Beberapa tahun lalu, saya berkesempatan mengunjungi Taman Negara Pahang, Kuala tahan di Malaysia. Taman negara terletak di Semenanjung Malaysia dan mulai ada dan dikelola sejak tahun 1938. Wilayah ini dapat ditempuh dengan mobil dari Singapura, dengan melewati perbatasan Singapura-Malaysia, sekitar 7 sampai 8 jam. Atau dari Kualalumpur menggunakan mobil, dengan jarak tempuh sekitar tiga jam.
Ternyata taman negara ini adalah taman hutan hujan tropis tertua di dunia (menurut Wikipedia), dengan luas sekitar 4343 km persegi. Awalnya hutan hujan tropis ini dikenal dengan nama King George V National Park, setelah Theodore Hubback, seorang Engineer Inggris melobi sultan Trengganu, Pahang, dan Kelantan, untuk menyediakan lahan tanah yang mencakup tiga negara bagian itu, untuk dijadikan area yang dilindungi. Setelah Malaysia merdeka, nama area ini berubah menjadi Taman Negara atau National Park dalam Bahasa Inggris. Â
Ada banyak hal menarik yang bisa kita lihat dan beragam aktivitas yang dapat dilakukan di sini. Beberapa diantaranya, hiking mendaki bukit sambil melihat dan belajar banyak hal di hutan yang dilewati sepanjang trek hiking. Pohon-pohon besar yang usianya ratusan tahun, bunga-bunga besar, dan beberapa binatang liar yang dilindungi masih bisa kami lihat di sana. Selain itu aktivitas bermain-main di sungai dan canopy walk cukup menarik buat "orang kota" yang lebih sering melihat gedung dan kendaraan di habitat sehari-harinya.
Yang paling berkesan adalah kunjungan ke kampung orang asli. Untuk sampai ke kampung orang asli, saat itu kami harus berperahu menyusuri sungai.
Ketika pertama kali bertemu dengan orang asli yang tinggal di Taman Negara, pikiran saya langsung mengingat saudara-saudara sebangsa setanah air di Papua. Ada kemiripan dari warna kulit dan tekstur wajah serta rambut yang keriting.
Orang asli di Taman Negara ini, hidup dalam kesederhanaan, dengan hanya memenuhi kebutuhan dasar saja, yaitu sandang, pangan, dan papan. Tempat tinggal mereka pun sederhana saja. Dinding-dindingnya tidak terbuat dari tembok seperti rumah-rumah jaman now. Mungkin karena mereka hidup berpindah-pindah di sekitaran Taman Negara, sehingga tempat tinggal mereka pun tidak dibuat sebagai bangunan permanen.
Ada dua etnik orang asli yang tinggal di area Taman Negara ini, yang kami temui dalam kunjungan saat itu. Mereka berasal dari etnik Batek dan Semokberi. Sepintas mereka terlihat sama, tetapi ternyata ada perbedaan. Etnik Batek, perawakannya lebih pendek, kulitnya lebih gelap, dan rambutnya keriting ikal. Sementara etnik Semokberi, memiliki rambut yang lebih bergelombang. Etnik Batek inilah yang saya lihat banyak kemiripan dengan etnik Papua di Indonesia.
Orang asli dari etnik Batek, pertama kali didokumentasikan pada tahun 1878 oleh orang Eropa. Kebanyakan dari mereka hidup di area sekitar Taman Negara National Park. Mereka tidak menggunakan bahasa Malay, tetapi mereka menggunakan bahasa mereka sendiri. Dimana, menurut beberapa sumber, pengguna bahasa itu hanya sedikit saja.
Etnik Batek dikelompokan sebagai suku Negrito, yaitu sebutan untuk kelompok orang berkulit gelap, berperawakan kecil (mungkin dibandingkan dengan perawakan orang Eropa yang tinggi besar), yang tinggal di Oseania dan bagian tenggara Asia.
Orang asli yang hidup di semenanjung Malaysia sendiri, menurut berita ada 18 suku. Dan Negrito adalah suku yang tertua.
Dan ternyata, suku Negrito ini tidak hanya ada di Semenanjung Malaysia. Tetapi juga ada di beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Bahkan menurut artikel di Kompas Bangsa Negrito: Ciri-ciri dan Persebarannya di Indonesia, bangsa Negrito menjadi bangsa tertua yang mendiami kepulauan Indonesia. Mereka masuk ke Asia Tenggara daratan antara 50.000 sampai 20.000 SM. Diduga, bangsa Negrito terdesak sampai ke bagian Timur kepulauan Indonesia, yaitu wilayah Papua. Adapun keturunan suku bangsa Negrito yang ada di Papua, adalah suku Tapiro. Pantas, ada mirip-miripnya antara suku Batek di Malaysia dengan orang Papua di Indonesia.
Namun demikian, belum diketahui hubungan antara suku Negrito dengan suku Negro di Afrika. Jika tidak salah, kebanyakan Black African (yang saya tahu), berperawakan tinggi besar.
Suku Batek dan orang asli lain di Taman Negara, memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan cara berburu dan mengumpulkan bahan-bahan makanan dari hutan. Misalnya, buah-buahan, sayuran, dll.
Walaupun cara hidup mereka benar-benar "asli" tergantung pada alam tempat tinggal mereka, dimana cara hidup seperti itu bisa dikatakan jauh dari cara hidup kebanyakan orang pada masa ini, mereka sangat ramah dan terbuka terhadap orang "luar" yang datang berkunjung. Dengan senang hati mereka menunjukan cara menggunakan senjata yang mereka pakai dalam kehidupan di hutan, cara membuat api, dan cara-cara bertahan hidup lainnya yang mereka pakai dalam keseharian mereka. Tentunya kita yang datang berkunjung pun harus bersikap sopan dan saling menghargai.Â
Suku Batek, juga terkenal secara antropologis karena kehidupan masyarakatnya yang damai dan menganut paham egalitarianism, yaitu kesetaraan bagi semua orang. Wah, jangan-jangan mereka lebih mengerti dan menghargai kesetaraan bagi semua orang tanpa kenal jenis kelamin, usia, dan tingkatan sosial. Masuk akal. Karena mereka sendiri hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan biasanya identik dengan "apa adanya", tidak bersaing untuk meraih penghormatan dan pengakuan dari orang sekitarnya. Â Berbeda dengan komunitas orang-orang modern, yang pastinya banyak godaan untuk bersaing dalam banyak hal, tidak hanya sekedar persaingan materi, tetapi juga strata sosial dalam masyarakat.
Namun demikian, menurut berita, karena situasi dan kondisi, serta tekanan dari dunia di luar mereka, suku Batek dan orang asli lainnya di sekitaran Taman Negara ini, mulai mengubah cara hidup. Dari yang tadinya berpindah-pindah menjadi tinggal di satu titik saja. Sehingga mereka juga dapat beradaptasi dan dapat berpartisipasi dalam bisnis ekowisata yang menguntungkan negara.Â
Mudah-mudahan perubahan gaya hidup ini tidak menghilangkan hal-hal baik yang sudah menjadi dasar keseharian mereka sebelumnya. Mereka yang tadinya hidup bersama alam, tergantung pada alam, dan sangat menghargai alam, tentunya juga dapat menjaga alam tempat tinggal mereka jauh lebih baik daripada orang-orang modern yang hidup di jaman ini. Semoga mereka dapat mengajari kita bagaimana seharusnya hidup berdampingan dengan alam.
Referensi:
Bangsa Negrito: Ciri-ciri dan Persebarannya di Indonesia
Kampung Orang Asli (Aborigines Village) | Taman Negara
The Batek People -- Museum Volunteers, JMM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H