Jumlah produksi kendaraan pribadi dalam negeri, jumlah kendaraan milik penduduk yang terdaftar, luas parkiran tersedia di setiap gedung dan load masing-masing area parkiran yang terpakai/harinya, jumlah karyawan di setiap perusahaan yang menggunakan kendaraan pribadi, dan area jalanan tersedia, serta data-data lainnya, seharusnya dapat menjadi dasar pembuatan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi kemacetan. Â
Misalnya, jika dalam sebuah gedung perkantoran, dari 1000 orang yang membawa kendaraan ada sekitar 900 orang, maka setelah dihitung-hitung dan dibandingkan dengan kapasitas jalanan di wilayah sekitar dapat ditentukan bahwa jumlah karyawan masing-masing perusahaan yang boleh membawa kendaraan pribadi per harinya dibatasi sekian orang/ hari.Â
Mungkin hal ini bisa diterapkan di wilayah-wilayah yang sudah memilki MRT sebagai moda transportasi modern. Sementara itu pembangunan infrastruktur transportasi umum yang memadai juga dilakukan di wilayah-wilayah lain. Pengadaan fasilitas kendaraan umum pun perlu dilihat dari tingkat keramaian di suatu wilayah. Daerah yang selalu ramai sepanjang hari mungkin akan memerlukan kendaraan umum di banyak titik dibandingkan dengan wilayah perkantoran yang hanya ramai di jam-jam tertentu saja.Â
Dari sisi industri pembuat mobil, seperti ajakan Presiden Jokowi untuk lebih berorientasi pada ekspor daripada menjual barangnya hanya di dalam negeri.
Jika ternyata memang penjualan dalam kota sudah melebihi kapasitas jalanan yang ada. Namun, saya rasa tidak cukup hanya ajakan. Diperlukan "paksaan" untuk mengurangi penjualan kendaraaan dalam negeri, jika pemerintah sudah tahu perkembangan luas jalanan tidak sebanding dengan jumlah kendaraan yang dimiliki penduduk di suatu tempat.
Mungkin dengan pembatasan penjualan kendaraan pribadi akan berimbas pada berkurangnya penghasilan pengelola parkiran, jumlah layanan taxi online tidak lagi bertambah sehingga berimbas pada penghasilan pengelola.
Namun jika kemacetan ini dibiarkan terus seperti sekarang tanpa ada usaha yang benar-benar efektif untuk mengurangi kemacetan, saya rasa pada akhirnya mereka semua pun akan ikut merugi. Taxi online yang harganya flat akan membutuhkan waktu tempuh lebih lama karena macet, penumpang juga kehilangan waktu. Parkiran juga tidak bisa full karena kendaraan lebih banyak yang seolah-olah parkir berjamaah dijalanan akibat pergerakan yang lambat. Ujung-ujungnya semua jadi tidak efektif.
Membuat kebijaksanaan untuk mengurangi kemacetan seharusnya akan lebih baik dengan menganalisa data-data terkait. Strategi pembangunan insfrastruktur jalanan di tiap kota bisa saja berbeda tergantung kondisi masing-masing. Tidak bisa sekedar ikut-ikutan. Ketika di Jakarta pembangunan MRT berhasil mengurangi kemacetan, belum tentu di kota lain dapat dibangun MRT karena kondisi daerahnya belum tentu sama.Â
Demikian pula dengan pemberlakuan ERP (Electronic Road Pricing) yang berbayar. Dalam banyak kasus, orang Indonesia biasanya selalu "mampu" dan mau membayar demi kelancaran sesuatu. Lha wong aturan three in one saja bisa diatasi dengan  menyewa joki! Kecuali mahalnya pake banget dan tidak ada alternatif lain, maka para pengguna kendaraan pribadi kemungkinan besar mau mengalah.Â
Jika masalah kemacetan akibat jumlah kendaraan yang terlalu banyak dapat diatasi, maka masalah premanisme perparkiran di daerah-daerah pun seharusnya bisa diatasi.
Digital government Indonesia bukan cuma sekedar tentang percepatan layanan kemasyarakatan. Data-data yang terhimpun dapat berguna untuk menentukan strategi pembangunan yang tepat demi kepentingan bersama, salah satunya untuk traffic management system. Karena segala sesuatunya akan lebih baik jika didukung dengan data yang akurat. (VRGultom)