Penilaian kemajuan suatau bangsa atau negara terletak pada bagaimana pendidikan berkembang di negara tersebut, apakah sudah sangat maju dan perkembang serta merata apakah masih tercecer pemerataannya serta sistemnya. Saya ingin sedikit membahas dan mengomentari serta memberikan solusi terkait dualisme sistem pendidikan di Indonesia baik itu antara lembaga pendidikan negri maupun swasta, serta lembaga pendidikan umum maupun agama selalu terjadi hal yang kontroversial terkait kebijakan-kebijakan pemerintah yang sampai sekarang masih menimbulkan perdebatan. Terkait dianak tirikannya lembaga pendidikan swasta maupun lembaga pendidikan agama yang secara langsung dinaungi oleh kementrian agama. Hal yang sering terjadi dalam pembagian kedua lembaga pendidikan ini terkait penyamarataan fasilitas dan alat penunjang dalam proses pembelajaran serta melanjutkannya anak didik dalam proses pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Lembaga pendidikan agama sangat dianak tirikan terkait jenjang pendidikan lanjutan yang akan ditempuh oleh anak didiknya apabila ingin melanjutkan ke lembaga pendidikan umum. Hal ini bisa kita lihat di lembaga pendidikan umum yang jumlah lulusan dari lembaga pendidikan agama yang melanjutkan di lembaga pendidikan umum bisa dihitung dengan jari, baik itu negri maupun swasta. Tetapi hal yang paling terlihat jelas dan nyentrik terlihat dalam lembaga pendidikan umum negri.
Walaupun hal ini sudah diatur dan diantisipasi dengan dikeluarkannya SKB (surat keputusan bersama) tiga menteri P&K no.299/u/1984 dengan menteri agama no 45 tahun 1984 yang dijiwai oleh TAP MPR No. II/TAP/MPR/1983, tentang pengaturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan madrasah yang isinya antara lain adalah mengizinkan kepada lulusan madrasah untuk melanjutkan ke sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi dan begitu pula sebaliknya serta berhak mendapat bantuan sarana prasarana, biaya dan diakui ijazahnya.
Tetapi realita dilapangan membuktikan bahwa madrasah disisihkan baik sarana prasarana, biaya maupun ijazahnya. Begitu juga lulusan seperti SMK (sekolah menengah kejuruan), radhatul athfal serta madrasah-madrasah muallimat dan mualimin. Upaya pemerintah seakan-akan tidak ada untuk mengatasi permasalahan ini terkait penerimaan lulusan lembaga pendidikan agama ke lembaga pendidikan negri, prasana untuk menenuhi keperluan proses penunjang pembelajaran, maupun diakuinya dan diterimanya ijazah baik untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya ataupun bekerja. Hal ini bertambah parah bahwa lembaga pendidikan agama baik negri maupun swasta berada dinaungan kementrian agama bukan di kementrian pendidikan dan kebudayaan yang seharusnya memegang ini.
Sudah sangat umum ditelinga kita bahwa lembaga pendidikan negri ialah lembaga milik pemerintah yang difasilitasi dan dibiayai oleh negara. Maka tak heran pendidikan di lembaga pendidikan negri tanpa ditarik biaya sepeser pun serta fasilitas atau alat penunjang pembelajaran sangat cukup dan terlengkapi. Hal ini sangat terbalik 90 derajat dengan keadaan lembaga pendidikan swasta, walaupun adanya bantuan dari pemerintah terhadap sekolah swasta melalui dana BOS (bantuan operasional sekolah) tetapi dirasa tidak memenuhi kebutuhan dalam proses belajar mengajar terkait fasilitas dan honor pendidik. Sehingga mengakibatkan terdakang lembaga pendidikan swasta menarik tarif yang begitu tinggi untuk meningkatkan mutu lembaga tersebut.
Dari hal inilah yang membuat masyarakat berbondong-bondong menyekolahkan anaknya ke sekolah negri yang kapasitasnya sangat terbatas. Adanya sistem pemilihan nilai maupun tes semakin mempersulit peserta didik untuk dapat bersekolah di lembaga pendidikan negri. Dan inilah yang mengakibatkan banyaknya pengangguran serta anak-anak yang tidak mau sekolah terkait dengan biaya yang sangat tinggi yang tidak mampu dibayar oleh orang tua mereka bila bersekolah di sekolah swasta terutama dari kalangan masyarakat menengah kebawah. Walaupun banyak beasiswa dari beberapa pihak yang menyediakan untuk keluarga yang kurang mampu untuk mensekolahkan anaknya tetapi beasiswa ini kadang tergolong rumit dan jarang diketahui oleh masyarakat sekitar.
Menurut analisis dan pendapat kami dikotomi dan dualisme pendidikan di Indonesia terutama pada permasalahannya, ada dua pokok yang harus dibenahi pemerintah untuk meningkatkan integritas pendidikan di Indonesia yaitu pemerataan pendidikan di wilayah-wilayah Indonesia terutama di daerah terpencil serta penyejahteraan tenaga pendidik.
Terkait pemerataan ini, harus adanya sinkronisasi antara pembagunan baik itu infrastuktur maupun ekonomi serta pendidikan di suatu daerah tersebut terkait kebijakan otonomi daerah. Majunya dan sejahteraan disuatu daerah diukur tingkat kecerdasan masyarakat tersebut sehingga mampu menopang dan meningkatkan ekonomi dan pembangunan daerah. Maka pendidikan ialah komponen terpenting jika ingin memajukan atau mensejahterakan suatu daerah. Dan hal ini dilakukan dengan pemerataan pendidikan yang tidak hanya tersentral di daerah Ibu kota dan sekitarnya saja terutama pulau Jawa. Pendidikan di Indonesia saat ini terpusat dan tersentral hanya dipulau Jawa, hal inilah yang menyebabkan banyaknya anak didik yang melancong ke Jawa untuk mencari Ilmu.
Yang kedua ialah penyejahteraan tenaga pendidik baik itu guru maupun dosen yang harus adanya dukungan dari Pemerintah untuk memajukan pendidikan melalui tenaga pendidik tersebut baik itu berupa materil maupuun immateril. Ketika pemerintah mendukung dan mensupport kinerja tenaga pendidik maka akan tercipta sebuah hubungan yang baik untuk semakin memajukan Pendidikan di Indonesia ini.
Untuk menjadi generasi unggul hal yang harus kita bangun dari diri kita sendiri ialah berusaha untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia ini dengan mau menjadi pendidik tanpa mengharapkan apa-apa ikhlas seutuhnya. Komponen yang terpenting untuk meningkatkan pendidikan atau pengetahuan anak didik ialah mengajarkan segala sesuatu kepada anak didik dengan rasa ikhlas sehingga terciptalah hubungan harmonis antara pendidik dan peserta didik. Ketika terciptalah hubungan emosional antara pendidik (guru atau dosen) dengan anak didik maka ilmu yang diajarkan akan lebih mudah masuk dan terserap kedalam anak didik tersebut. Dan motto yang harus dimiliki pendidik sesuai motto dari pendidikan di Indonesia yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara ialah, ing ngarsa sing tuladha, ing madya mangun kerso, tut wuri handayani.
Makna dari motto itu ialah bahwa pendidik baik itu guru maupun dosen harus bisa menempatkan tempat dimana pun baik di depan, tengah maupun belakang. Ketika berada di depan pendidik harus memberikan contoh terhadap anak didiknya dan ketika di tengah pendidik mampu membuat ide maupun prakarsa dan ketika di belakang pendidik harus mampu memberikan dorongan atau arahan kepada anak didiknya.
Dan yang terakhir gunakan ilmu kita apa pun itu untuk membantu sesama baik itu siapa pun dari manapun tanpa memandang suku, agama serta etnis tanpa mengharapkan apa pun dengan satu tujuan untuk memajukan atau meingkatkan bangsa Indonesia. Dalam agama Islam sudah sering diajarkan bahwa sebaik-baik manusia ialah manusia yang bermanfaat bagi sesamanya. Jadi apa pun kita jika kita bermanfaat bagi orang lain maka hal yang kita lakukan tidak akan sia-sia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H