Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kusutnya Kabel Utilitas Seakan Menyimpulkan Kekusutan Lainnya

7 Agustus 2023   20:06 Diperbarui: 10 Agustus 2023   11:30 893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satu-satunya model kabel bergelantungan di Singapura |sumber: www.roots.gov.sg

Kabel-kabel kusut bergelantungan tak teratur, bahkan ada yang rendah, yang dapat membahayakan pengguna jalanan, menandakan kusutnya "sesuatu". 

Entah itu kekusutan manajemen terkait pemasangan kabel, entah itu kusutnya rasa peduli pihak-pihak pemasang kabel, kusutnya peraturan-peraturan di negeri ini, sehingga sulit diterapkan dan akhirnya semua serba seenaknya tak beraturan. Kusut! Sekusut orang yang kebanyakan mikirin dunia. 

Beberapa kali saya melaporkan kabel-kabel yang mulai "merendah" di depan rumah. Karena kami sendiri tidak dapat melakukan perbaikan, dan juga hal yang sama sering terjadi berulang. 

Pengalaman pertama saya menelepon pihak Telkom, melaporkan bahwa ada kabel yang terlalu rendah membahayakan pejalan kaki atau kendaraan masuk. 

Karena posisinya tepat di atas pintu gerbang rumah kami yang merupakah pintu masuk dan juga dilalui pejalan kaki yang lalu lalang.

Dari pengalaman pertama, saya jadi tahu jenis-jenis kabel. Menurut pihak Telkom yang saya telepon pertama kali, kabel yang paling besar bisa dipastikan kabel listrik (PLN), selain itu kabel-kabel yang lebih kecil ada identitasnya. Harus dilihat dulu punya siapa. Waduh, jadi masyarakat harus melihat dulu kabel perusahaan mana yang mulai rendah? 

Tapi untungnya pihak Telkom datang juga setelah saya telepon berkali-kali menyatakan bahwa kabel yang "merendah" itu bukan kabel yang paling besar alias bukan milik PLN. 

Eh ternyata kabel itu bukan milik Telkom juga. Petugas menyatakan kabel itu milik salah satu provider Internet, menurut ID kabel yang mereka cek. 

Masih bagus, ternyata kabel-kabel itu, walau kusut masih punya ID (penanda), milik siapa. Untung juga, walau sambil mengomel petugas Telkom yang datang mau membenahi kabel yang merendah tadi. Terima kasih, Telkom!

Kedua kali, suatu saat ada petugas yang saya lihat sedang memasang kabel-kabel di area sekitar tempat tinggal kami, dimana saat itu kebetulan ada kabel yang merendah juga lagi-lagi tepat di depan rumah kami. 

Maka saya memanggil petugas tersebut, minta tolong untuk dicek dan sekalian dibenarkan posisi kabelnya. Mungkin saya termasuk orang yang cerewet, namun saya memang terganggu dengan posisi kabel yang membahayakan itu. 

Apalagi persis di depan rumah kami. Seorang tetangga bertanya, ada apa? Maka saya tunjuk kabel yang menjulur semakin rendah hampir mencapai pagar rumah, yang menurut saya bisa saja menjerat leher orang yang lewat. 

Eh, si tetangga pun sekalian melaporkan posisi kabel yang meredah juga di dalam gang dekat rumahnya, dan ikutan ngomel. 

Syukurlah saya tidak sendirian yang merasa hal itu berbahaya. Si petugas mendapati kabel itu bukan milik perusahaan mereka, dan menyebut salah satu provider Internet.

Lantas saya tanya, "Kami kan gak tahu itu kabel punya siapa, yang jelas berbahaya kalau terlalu rendah. Jadi harus bagaimana?"

"Lain kali langsung digunting saja, supaya perusahaannya langsung tahu kalau ada sinyal putus", kata si petugas.

Walah, kalau ternyata yang digunting kabel listrik kecil yang dipasang warga untuk mengalirkan listrik dari satu sumber, apa gak bahaya? 

Entahlah, saya pernah belajar elektro sedikit-sedikit jaman SMP, SMA dulu namun ilmunya sebagian besar sudah dikembalikan lagi ke guru pengajar.

Indonesia, tidak adakah standarisasi pekerjaan-pekerjaan umum seperti ini, sehingga pihak-pihak pemasang kabel seenaknya memasang kabel hingga terlihat kusut, sekusut pikiran orang yang pusing memikirkan dunia?

Bukan hanya pekerjaan perkabelan yang tidak ada standarisasi yang wajib diikuti para pekerja, namun ada banyak hal yang juga dikerjakan seenaknya tanpa memikirkan apakah hasil kerjanya akan membahayakan atau tidak, apakah hasil pekerjaannya akan sesuai dengan peruntukannya atau tidak, dll.

Beberapa contoh pekerjaan yang efeknya terasa oleh publik, diantaranya:

Pengerjaan pembuatan Trotoar

Trotoar, fungsinya untuk berjalan kaki. Tetapi ada yang dibuat "bergelombang", yang memungkinkan pejalan kaki terantuk. Ada juga  trotoar yang terlalu sempit, terkesan asal ada. 

Ada trotoar yang kepotong di belokan, karena belokannya tajam, sehingga pejalan kaki malah harus turun dulu ke jalan supaya bisa lewat. Bukankah ini sangat berbahaya, apalagi di belokan yang cukup tajam.

Belum lagi trotoar sempit yang ditengahnya ada pohon besar menutupi jalan. Maksudnya apa toh??

Ada trotoar bagus dan lebar, ketika baru dibuat memberi harapan untuk bisa jadi tempat jogging pagi, eeehh....belum sebulan, petak-petaknya sudah pada lepas....

Pengerjaan Pembuatan Jalan 

Pembuatan/perbaikan jalan yang asal-asalan. Contoh kasus, jalan rock & roll yang di Lampung tempo hari.

Pembuatan Saluran Air

Banyak saluran air di area jalan besar yang menjadi tempat tumbuh tanaman liar nan gondrong, tak terurus dan tak sesuai fungsinya. Bahkan ada yang menjadi tempat sampah.

Taman Kota Yang Gondrong

Dulu, ada sebuah kota yang sempat membuat penduduknya bangga karena taman-taman kota yang dulu tak terurus kemudian diperbaharui dan dibuat kekinian. 

Area di bawah jalan layang pun dibuat sedemikian rupa menjadi nampak indah (pada awalnya). Namun sekarang, banyak taman itu terlihat gondrong kurang terurus.

Masalah Kebersihan Yang Tak Berstandar

Tak hanya pekerjaan-pekerjaan umum seperti jalanan, trotoar, pengkabelan, masalah sampah pun tak ada standarisasinya, sehingga buat sebagian orang membuang sampah dimana-mana adalah hak asasi yang tak bisa ditegur. 

Ada yang merasa sudah berbuat baik karena menaruh makanan sisa dimana-mana untuk makanan kucing, padahal itu sama saja dengan mengembang biakan tikus.  

Semua pihak memasang standarnya masing-masing, yang berarti tidak ada standar. Dll

***

Semua itu seakan disimpulkan dan digambarkan oleh kusutnya kabel-kabel yang bergelantungan, yang bisa membahayakan orang.

Mungkin para pejabat terkait butuh lebih banyak asisten untuk mengawasi pekerjaan-pekerjaan umum seperti ini, dari mulai membuat standarisasi pekerjaan, quality control (QC), hingga pemeliharaan. 

Mungkin juga infrastruktur awal harus dirancang ulang, agar dapat dibuat standarisasi pekerjaan-pekerjaan umum seperti yang dibahas di atas. Mungkin juga Indonesia perlu melihat ke negara tetangga, Singapura. 

Seingat saya, tidak ada kabel berjuntaian di sana. Di bawah pun tidak ada juga kabel-kabel yang keluar dari dalam tanah membahayakan pejalan kaki. Yang ada hanyalah cable car di Pulau Sentosa. Itu pun rapih, sehingga enak dipandang. Cuma satu model, tak sebanyak di Indonesia. 

Satu-satunya model kabel bergelantungan di Singapura |sumber: www.roots.gov.sg
Satu-satunya model kabel bergelantungan di Singapura |sumber: www.roots.gov.sg

Indonesia mampu, hanya saja sering menyepelekan hal-hal kecil dan tidak membuat standar suatu pekerjaan yang baik, yang akhirnya lama-kelamaan menjadi carut-marut, kusut seperti kabel-kabel yang dipasang seenaknya, yang seolah menyimpulkan banyak kecerobohan akibat kekusutan dimana-mana. (VRGultom)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun