Kasus turis asing di Bali yang terkesan mencaplok pekerjaan warga lokal meski tidak mengantongi visa kerja untuk bekerja secara legal di Indonesia perlu ditertibkan. Namun bagaimana jika mereka sudah memenuhi aturan tetapi tetap dianggap mencaplok pekerjaan orang lokal?
Menurut saya hal itu perlu disikapi dengan bijaksana. Jika memang sudah sesuai aturan, rasanya kita tidak berhak untuk melarang atau mempersoalkan. Mungkin saja mereka diterima di Indonesia (dalam hal ini Bali), karena tidak menemukan talenta lokal.Â
Bukan hal yang murah untuk mempekerjakan orang asing di suatu negara, demikian pula tidak mudah bagi pekerjanya untuk menyesuaikan diri secara budaya di suatu negara asing, jauh pula dari keluarga. Selain itu, pajak penghasilan orang asing, setahu saya (dan sudah seharusnya) lebih tinggi daripada tenaga kerja lokal.
Saya tidak terlalu tahu apa saja yang biayanya lebih mahal untuk orang asing di Indonesia, karena saya sendiri tidak pernah menjadi orang asing di Indonesia. Yang saya tahu, biaya pendidikan lebih mahal, karena masuk kategori International Student. Biaya-biaya tiket masuk pertunjukan-pertunjukan dan area turis di Bali (dan sepertinya di seluruh Indonesia) pun berbeda antara turis domestik dan turis asing.Â
Turis asing lebih mahal. Sementara untuk kesehatan, menurut yang saya baca di website BPJS, WNA boleh menjadi anggota BPJS jika sudah tinggal di Indonesia minimal enam bulan (secara legal tentunya), namun tidak dijelaskan apakah iurannya lebih mahal atau tidak dibandingkan WNI.
Saya sendiri pernah menjadi orang asing di negara tetangga, Singapura dan Philipina. Di kedua negara tersebut, visa kerja sudah pasti harus ada dan pajak penghasilannya pun lebih tinggi dibandingkan orang lokal. Biaya kesehatan? Lebih tinggi juga. Untungnya ada asuransi kesehatan dari tempat bekerja. Sedangkan biaya hidup hari-hari, sama saja dengan orang lokal. Termasuk tiket masuk ke tempat wisata, tidak dibedakan antara penduduk lokal dan WNA.
Sewa tempat tinggal juga cukup mahal. Di Singapura, orang asing boleh membeli rumah/apartment disana tetapi ada flat-flat (rumah susun) yang khusus dijual kepada penduduk lokal dengan harga lebih murah. Biaya pendidikan? Ada perbedaan biaya antara WNA dan penduduk lokal. Yang pasti biaya pendidikan WNA lebih mahal. Sama dengan orang asing di Indonesia.
Hal yang sama dengan protes orang Indonesia yang sempat saya tangkap dari beberapa kenalan penduduk lokal di Singapura adalah, mereka merasa pekerjaan mereka direbut oleh orang asing. Padahal setahu saya, persyaratan dan proses untuk orang asing bekerja di negara mereka tidak mudah.Â
Sekalipun perusahaan sudah menerima kita sebagai karyawan melalui beberapa proses yang berlaku, belum tentu kita jadi bekerja untuk mereka. Karena ada proses lain yang harus dijalani, yaitu dari pemerintah setempat. Selain kualifikasi calon karyawan yang diajukan, perusahaannya sendiri pun harus memenuhi syarat untuk merekrut orang asing.Â
Ada gaji minimum yang harus dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan yang merekrut orang asing. Jadi jika mereka dianggap tidak mampu menggaji orang asing sesuai aturan, permohonan mereka untuk mempekerjakan orang asing tidak akan dipenuhi.
Sebelum memutuskan merekrut orang asing, perusahaan-perusahaan di Singapura harus terlebih dahulu mencari tenaga lokal dengan cara memasang iklan mencari tenaga kerja yang dibutuhkan. Jika dalam waktu tertentu mereka tidak mendapatkan tenaga lokal, baru mereka diijinkan mencari tenaga asing dari luar. Saya rasa ini cukup adil untuk orang lokal.Â
Kalau memang tidak ada tenaga lokal, sementara business membutuhkan, terpaksa mencari tenaga asing yang kompeten. Jadi sebenarnya tidak ada yang merebut pekerjaan penduduk lokal. Sementara untuk tenaga asing yang melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar, seperti tukang-tukang bangunan, mereka didatangkan dari negara lain karena penduduk lokal juga tidak kompeten dan ada juga unsur "tidak mau" melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti itu, termasuk pekerjaan sebagai domestic worker/asisten rumah tangga.
Ternyata di Indonesia pun tidak sembarangan merekrut pekerja asing. Ada aturannya dan tidak semua perusahaan boleh merekrut orang asing.Â
Dalam kasus turis asing di Bali melakukan pekerjaan-pekerjaan orang lokal, saya rasa peraturannya harus dijalankan dengan benar tanpa pandang bulu, dan jika ada WNA bekerja (apapun) tanpa visa kerja atau tidak sesuai aturan, sudah pasti harus ditindak tegas.
Untuk penduduk lokal sendiri, sebaiknya meningkatkan kemampuan dalam hal keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan di wilayah-wilayah seperti Bali, yang merupakan tujuan wisata. Ada baiknya juga jika secara rutin PEMDA setempat menawarkan pelatihan-pelatihan kepada penduduk lokal terkait profesi-profesi "baru" yang dulu tidak ada sekarang ada dan dibutuhkan.
Misalkan, dulu mana ada photographer bawah laut? Sekarang, seiring olahraga diving semakin dikenal masyarakat, meski hanya untuk level tertentu saja karena biayanya mahal dan resikonya juga tinggi, profesi photographer bawah laut menjadi dibutuhkan.Â
Demikian pula, seiring kesadaran bahwa profesi seperti youtuber juga semakin banyak yang menggeluti, tentunya profesi ini membutuhkan talenta-talenta khusus dalam bidang yang berhubungan dengan video, audio, dan gambar. Jika orang asing dianggap lebih kompeten dalam hal itu, ya jangan salahkan mereka kalau orang lokal dinomor duakan.
Kata kuncinya adalah "berkembang". Jika seseorang tidak mau berkembang jangan salahkan orang lain yang "mencaplok" pekerjaannya.Hidup selalu berubah dari waktu ke waktu maka kita juga harus berubah. Maka berkembanglah terus dan jadilah profesional di bidang apapun yang dikuasai. (VRGultom)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H