi dalam bentuk apapun. Kasus penolakan terhadap Teluk Benoa adalah sederet dari beberapa kasus yang menyimpan segregasi kepentingan asing dalam bentuknya yang ‘cantik’. Reorganisasi massa dan kendaraan NGO adalah dua titik sentral intervensi yang sangat terasa. Penolakan massa terhadap revitalisasi Teluk Benoa yang tak pernah berakhir menjadi potret bagaimana intervensi asing benar-benar mengakar sangat kuat.
Riak-riak intervensi asing begitu tampak ke permukaan sebab sejak awal dan sejak dilakukan sosialisasi, pada mulanya tidak ada penolakan yang keras, tetapi kini penolakan itu ibarat petir yang tiba-tiba menghentakkan dan menyambar pelbagai rencana panjang ikhtiar revitalisasi Teluk Benoa. Intervensi asing sangat masuk akal mengingat potensi revitalisasi akan berdampak tidak menguntungan bagi destinasi wisata mancanegara, terutama negara-negara ASEAN yang dekat dengan Indonesia. Sebab akan ada migrasi wisata besar-besaran dari pusat wisata negara tetangga ke Indonesia. Revitalisasi akan melahirkan surga pariwisata baru. Surga dengan pelbagai panoramanya yang akan membuat setiap pengunjungnya takjub terbelanga.
Dalam konteks inilah maka relevan apa yang ditegaskan oleh Douglas C. North (1989) bahwa intervensi asing memiliki peranan penting dalam mereduksi keberanaran menjadi ketidakbenaran dengan cara ‘menstabilkan’ relasi masyarakat sipil. Relasi antara asing, NGO internasional, dan masyarakat yang getol melakukan penolakan merupakan realitas yang tidak bisa dielakkan dalam konteks pembangunan potensi wisata sebuah kawasan. Teluk Benoa adalah pusat wisata yang kelak tidak saja menjadi kebanggaan wisata dalam negeri, tetapi akan menjadi ancaman nyata bagi pertumbuhan wisata negara-negara tetangga.
Inilah kudeta asing yang sangat berbahaya. Sebab jika kudeta asing berhasil, maka bangsa ini dan masyarakat Bali secara khusus berada di simpang jalan kerugian yang panjang. Kudeta asing dalam penolakan revitalisasi Teluk Benoa -dengan pelbagai bentuk dan relasinya- merupakan lubang hitam yang mengerikan. Pada konteks ini, saya tidak hendak mengkambing hitamkan Sarasdewi dengan pelbagai argumentasinya yang panjang, tetapi tulisan Sarasdewi adalah potret tentang tradisi intelektual yang dibentuk sebagai pilihan rasional untuk mendorong memaksimalkan kepentingan asing di Indonesia. Sungguh ironis!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H