Presiden Rusia, Vladimir Putin, memerintahkan pemerintah Rusia untuk menjalin hubungan kerja sama dengan China dalam hal teknologi Artificial Intelligence (AI). Mengapa dengan China?
China adalah produsen microchip terbesar di dunia, di mana microchip dibutuhkan oleh Rusia untuk memenuhi ambisi membangun teknologi AI, agar dapat bertahan dalam perang dengan Ukraina. Sementara itu, produsen-produsen microchip terbesar lainnya sudah menghentikan export ke Rusia, akibat sanksi dari dunia Barat yang membatasi akses Rusia ke teknologi.
Microchips untuk membangun teknologi AI ini adalah AI chips yang dibuat secara khusus untuk menangani tugas-tugas AI seperti Machine Learning (ML), Natural Language Processing (NLP), dan analisa data dalam jumlah yang besar.
Instruksi itu diberikan tiga minggu setelah Putin mengumumkan bahwa Rusia akan bergabung dengan BRICS partner dan negara lainnya, dalam hal pengembangan teknologi AI. BRICS sendiri adalah aliansi dari Brazil, Rusia, India, China, South Africa. Awalnya aliansi ini dibentuk pertama kali pada tahun 2006 dengan nama BRIC, dan melaksanakan BRIC summit yang pertama pada 16 Juni 2009. Mereka kemudian menambah anggota baru pada 2010, yaitu South Africa, sehingga kemudian menjadi BRICS, dimana huruf S mewakili South Africa.
Per tanggal 1 Januari 2025 ini, Indonesia juga telah bergabung sebagai BRICS partner. Bahkan per tanggal 7 Januari 2025, dikabarkan bahwa Indonesia menjadi anggota penuh BRICS.
Saat ini, Rusia sendiri ada di ranking ke-31 dari 83 negara dalam hal implementasi AI, inovasi, dan investasi, menurut urutan pada tortoisemedia.com. Urutan tiga besar pertama adalah US, China, dan Singapura. Sementara India ada di urutan ke-10, Indonesia di urutan ke-49, dan Ukraina di urutan ke-55.
Sebenarnya, bagaimana AI dapat membuat Rusia bertahan dalam perang dengan Ukraina?
Menurut beberapa berita, teknologi AI diharapkan dapat membantu menjadi sebuah tool yang powerful dalam menganalisa data dan informasi yang dihasilkan dari berbagai sistem, senjata, dan prajurit di lapangan. Nampaknya semua peralatan perang mereka sudah menggunakan teknologi IOT, sehingga dapat mengirimkan data dan informasi kepada operator selama peperangan. Â Data tersebut dipakai untuk melatih AI yang pada akhirnya dimaksudkan untuk merespon kekuatan, pergerakan, dan tindakan musuh dengan lebih tepat.
Ternyata perang jaman sekarang, bukan seperti perang jaman baheula yang mengandalkan informasi dari mata-mata saja. Karena mata-mata hanya mengandalkan panca indera yang rentan salah. Kesalahan tersebut dapat disebabkan karena salah menangkap maksud dari sebuah informasi, salah dengar, lupa apa yang didengar dll. Panca indera manusia juga memiliki keterbatasan dalam menangkap jumlah data. Hanya sedikit data saja yang dapat dikumpulkan secara manual oleh panca indera manusia.
Selanjutnya, mungkin peralatan yang lebih canggih, seperti alat perekam, alat penyadap, dll, mulai digunakan.Tapi itu pun mengolahnya masih manual.
Perang jaman sekarang, seperti Rusia vs Ukaraina ini, sudah menggunakan teknologi yang lebih canggih untuk mendapatkan data dan informasi, yang kemudian datanya dipakai dalam teknologi AI.
Menurut berita, Ukraina menggunakan drone untuk mengetahui situasi dan kondisi yang terjadi di medan perang. Video-video yang direkam drone itulah yang kemudian "dikonversi" menjadi data dan informasi, yang kemudian dipakai untuk melatih AI, untuk menghasilkan keputusan yang tepat sehubungan dengan kondisi di medan perang.
Selain menganalisa data dan informasi dari drone yang dipasang di medan perang, fungsi AI juga dipakai dalam mengidentifikasi dan menganalisa data-data yang "terbuka" (open source data) di media sosial.Â
Seperti kita tahu ada banyak jenis data yang dihasilkan oleh orang-orang yang bermedia sosial yang dapat dianalisa dan digunakan lebih lanjut untuk berbagai kepentingan.
Tidak hanya mengusahakan teknologi AI sendiri, Ukraina pun disupport oleh US. Sementara Rusia mendapat sangsi dari pihak barat dengan membatasi akses terhadap teknologi, seperti dijelaskan di atas. Namun Rusia mengusahakan kerja sama dengan China dan BRICS partner serta negara-negara lain dalam pengembangan teknologi AI.
Rupanya, perang ini akan menjadi perang teknologi juga. Rusia dan Ukraina bersaing dalam meningkatkan kecanggihan solusi pertahanan masing-masing yang menggunakan teknologi AI yang sudah ada dan juga untuk membangun kekuatan teknologi AI yang baru.
Persaingan teknologi ini tidak bisa dihindari. Bukan berarti teknologi AI disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak baik, seperti perang. Namun begitulah jaman sekarang. Tidak mungkin berperang dengan cara lama seperti jaman baheula.
Mudah-mudahan, pada akhirnya teknologi AI yang sedang mereka usahakan dapat menjadi pembelajaran bagi dunia untuk membuat teknologi yang lebih canggih. Semoga Indonesia pun dapat mengambil manfaat dan pelajaran dalam hal pengembangan teknologi AI ini.
referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H