Menurut range tahun kelahiran, usia Gen Z di tahun 2024 adalah antara 12-27 tahun karena mereka lahir di sekitar tahun 1997 sampai tahun 2012. Diantara mereka ada yang sudah memasuki usia bekerja.
Pengalaman saya bekerja bersama-sama dengan sebagian kecil dari mereka, pada dasarnya sama saja dengan yang banyak diberitakan.
Namun, saya tidak berani men-generalisasi apakah gen Z memang begini dan begitu, yang artinya belum sepenuhnya setuju dengan kebanyakan orang. Lagi pula, biasanya setiap generasi punya kebanggaanya sendiri, tetapi juga ada perasaan bahwa generasi mereka dianggap negatif oleh generasi lain. Coba ingat, banyak generasi orang tua kita dulu yang sering mengeluarkan statement berikut:
Anak-anak jaman sekarang beda
Anak-anak sekarang gak bisa dibilangin
Anak-anak sekarang susah diatur
Dst.
Eh ternyata generasi selanjutnya setelah orang tua kita pun, yang ternyata adalah kita sendiri, gaya ngomongnya sama dalam menilai generasi selanjutnya :D
Namun demikian, ada beberapa poin yang saya dapat dari gen Z:
Kepedean Dengan Pengertian Sendiri
Kebetulan, kelompok gen Z yang saya temui merupakan tipe yang seperti ini: Mereka terlalu cepat mengambil kesimpulan tanpa cross check sana-sini atau menguji kebenaran dari sesuatu yang mereka dengar, baca, lihat tetapi berani berpendapat berdasarkan apa yang mereka tahu, yang ternyata belum tentu dimengerti dengan benar. Hingga akhirnya sering sekali saya berkesimpulan, "Dia tidak tahu apa yang dia bicarakan", ketika berinteraksi dengan mereka.
Perlu diakui bahwa mereka lahir dan besar pada jaman teknologi informasi sudah sangat baik dibandingkan generasi sebelumnya. Situasi ini tentu membuat mereka dengan mudah mengakses berita, ilmu, dan informasi lainnya.
Tidak seperti jaman saya, dimana saya harus mengumpulkan uang berbulan-bulan dulu untuk membeli sebuah buku pelajaran, demi bisa mengakses isinya dengan leluasa.
Tetapi nampaknya satu hal yang banyak dari mereka lupa. Yaitu menguji apa yang mereka baru tahu dari hasil membaca, melihat, atau mendengar. Karena tahu belum tentu mengerti dengan benar. Dengan tahu sesuatu, mungkin saja itu baru potongan-potongan kecil yang masih harus disusun dengan benar untuk mendapatkan pengertian yang sesungguhnya. Sudah bagus mereka mau membaca dan mencari tahu. Tetapi, saya rasa itu tidak cukup. Sekali lagi, karena belum tentu apa yang dibaca, didengar, atau dilihat itu memang hanya seperti itu saja adanya.
Kalau di sekolah ada latihan soal-soal yang harus dikerjakan, ada ujian yang dinilai, salah satu tujuannya adalah untuk menguji apakah pengertian yang didapat sudah benar atau belum.
Jika belum, tentunya teorinya harus diulang lagi, bukan sekedar untuk hafal, tetapi demi mendapatkan pengertian yang benar. Supaya tidak asbun (asal bunyi) karena merasa tahu tetapi kenyataannya belum mengerti benar.
Hanya saja, sepengalaman saya, sifat seperti itu bukan cuma muncul di Gen Z. Ada saja orang yang seumuran begitu juga. Yang lebih tua juga banyak. Asbun dan sok tahu biar kelihatan exist.
Berharap Proses Yang Instan
Kelanjutan dari poin di atas, karena merasa mudah mengakses informasi, mudah meng-“copy paste” sesuatu, dan merasa bisa menggunakan teknologi, maka umumnya orang-orang seperti itu kurang menerima kenyataan kalau sebuah pencapaian, dalam banyak hal, adalah sebuah perjalanan yang tidak instan.
Bisa saja sih instan, tapi itu ada waktunya.
Kalau belum tahu apa yang dia tidak tahu, sebaiknya jangan berharap proses yang instan. Lebih baik ikuti sambil belajar dulu dari orang lain yang lebih berpengalaman, yang sudah benar-benar ahli di bidangnya.
Mencari informasi di jaman ini, sangat mudah. Tetapi, bagaimana mau mencari informasi yang benar kalau belum tahu apa yang harus dicari tahu? Bagaimana mau mencapai sesuatu dengan cara instan kalau bertanya pun masih belum tahu apa yang mau ditanyakan? Bagaimana mau instan kalau mengaplikasikan segala macam teori yang didapat dari Internet pun masih belum benar.
Perlu diingat bahwa segala sesuatu yang instan itu adalah hasil penelitian dan uji coba para ahli. Contohnya mie instan. Para ahli itu baru selesai jika formulanya sudah jadi dan tinggal diikuti saja.
Mungkin generasi selanjutnya baru akan bisa berproses secara instan dengan berharap bantuan pada kemampuan teknologi Artificial Intelligence (AI). Tetapi, untuk generasi sekarang, rasanya belum bisa.
Saya tidak ingat apakah di generasi saya pernah menemukan model orang yang sama, yang mau segala sesuatunya berproses secara instan. Rasanya tidak ada. Karena dulu, belum jamannya segala sesuatu bisa dicari di dunia maya dan yakin pasti ada jawabannya di sana. Teknologi Internet memang sudah ada, tetapi tidak semurah sekarang. Dulu yang dapat fasilitas akses Internet di tempat kerja hanya level tertentu saja, tidak seperti sekarang, akses Internet diberikan kepada semua karyawan.
Berarti kemungkinan besar, poin ini memang tipikalnya gen Z.
Kalau instan yang curang-curang sih dari jaman dulu sudah ada. Misal, masuk kuliah di universitas negeri yang favorit bisa jalur nyogok daripada ikut jalur resminya. Masuk kerja jadi pegawai negeri, bisa lewat jalur alternatif yang sama, mau jadi anggota DPR atau kepala daerah...yah ada juga mungkin yang pake jalur mirip-mirip. Tujuannya biar cepat tercapai kemauannya.
Cepat Merasa Sesuatu Itu Mudah
Poin ini masih bersaudara dengan dua poin di atas. Diberitahu sedikit, dengan cepat menyimpulkan: oh cuma begitu toh… Padahal kalau tidak diberi tahu tidak bisa juga.
Setelah tahu, memilih jalan sendiri dan tidak lagi merasa butuh untuk belajar dan diajari. Bahkan cenderung merasa bisa membuat teori sendiri. Begitu ada masalah, tunjuk jari lempar tanggung jawab. Alasannya diberitahunya seperti itu. Padahal dia sendiri yang terlalu cepat melepaskan diri karena merasa sesuatu itu mudah dan cuma begitu saja. Apakah ini yang dimaksud tipikal gen Z yang katanya mandiri? Mandiri juga mesti ada modalnya dulu toh.
***
Itulah beberapa poin poin yang paling parah yang saya temukan dari teman-teman gen Z. Sangat disayangkan kalau para pemimpin perusahaan membiarkan hal seperti di atas berlangsung. Kasihan juga para fresh graduate tersebut jika dibiarkan seperti itu. Mereka jadi berkembang dengan pengertian yang salah. Bukankah itu adalah sesuatu yang buang-buang waktu? Ketika dikemudian hari ketahuan bahwa apa yang mereka kerjakan ternyata salah dan malah menimbulkan masalah, itu artinya mereka harus mundur lagi ke belakang.
Ok lah, jika mereka bertahan di perusahaan yang sama, mungkin karir mereka tetap jalan dengan kondisi apa adanya, yaitu tetap tahunya cuma begitu. Tidak peduli salah atau benar, pokoknya yang mereka tahu selama ini begitu dan semuanya baik-baik saja. Paling ketahuan salah kalau ada masalah yang timbul di kemudian hari, yang biasanya sudah parah.
Bagaimanapun tidak ada yang abadi di dunia ini. Kemungkinan didepak dari tempat kerja yang sudah puluhan tahun pun ada. Apakah sudah siap dengan kemungkinan itu? Apakah ilmu yang didapat sudah memenuhi standar pada umumnya, sehingga dapat dipakai dan dikembangkan lagi di lingkungan kerja selanjutnya. Jangan sampai usia sudah bukan fresh graduate tetapi kemampuannya nggak ada bedanya dengan yang barusan lulus.
Bisa saja sih berkilah, makin tua yang dibutuhkan adalah soft skill, bukan lagi hard skill. Tetapi pasti lebih percaya diri menjadi pemimpin dengan soft skill yang baik kalau benar-benar handal dalam setiap fase yang perlu dilalui.
***
Namun demikian, kekurangan dapat diubah menjadi sebuah kelebihan. Hal yang negatif dapat diubah menjadi hal yang positif. Ada waktunya yang muda harus menduduki posisi senior, maka itu gen Z memang harus dipersiapkan dari sekarang untuk menjadi pemimpin masa depan. Sayang sekali kalau mereka dibiarkan mandiri tanpa arahan.
Pengalaman saya, ketika pikiran mereka mulai terbuka, pada akhirnya mereka mau membuka diri untuk terlebih dulu membekali diri dengan berbagai ilmu sesuai kemampuan dan minat mereka. Ketika mereka ngotot merasa bisa sendiri, biarkan saja, tetapi coba dituntun dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan, hingga akhirnya mereka dapat melihat kesalahannya.
Ketika mereka merasa baik-baik saja dengan jalan sendiri dan tidak sadar ada sesuatu yang salah, kalau saya sih biarkan saja, dan memilih tidak ikut campur. Buat apa membantu orang yang tidak membutuhkan bantuan, atau yang cuma mau tampil dimuka, tetapi sebenarnya hanya mampu copy paste hasil kerja orang lain tetapi tidak menerima kenyataan kalau belum mampu berkembang sendiri.
Tetapi di sisi lain, saya juga berusaha menunjukan perbedaan hasil antara metoda kerja yang benar dan yang asal jadi, perbedaan antara professional dan karbitan. Biar mereka sendiri yang menyimpulkan dan menentukan arahnya sendiri.
Untuk para gen Z yang belum berpengalaman, tahu banyak hal adalah hal yang baik, tetapi ujilah juga pengetahuan itu, agar dapat mengerti dengan benar dan tidak menjadi semacam hoax yang menyesatkan diri sendiri dan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H