Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Buat Apa Belajar Berhitung Kalau Sudah Ada Kalkulator?

6 Maret 2023   23:43 Diperbarui: 6 Maret 2023   23:56 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar matematika? Saya pikir gak usah sekolah ke luar negeri. Lebih bagus di Indonesia saja karena di Indonesia kebanyakan masih hitung manual!

Begitu pendapat seorang teman, ketika kami berbincang tentang bersekolah di luar negeri dan negara mana yang sebaiknya dituju jika ingin belajar lebih dalam tentang suatu subjek.

Dipikir-pikir benar juga sih. Di Indonesia, anak sekolah jajan di kantin kebanyakan belum menggunakan mesin hitung, sehingga si anak harus menghitung di luar kepala berapa uang yang harus dibayarkan untuk jajananya dan berapa kembalian yang harus diterima. 

Sementara di negara-negara modern, misalnya Singapura, semuanya sudah mengenakan mesin hitung dimana nota pembayaran dikeluarkan dari mesin hitung (mesin kasir) dan pembeli hanya tinggal membayar sejumlah yang tertera. Kembaliannya pun sudah tinggal membaca. Kemungkinan salah hanya jika kasir salah ambil atau salah lihat nilai mata uang.

Hal seperti itu menjadikan otak kita tidak terbiasa menghitung di luar kepala. Setidaknya otak jadi lambat ketika terpaksa harus menghitung di luar kepala.

Namun demikian, menurut saya, mempelajari sesuatu bukan semata-mata untuk sekedar dapat mempraktekan apa yang kita tahu. Sama seperti kita membaca buku atau artikel, kita tidak mungkin menuliskan lagi hal yang sama. 

Setidaknya ada pengembangan dari apa yang kita baca. Kalau persis seperti apa yang dibaca, walaupun bahasanya tidak persis sama, menurut saya, tetap saja hal itu adalah tindakan plagiat. Kecuali dalam hal menjawab soal ujian. Itu pun guru saya dulu selalu "curiga" jika jawaban ujian atas suatu pertanyaan, persis sama dengan tulisan di buku. Karena kemungkinan besar ada unsur kecurangan disitu. Nyontek!

Demikian pula dengan mempelajari sesuatu, misalkan matematika. Jika sudah ada yang "menghitungkan" misalnya kalkulator, mesin kasir, dsb, buat apa lagi kita praktekan menghitung di luar kepala. Kalau saya sih mending mengecek daftar barang yang dibeli, harga per itemnya sudah benar atau belum, diskon promonya sudah sesuai atau belum. 

Daripada menghitung ulang menjumlahkan angka-angka di kepala. Percayakan saja pada proses didalam mesinnya untuk menghitung hasil akhir. Tetapi input bisa salah dan itu mempengaruhi hasil perhitungan akhir. Jadi lebih baik memastikan bahwa inputan kasir sudah benar.

Jadi untuk apa dong belajar matematika, kan sudah ada kalkulator, mesin hitung, komputer, smart phone yang dilengkapi dengan kalkulator, excel, dst??

Lha kan matematika dalam kehidupan sehari-hari  itu bukan cuma sekedar melakukan perhitungan-perhitungan tambah, kurang, bagi, kali, dan hitungan matematika lainnya.

Pergi jalan-jalan perlu menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan, berapa jarak yang ditempuh, dan berapa minimal uang yang harus disediakan. Jam berapa harus bangun kalau anak sekolah harus sampai di sekolah jam 5 pagi. Apa untung ruginya membeli sebuah barang, dst. Ngitungnya mungkin bisa menggunakan kalkulator, tetapi inisiatif dan ide untuk menghitungnya hanya datang dari orang-orang yang cerdas. Bukan dari kalkulatornya.

Menurut saya belajar itu ada tahapannya. Mulai dari mendengar, melihat, mengulang, menghapal, mempraktekan dan mengaplikasikan, hingga pada akhirnya mengembangkan. Mengembangkan dalam arti menciptakan sesuatu yang baru. Atau mungkin mulai mempelajari sesuatu yang sudah ada dengan modal keterampilan yang sudah dimiliki dan kemudian membuat sesuatu yang baru.

Misal mempelajari mengapa kalkulator bisa menghitung sendiri. Tentu untuk menemukan jawabannya, kita harus sudah tahu dan mengerti dulu metoda perhitungan dasar seperti tambah, kurang, kali, dan bagi. Setelah mengerti cara kerja kalkulator, mungkin bisa membuat kalkulator yang lebih canggih. Misalnya yang bisa mengerti  hitungan matematika secara bahasa sehari-hari (soal cerita).

"Saat ini saya berada di Bandung dan hendak berlibur ke Bali. Saya hanya bisa cuti dua hari saja  dan Budget saya hanya Rp. 5 juta. Saya ingin menghabiskan waktu di Ubud dengan kegiatan-kegiatan A, B, C, D di sekitaran Ubud. Tolong buatkan itinerarynya!"

Maka kalkulator tersebut akan melakukan perhitungan dan mengeluarkan hitungan maximal biaya perhari yang boleh dikeluarkan agar tidak over budget, menghitung waktu, dan jarak antar tempat. Mungkin dihubungkan ke data-data tujuan wisata di tempat terkait, agar dapat mencari tahu jarak tempat-tempat untuk kegiatan-kegiatan dan lamanya waktu kegiatan yang dimaksud, dst. 

Sekolah, kalau cuma sekedar mencari nilai, rasanya akan kurang berguna di kemudian hari ketika terjun ke kehidupan yang sebenarnya. Dulu belajar coding baru mulai di SMA, itu pun baru dasar matematisnya saja. Semantara belajar coding sebenarnya baru di perguruan tinggi. Sekarang? Anak SD pun sudah dianjurkan untuk belajar coding. Hal ini berarti setiap saat ada perubahan dalam hidup. 

Pada akhirnya, kita semua tahu kalau selama hidup itu, kita tidak akan pernah berhenti belajar dan mengerti belajar itu bukan sekedar untuk mendapatkan nilai atau reward yang lainnya. Tetapi untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan, untuk hidup yang semakin berarti, untuk terus berkarya dan menghasilkan sesuatu yang berguna bagi perkembangan jaman. Minimal berguna untuk perkembangan diri sendiri. Kekecualian untuk orang-orang berjiwa "tua" yang, maaf, mungkin hanya menunggu ajal menjemput. Tidak berbuat apa-apa karena selalu merasa sudah tua, padahal mencapai usia lansia pun belum!

Sekarang, jaman ChatGPT (baca: Artificial Intelligence), dimana di beberapa bagian, teknologi ini akan menggantikan peran manusia. Jadi apakah kita harus merasa terancam? Jawabannya ada pada diri masing-masing. Apakah kita cuma sekedar mempraktekan apa yang kita tahu tanpa ada usaha mengembangkannya atau mau terus belajar dan menemukan sesuatu yang baru.

Buat apa belajar matematika kalau sudah ada kalkulator, komputer, bahkan ada robot yang bisa menyelesaikan soal-soal matematika?

Buat apa belajar coding kalau sudah ada ChatGpt yang dapat menyelesaikan coding pemrograman komputer?

Buat apa jadi penulis kalau sudah ada ChatGPT yang dapat membuat tulisan, yang bisa jadi lebih bagus?

Buat apa jadi dokter kalau diagnosis, membuat resep, dll sudah bisa dilakukan oleh robot AI?

Ujung-ujungnya, pertanyaannya akan balik ke jaman baheula, dimana ada orang tua yang mempertanyakan, buat apa lagi menyekolahkan anak kalau menteri sudah ada, presiden sudah ada, gubernur ada...

Kalau pertanyaan saya sih, "Sesempit itu kah dunia ini?" 

Tentu tidak! 

Masih banyak hal yang perlu di-explore. Dan teknologi semacam artificial intelligence adalah sarana yang dapat mempermudah hidup. 

Learn continually, there's always one more thing to learn - Steve Jobs

(VRGultom)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun