Bekerja sambil kuliah (bukan kuliah sambil bekerja), dapat saya jalani dengan baik meskipun harus mengorbankan banyak waktu untuk bersosialisasi. Pulang kerja langsung ke kampus untuk kuliah, dari Senin sampai Sabtu. Minggu kadang diisi dengan praktikum laboratorium. Otomatis waktu untuk bertemu group lain selain keluarga, teman kerja, dan teman kuliah nyaris tidak ada.Â
Hidup hanya seputar kerja dan kampus. Pulang ke rumah pun langsung tidur karena sudah capai. Namun semuanya bisa dilalui dengan baik.
Kebetulan juga antara pekerjaan dan jurusan kuliah memang sejalan. Boleh dibilang saat itu saya hanya mengejar ijasah, karena kenyataannya saya sudah bekerja di bidang yang sama dengan jurusan kuliah, yaitu di bidang IT. Dan sebelumnya saya sudah lulus diploma di bidang IT juga.
Saya pikir membuat skripsi akan mudah dan lancar-lancar saja karena toh mata kuliahnya sudah saya kuasai semua dan bisa dibilang semuanya adalah makanan sehari-hari di tempat kerja. Maka saya pun memberanikan diri menerima pekerjaan di Jakarta, ketika ada kesempatan. Pertimbangannya, toh tinggal skripsi. Bisa dikerjakan di rumah. Jarak antara Bandung dan Jakarta tidak jauh juga. Setiap weekend saya bisa pulang dan laporan ke dosen pembimbing. Saya pun memberi tahu dosen pembimbing bahwa saya akan menyelesaikan skripsi dan hadir untuk bimbingan setiap hari Sabtu. Dan beliau pun setuju.
Dosen pembimbing menyatukan jadwal bimbingan saya dengan dua orang lain dari kelas pagi. Sementara, saat itu saya adalah mahasiswa kelas malam.
Bekerja di Jakarta untuk pertama kalinya (baca: merantau), dan harus pulang ke Bandung setiap Jum'at malam dengan kereta api Parahyangan dan kembali lagi ke Jakarta setiap Senin subuh, ternyata cukup melelahkan. Apalagi saat itu kereta api Parahyangan di Jum'at malam dan Senin Subuh selalu penuh dan saya lebih sering mendapatkan tiket berdiri.Â
Berangkat Jum'at malam dari Jakarta, dan sampai di Bandung sudah larut malam, besok paginya harus siap-siap bimbingan skripsi untuk sore hari, dan senin sekitar jam 3 pagi sudah harus lari lagi ke stasiun KA mengejar kereta jam 4 subuh menuju Jakarta.
Sementara weekday bekerja dan malamnya, di rumah, saya juga punya PR mempelajari pekerjaan kantor yang belum saya mengerti dan juga beradaptasi dengan lingkungan baru.
Kondisi itu ternyata benar-benar membuat saya lelah dan hampir tidak punya energi lagi untuk menyelesaikan skripsi. Nyaris saya mundur. Seorang teman lain yang sama-sama bimbingan skripsi sedang mempersiapkan pernikahan dan juga hampir tidak punya waktu menyelesaikan skripsi. Rupanya dia pun berniat mundur dan menunda kelulusan sampai tahun depan.Â
Tinggalah seorang lagi yang tidak punya alasan untuk mundur. Akhirnya dia juga yang rajin menelepon mengingatkan kami berdua, nanti siang ketemu di titik X untuk sama-sama ke rumah ibu pembimbing untuk bimbingan skripsi.
Teman ini seolah mengabaikan alasan kami berdua yang berniat mundur. Sementara ayah saya pun tidak pernah lelah mengingatkan, bahwa di Indonesia ijasah masih lebih dihargai daripada skill.Â
Pembimbing skripsi kami juga terkenal sangat disiplin, detail, dan cukup ditakuti oleh para mahasiswa. Rupanya teman ini tidak mau pergi bimbingan sendiri menghadapi sang dosen pembimbing.
Karena rasa tidak enak dengan teman ini, dan setuju dengan pendapat ayah saya, ditambah lagi ingatan bahwa dengan bekerja sambil kuliah, saya sudah mengorbankan banyak hal terutama uang dan waktu, maka saya pun berusaha memacu semangat.Â
Sering juga teman ini memaksa datang ke rumah untuk sama-sama mengerjakan skripsi sebelum pergi bimbingan. Otomatis saya tidak punya alasan untuk menghindar. Sementara teman yang sedang mempersiapkan pernikahan, tidak bisa kami paksa karena memang sibuk.
Namun setiap jadwal bimbingan tiba, kami selalu saling kontak mengingatkan jadwal dan pergi bersama-sama. Dosen pembimbing pun membuat kami saling bekerja sama dan saling membantu memeriksa hasil pekerjaan kami.
Kadang jika salah seorang dari kami ada yang masih belum selesai persiapan bahan skripsi yang akan dilaporkan, kami tunggui, dan memberanikan diri memberi tahu dosen pembimbing bahwa kami akan datang terlambat sekian menit atau minta ganti jam. Padahal dosen ini juga adalah tipe orang yang sangat tepat waktu. Namun karena kami bertiga, maka jika beliau marah-marah, kami hanya menunduk dan sembunyi-sembunyi saling lempar senyum saja.
Pada akhirnya kami bertiga dapat menyelesaikan skripsi dan maju untuk sidang. Perjuangan belum selesai, masih berlanjut.
H-1 sidang, seorang teman lain meminjami saya laptop untuk mendemonstrasikan sistem komputer yang sudah saya buat dan tuangkan dalam skripsi. Sebenarnya pihak kampus menyediakan sebuah komputer untuk para peserta sidang. Namun, teman saya mengatakan lebih baik bawa laptop sendiri supaya bisa memastikan semuanya berjalan lancar dan tidak pelu buang waktu lagi untuk melakukan instalasi pada PC yang disediakan kampus.
Hari H, beberapa teman dengan setia menjemput dan menunggui saya selama sidang. Kami bertiga, yang satu kelompok bimbingan skripsi, sidang di hari yang sama. Pagi-pagi kami sudah datang dan saling menguatkan. Siap tidak siap, harus siap.
Dan tibalah giliran saya. Entah karena gugup, progam komputer yang sebelumnya sudah saya test didalam laptop, sama sekali tidak jalan. Alamak!!
Dengan keringat dingin, saya mencoba mengutak-ngatik program yang sebelumnya sudah saya pastikan jalan.
Beruntung akhirnya seorang dosen penguji meminta saya untuk menjelaskan konsepnya saja, karena pagi hari dia sudah melihat saya sibuk mengkutak-katik laptop memastikan semuanya lancar.
Sementara wajah sang dosen pembimbing sudah tegang membuat hati jadi tidak tenang dan tambah tegang. Tapi kan ini sidang tentang masa depan saya, bukan masa depan beliau. Dengan pemikiran itu saya mencoba menenangkan diri dan memulai presentasi tanpa komputer. Hanya dibantu white board untuk menjelaskan sesuai pertanyaan para dosen penguji.
Dan akhirnya....lulus dengan nilai A! Yes!!
Ibu dosen pembimbing pun menghampiri saya dan sambil menyalami, tidak lupa dia mengatakan,"Kamu sih dari pagi dikutak-katik makanya gak jalan programnya!"Â
He..he..he..yang penting udah lulus dah bu!
Kedua teman saya pun ternyata lulus juga dengan nilai A. Dan kami bertiga wisuda di tahun yang sama.
Rupanya kekompakan kami bertiga sering dijadikan contoh oleh ibu dosen pembimbing kami ketika beliau memberikan kuliah di kelas lain. Padahal, selama bimbingan rasanya kami selalu tegang. Untung bertiga he..he..he..Ternyata beliau pun bangga dengan kekompakan kami. Dua orang nyaris mundur, namun karena kami saling menyemangati akhirnya kami bisa lulus bersama-sama.
Mungkin skripsi itu bukan masalah mudah atau susah. Karena toh semua teori sudah diberikan selama kuliah dan sudah lulus setiap mata kuliah. Minimal mata kuliah yang wajib lulus pastinya sudah lulus makanya bisa melangkah ke skripsi.Â
Jika masih sulit, kemungkinan materinya kurang cocok atau tidak terlalu menguasai teori. Masalah ini biasanya sudah dibicarakan dengan pembimbing sejak awal bimbingan. Jadi jika materinya diluar "jangkauan" tentu dosen pembimbing sudah membantu mengarahkan.
Namun menyelesaikan skripsi adalah juga masalah komitmen menyelesaikan apa yang sudah dimulai, yaitu kuliah dari semenjak semester satu. Ada banyak godaan dan halangan untuk menunda skripsi tetapi sebaiknya usaha dulu hingga titik darah penghabisan. Dukungan dari teman seperjuangan, motivasi dan dukungan keluarga, menurut saya sangat membantu dalam memacu energi yang nyaris habis tak bersisa.
Jika teman saya yang tidak punya alasan untuk mundur tidak "menuntut" kami untuk selalu hadir setiap jadwal bimbingan, mungkin saat itu saya tidak akan dapat menyelesaikan skripsi. Atau mungkin malah tidak akan pernah lulus kuliah, karena punya alasan penghalal, yaitu bekerja di Jakarta tapi kuliah di Bandung.
Sementara teman saya yang satunya lagi juga bisa sama-sama lulus padahal dia sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya. Setelah menikah dia malah pindah ke luar pulau mengikuti suaminya. Jika dia tidak memaksakan diri, mungkin juga dia tidak akan pernah lulus karena keburu pindah ke luar pulau. Di kemudian hari saya pun tahu, ijasah itu penting bukan cuma di Indonesia.Â
Mendapatkan pekerjaan mungkin tidak lagi ditanya ijasah jika perusahaan tertarik dengan skill kita. Tetapi ijasah menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan ijin bekerja ketika mendapat pekerjaan di luar Indonesia. Untung sudah lulus! (VRGultom)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H