Wah asyik juga kalau jalan-jalan ke sekitar negara-negara ASEAN, gak perlu persiapan mata uang negara yang akan dituju dalam jumlah banyak.
Saya teringat beberapa tahun lalu, ketika menjadi turis di Thailand, dan hendak menukar uang Rupiah ke Baht Thailand. Tidak ada money changer yang mau terima di sekitar area turis yang saya kunjungi! Pelajaran yang didapat ketika itu dan berdasarkan pengalaman seorang teman yang lebih sering jalan-jalan ke luar negeri, kalau kemana-mana bawa persiapan USD karena mata uang itu yang diterima di semua tempat alias gak pernah ditolak.Â
Alhasil ketika itu, pada akhirnya saya harus menggunakan credit card sebagai alat pembayaran, dimana hampir semua toko memberlakukan charge 3% dari jumlah pembayaran. Lumayan rugi juga sih. Apalagi yang menerima pembayaran dengan kartu kredit hanya toko-toko tertentu yang besar atau agak besar.Â
Tempat makan pun yang terima kartu kredit hanya restoran dan caf. Pengeluaran jadi tidak sesuai dengan budget. Sementara kalau tarik cash dari ATM, selain kena biaya 5 USD sekali narik, nilai tukarnya juga mengikuti bank dimana kita tarik uang, yang bisa jadi lebih kecil daripada rate rata-rata di money changer.
Saya juga punya pengalaman ketika ke Vietnam, dimana banyak warung-warung makan rumahan seperti di Indonesia, yang menjual makanan traditional Vietnam, yang bayarnya cuma terima cash karena tidak terlalu mahal. Untunglah berdasarkan pengalaman-pengalaman, sebelumnya saya menukar uang cash Rupiah ke Dong Vietnam agak lebih banyak demi menghindari penggunaan kartu kredit seperti pengalaman di Thailand. Pada akhirnya, uang cashnya memang tidak kekurangan, malah kelebihan.Â
Kembalian uang cash banyak yang pecahan kecil. Sekembalinya ke Indonesia, ternyata money changer tidak menerima penukaran uang dari Vietnam. Saya coba beberapa money changer di Bandung dan Jakarta, belum ketemu yang mau terima uang Vienam. Untuk mata uang Vietnam ini, money changer di Indonesia hanya menjual saja tetapi tidak mau membeli. Maka uang sisa dari Vietnam tersebut sampai sekarang masih ada dan menjadi koleksi saja. Kepakenya nunggu ke Vietnam lagi. Itu pun entah kapan, jangan-jangan keburu gak laku lagi uangnya.
Di Philipine, Malaysia, dan Singapore sama saja. Kita harus menggunakan mata uang negara tersebut sebagai alat transaksi. Dulu, ketika saya masih bekerja di Singapura, untuk transfer uang ke Indonesia nunggu rate naik dulu supaya rupiahnya jadi banyak.Â
Menukarnya pun melalui teman yang punya banyak rupiah, supaya tidak kena biaya administrasi dan biaya lainnya. Jadi kita transfer SGD nya ke rekening bank Singapore teman ini, dan dia transfer rupiah dari rekening Indonesianya dia ke rekening Indonesia kita. Tidak kena biaya dan ratenya pun lumayan lebih tinggi dibanding kalau kita transfer lewat bank atau agen remittance. Hanya saja ada rasa was-was karena semua transaksi berdasarkan asas saling percaya. Penukaran uang lewat teman ini pun akan langsung sampai hari itu juga, sementara kalau transfer lewat bank atau remittance, nyampenya baru satu atau dua hari kemudian.
Jika ada metoda pembayaran menggunakan QR Code yang berlaku seragam di seluruh negara ASEAN tentu akan sangat memudahkan para turis yang saling berkunjung ke seluruh negara ASEAN. Para turis tidak perlu lagi repot membawa uang cash dan menukarnya ke mata uang di negara setempat. Juga tidak perlu membawa berbagai kartu kredit dan debit yang membuat dompet jadi tebal dan berat. Jajan di pinggir jalan pun jadi gampang bayarnya. Bukankah kalau berwisata ke suatu tempat, salah satu yang wajib di coba adalah makanan traditionalnya, yang biasanya lebih enak di kaki lima atau pedagang warung daripada di restoran? Â Belanja pun bisa dimana saja termasuk toko-toko kecil semacam UMKM.
Tentu pembayaran dengan QR Code yang berlaku sama di seluruh negara ASEAN ini, bukan  hanya memudahkan para turis, tetapi juga menguntungkan UMKM di seluruh negara ASEAN. Pembayaran yang tidak dibatasi oleh minimum pembayaran yang terlalu tinggi, akan memudahkan pembelanjaan di UMKM-UMKM. Ingat, UMKM adalah ujung tombak perekonomian. Jadi tentu saja penggunaan QR Code sebagai sistem pembayaran, secara tidak langsung akan membantu pemulihan perekonomian terutama setelah masa pandemi kemarin. Saya kira UMKM sebagai ujung tombak perekonomian ini berlaku dimana-mana, bukan cuma di Indonesia.
Pembayaran dengan menggunakan metoda QR Code, seperti QRIS di Indonesia, tidak dibebani biaya-biaya, seperti misalnya tambahan 3% jika menggunakan kartu kredit, atau biaya transfer antar bank dari negara asal ke negara tujuan. Menurut berita beban-beban biaya seperti itu tidak ada. Jadi tentu selain praktis, biaya jadi lebih murah. Mudah-mudahan ratenya juga adalah yang terbaik.
Oh ya, praktisnya juga termasuk, gak usah mikirin kembalian uang. Karena kalau kita di negara asing yang cuma dikunjungi sekali setahun atau lebih jarang, kadang gak ngeh juga dengan nilai uang negara tersebut. Dulu saya pernah mengalami, mau bayar sesuatu ngitung duitnya lama, karena kurang familiar dengan nilai mata uang mereka. Sementara kalau kita kasih uang pecahan besar, ternyata selisih antara yang harus dibayar dengan pecahan besar itu terlalu jauh, sehingga kadang pedagang tidak mau terima juga. Permasalahan ini dapat diatasi oleh QR Code payment karena bayarnya pasti pas sesuai jumlah yang harus dibayar, ditambah tip jika berkenan.Â
Jadi jelas, pembayaran dengan menggunakan QR Code yang berlaku se-ASEAN, akan sangat memudahkan, praktis, murah, dan aman. Serasa punya satu mata uang untuk se-ASEAN. Tak perlu lagi membawa USD di sekitar negara ASEAN untuk antisipasi susah nuker mata uang negara tertentu di suatu negara ASEAN. ASEAN "satu mata uang" dengan menggunakan QR Code membuat ASEAN menjadi tuan rumah di regionalnya sendiri. USD di ASEAN, minggir dulu!
Mudah-mudahan QR Code payment ini juga berlaku untuk remittance, yang tentu akan memudahkan para pekerja di luar negaranya masing-masing, yang masih se-ASEAN untuk transfer uang ke negaranya. Murah, praktis, cepat, dan tentunya aman. Jika QR Code belum berlaku untuk remittance (transfer antar negara) pun, saya yakin QR Code payment yang berlaku se-ASEAN akan membuka peluang berlakunya remittance yang murah, aman, dan cepat sampai.Â
Karena sistem pembayaran dengan QR Code ini, menandai regional payment connectivity, yaitu saling terhubungnya sistem pembayaran di regional ASEAN. Semoga ide regional payment connectivity ini didukung oleh seluruh negara ASEAN, demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi semua negara ASEAN. Â Bravo ASEAN!
Eh rupanya, menurut berita yang disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, pada peluncuran QRIS antar negara, Bank Indonesia bukan hanya akan menyambungkan sistem pembayaran QRIS ke negara-negara ASEAN saja. Tetapi ke seluruh dunia. Hanya saja akan dimulai dari ASEAN dulu. Bahkan sebenarnya, sudah ada kerja sama dengan Jepang juga. Kalau semua itu tercapai, asyik juga. Persiapan kunjungan dinas atau liburan ke luar negeri gak perlu lagi repot cari money changer dulu dan menghitung kira-kira berapa kebutuhan cash di negara yang akan dituju.Â
Tapi hati-hati, jangan sampai kebablasan belanja segala macam karena bayarnya tinggal scan. Sistem pembayaran menggunakan QR Code ini tetapi dibayar pake duit lho, cuma jadi lebih praktis, mudah, murah dan aman saja karena tidak perlu bayar-bayar pake uang cash. Jadi tetap tahan diri makan dan belanja di luar negeri, jangan sampai lewat batas budget maximal. Dua jempol buat Bank Indonesia yang sudah mengusahakan kerja sama sistem pembayaran berbasis QR Code yang mendunia ini.
 (VRGultom)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H