Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tinggallah Lebih Lama untuk Mengenal Jakarta

22 Juni 2023   12:58 Diperbarui: 24 Juni 2023   09:55 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kak Vero!", suara seseorang memanggil ketika saya bersama beberapa teman baru naik KOPAJA jurusan Blok M-Pondok Indah. Saya menoleh ke arah suara, namun tak terlihat seorang pun yang saya kenal. Ah, mungkin yang dipanggil orang lain.

"Kak Vero!", suara itu memanggil lagi dari arah yang sama.

Kembali saya tolehkan kepala. Seorang wanita tak jauh dari posisi saya, melambaikan tangan.

"Kak Vero, ini Rani, dulu kita kost bareng!", lanjut wanita itu.

Ah iya...saya ingat! Rani teman satu kost waktu baru pindah ke Jakarta beberapa tahun lalu.

Saya menghampiri dan duduk di bangku disebelahnya. Obrolan singkat saling bertanya kabar pun terjadi. Walau singkat, obrolan itu cukup membuat saya tahu kondisi Rani saat ini. Ternyata Rani yang sekarang tidak jauh beda dari Rani yang dulu. Bedanya, dulu, kemana-mana dia naik taksi.

Setelah kami turun duluan, seorang teman nyeletuk,"Temen lu Ver? Kaya gitu amat pake bajunya!"

Saya hanya tersenyum. Teringat lagi beberapa tahun silam, Rani sering minta ditemani entah itu ke warung, ke ATM, atau tempat lain yang tidak jauh dari kost kami, dengan gaya berpakaian yang sama. 

Sejujurnya agak risih berjalan bersama dia, khawatir kalau-kalau ada teman kantor yang melihat kami dan salah sangka. Bisa rusak reputasi saya. Begitu pemikiran saya dulu. Lokasi kantor saya sendiri hanya lima menit berjalan kaki dari tempat kost.

Pernah suatu kali, dia minta ditemani ke sebuah tempat dan dengan terus terang saya katakan,"Tapi pakai bajunya yang bener ya!"

"Ya kak, siap!"

Tidak lama, dia kembali lagi dengan pakaian yang menurut saya tidak jauh beda. "Pakai baju ini ok kan?", tanyanya.

Yah mau gimana lagi, semua model bajunya seperti itu. Mau meminjamkan baju, tanpa diukur pun sudah kelihatan ukuran badan beda jauh.

"Ya udah, gak apa-apa!", akhirnya cuma kalimat itu yang keluar dari mulut saya.

Rani, seorang mahasiswi suatu perguruan tinggi di Jakarta asal kota Tangerang, yang menurut ceritanya sejak kelas dua SMA, sudah menjalani kehidupan seperti saat kami bertemu. 

Kisah hidup yang membuat saya kaget, walaupun dari penampilan sehari-hari sudah terbaca juga apa profesi sampingannya selain berstatus mahasiswi. 

Saya berusaha tidak memperlihatkan ekspresi kaget itu. Cukup disimpan sendiri saja. Dari kasak-kusuk yang beredar dan kebiasaan keluar malam, saya juga mendengar tentang beberapa teman lain yang punya profesi sampingan serupa. Namun hanya Rani yang bercerita terus terang.

Suatu malam kamar saya digedor-gedor oleh teman-teman kost lain karena Rani menangis meraung-raung. Saya memang paling tua di kost itu dan biasanya jadi tempat pengaduan kalau ada masalah. 

Lainnya masih mahasiswa, sementara pemilik rumah tidak tinggal bersama kami. Jumlah kami  pun tidak banyak, hanya 10 orang ditambah dua orang asisten rumah tangga.

Rupanya Rani menangis karena baru diputuskan oleh pacar bulenya lewat telepon. Saya pun menghiburnya. Sejujurnya saya bersyukur dia putus dengan pacarnya, karena dari kisah yang saya dengar, saya menyimpulkan lelaki itu bukan lelaki yang baik. 

Siapa tahu dengan putus hubungan, Rani bisa fokus kuliah dan mulai hidup normal layaknya mahasiswa biasa. Dalam doa malam, saya doakan supaya Rani menemukan lelaki yang baik yang dapat menuntunnya untuk bertobat.

Keesokan paginya saat sarapan, Rani sudah terlihat lebih tenang. Dia bercerita bahwa semalaman dia berdoa supaya bisa balik lagi dengan pacarnya yang semalam memutuskan hubungan secara sepihak. What?!! Waduh, jangan-jangan Tuhan jadi bingung, doa siapa yang harus dikabulkan!

Foto Oleh yohanes budiyanto - flickr.com
Foto Oleh yohanes budiyanto - flickr.com

Waktu berlalu, saya pun pindah dari kost itu. Rani sudah lebih dulu pulang ke rumahnya. Pada akhirnya karena kesibukan masing-masing, kami lost contact.

Hari ini, sekian tahun kemudian, tidak sengaja saya bertemu lagi dengan Rani. Rok mini yang terlalu pendek dan atasan yang terlalu terbuka di bagian-bagian yang tidak semestinya, memperlihatkan bentuk tubuh yang cukup berisi, membuat penampilannya menjadi perhatian. Gaya berpakaian yang tidak praktis untuk angkutan umum. Itulah Rani yang masih sama seperti dulu. 

Menurut ceritanya saat ini dia bekerja di sebuah diskotik dan sudah memiliki seorang anak, tetapi tidak menikah. Tetapi saya tidak lagi merasa risih berdekatan dengan dia dalam bis itu meski gaya berpakaiannya bisa membuat orang yang melihat salah sangka.

Kisah Rani hanya salah satu gambaran anak Jakarta, yang kebetulan saya temui ketika baru pertama kali meniti hidup di Jakarta, dan sempat membuat saya berpikir, "Ini toh Jakarta!".  

Apa yang saya baca di novel-novel dulu, ternyata benar adanya! Kirain cuma cerita fiksi!

Tetapi di kemudian hari ada banyak kisah yang saya temui dan dengar selama hidup di Jakarta. Ada banyak gambaran "anak Jakarta" yang saya temui. Ada yang buruk, ada yang baik menurut penilaian lingkungan dan budaya. 

Ada yang terlalu cuek dan tidak peduli orang lain, tapi banyak juga yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila tanpa harus sok kekota-kotaan atau sok kedesa-desaan. Gotong royong, kepedulian, saling bantu, masih saya temui di lingkaran pertemanan saya.

Saya pernah aktif di beberapa komunitas, pernah juga jadi anak nongkrong walau cuma di caf, pernah jadi anak kost di beberapa tempat bersama dengan orang-orang berlatar belakang macam-macam, pernah ikut berbaur (sebagai relawan) dengan anak jalanan. 

Semuanya membuat mata terbuka. Ternyata ada banyak sisi kehidupan orang Jakarta. Dan semuanya perlu dimanusiakan, bukan di demo atas dasar salah atau benar.

Hidup di Jakarta dengan berbagai macam latar belakang orang, membuat saya sadar bahwa tidak ada manusia yang derajatnya lebih tinggi atau lebih rendah. 

Masalah iman dan ahlak, itu urusan pribadi seseorang dengan Tuhannya. Kita tidak berhak menghakimi, seberapa pun jauhnya seseorang dari budaya yang berlaku. Penghakiman hanya akan membuat seseorang yang terhakimi menjadi semakin menjauh.

Tinggalah lebih lama untuk mengenal Jakarta, untuk tahu latar belakang masyarakatnya mengapa bisa begini dan begitu. Buka mata, buka hati, buka pikiran, dan temukan sesuatu yang dapat dilakukan untuk kebaikan bersama.

Maju kotanya, bahagia warganya! Ah masa? Kiri, kanan, depan, belakang dipenuhi bangunan, kendaraan, pedagang, dll. Mau maju ke mana lagi??  Yang jelas kebahagiaan itu tergantung diri masing-masing orang, bukan tergantung kemajuan kota.

Sukses Jakarta untuk Indonesia! Mari kita dukung segala usaha yang membuat Jakarta lebih baik! Kesuksesan hari ini harus menjadi titik awal kesuksesan selanjutnya. 

Karena sukses itu tidak pernah statis berjalan di tempat. Semoga Jakarta dapat terus berkarya lebih baik, menjadi Jakarta yang BMW. Bersih, Manusiawi, dan berWibawa!

(VRGultom)

#Kopaja71 #Jakarta #HutJakartake496

Biodata penulis: 

Numpang hidup di Jakarta mulai tahun 2000, pergi dan datang lagi untuk sekedar ngetem agak lama, atau singgah sebentar. Warga Jakarta yang bukan penduduk DKI

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun