Pernah kesal dengan jawaban customer service yang seolah tidak mengerti permasalahan tetapi tetap menjawab dengan sopan walau gak nyambung dengan permasalahan yang dibicarakan?
Gimana rasanya? Kesal, buang-buang waktu, buang-buang pulsa, bikin darah tinggi karena serasa gak ada guna menghubungi customer service?
Yup, customer service manusia yang berasa seperti robot karena mereka hanya menjawab sesuai text book atau buku panduan menjawab yang menjadi acuan mereka.
Bagaimana jika kemampuan customer service manusia digabungkan dengan kemampuan customer servis teknologi, misalnya ChatGPT?
Seperti yang kita sudah ketahui, ChatGPT adalah sebuah bentuk artificial intelligence generative yang berupa chatbot. Dia memiliki kemampuan untuk menyajikan jawaban dari berbagai macam pertanyaan.
Nah, alih-alih menjawab secara text book, mereka bisa bertanya pada ChatGPT mengenai pertanyaan atau permasalahan yang diajukan oleh customer. Jadi sambil online dengan customer, mereka dapat membuka chatbot AI, yang tentunya sudah disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan Data-data pembelajarannya diambil dari data histori/pengalaman berbagai masalah pelanggan yang disampaikan. (baca: Bagaimana Kira-Kira Perkembangan (Chat)-GPT Selanjutnya?)
Sebuah perusahaan yang berpusat di Philippine, Amerika, dan beberapa negara lain, yang memberikan layanan administrative software, dimana mereka harus menjadi technical support untuk para pelanggan mereka yang umumnya dari kelas-kelas bisnis kecil (kalau di Indonesia mungkin UMKM), memilih untuk mengimplementasikan generative AI semacam ChatGPT untuk meningkatkan performance para karyawannya.
Technical support ini biasanya harus stand by dan membantu users (para pengguna) jika mereka mengalami masalah teknikal dalam penggunaan software. Misal tidak bisa login, aplikasi hang, data tidak tercatat, erorr aplikasi, dan sebagainya. Pekerjaan mereka seperti customer service, tetapi di bidang software.
Tentunya para technical support ini harus memiliki pengetahuan dalam bidang teknikal yang berhubungan dengan software, instalasi software, dll.Â
Namun, setiap aplikasi tidaklah sama, sehingga secara khusus mereka harus dilatih terlebih dahulu mengenai software yang diimplementasikan oleh perusahaan tersebut.Â
Semakin tinggi ilmunya, semakin mumpuni kemampuannya untuk melayani pelanggan. Biasanya dalam menghadapi permasalahan teknik, mereka harus menginvestigasi terlebih dahulu sebelum dapat menemukan permasalahannya dan memberikan jawaban.Â
Misalnya mereka akan memerlukan informasi mengenai bagaimana kejadiannya, apakah Internetnya terhubung, apakah ada kesalahan input sebelumnya, dll.Â
Sebuah pembicaraan yang bisa menjadi pembicaraan yang cukup panjang, dengan waktu rata-rata mencapai 40 menit untuk satu kasus. Karena waktunya bisa lama, maka biasanya supportnya dilayani dalam bentuk chat, bukan telepon.
Itu semua bukanlah hal yang mudah apalagi untuk technical support pemula. Dan perusahaan ini ternyata mengalami turn over karyawan (kyw keluar masuk) yang cukup tinggi.Â
Pekerjaan ini memang dapat menimbulkan stress. Apalagi kalau pengguna (user) yang sedang ditangani, kurang bisa bekerja sama mengikuti arahan.Â
Turn over yang tinggi ini tentunya merugikan perusahaan karena perusahaan harus bolak-balik melatih karyawan baru. Secara biaya dan waktu, perusahaan merugi. Selain itu para pelanggan pun menjadi lebih sering berhubungan dengan karyawan baru yang tidak seluwes technical support yang berpengalaman.
Pada tahun 2020, perusahaan ini akhirnya memutuskan untuk menggunakan AI guna membantu performance para karyawannya menjadi lebih baik. Disini, AI digunakan untuk membantu para pekerja, bukan untuk menggantikan para pekerja.Â
Jadi jika biasanya para technical support ini melakukan percakapan dalam window chat dengan pelanggan, melakukan investigasi terhadap permasalahan yang ada, dan berpikir sendiri mengenai penyelesaian masalahnya, maka dengan bantuan AI chatbot seperti ChatGPT, mereka dapat menjawab lebih cepat.Â
Pelanggan berkomunikasi dengan technical support (manusia), dan technical support mencari bantuan dari AI chatbot. Jadi ada dua window chat pada layar komputer para technical support. Satu untuk chat dengan customer, satunya lagi untuk chat dengan AI mencari bantuan atas permasalahan yang dihadapi customer. Hal ini, bisa kita ibaratkan sebagai cyborg, karena terjadi gabungan kemampuan manusia dan mesin (AI).
Dengan demikian, karyawan pun menjadi terbantu, customer puas karena permasalahan diselesaikan lebih cepat, performa perusahaan di mata client/pelanggan pun menjadi bagus. Ujung-ujungnya pelanggan makin banyak dan profit pun bertambah.
Itulah salah satu contoh penggunaan AI yang membantu pekerja meningkatkan performance dan bukan bertujuan untuk menggantikan pekerja. Semua pihak malah terbantu.
Dalam dunia konsutan IT ada aturan: jangan membuat customer menunggu. Jika dalam 15 menit kamu tidak dapat menyelesaikan masalah, segeralah minta bantuan kepada yang lebih ahli (senior).Â
Dalam hal ini, maksudnya jangan membuat customer menunggu terlalu lama tanpa kepastian berapa lama masalah akan diselesaikan.Â
Setelah selesai melayani customer, tentunya mereka bisa ambil waktu untuk mempelajari sendiri solusi masalah yang diberikan oleh senior, dalam hal cyborg ini, yang diperlakukan sebagai yang lebih ahli adalah teknologi AI. Lain waktu mungkin mereka tidak perlu bertanya lagi pada mesin AI, karena sudah mengerti cara penyelesaian masalahnya. (VRGultom)
Referensi: This company adopted AI. Here's what happened to its human workers
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H