Macet di mana-mana sudah sejak belasan tahun lalu. Bahkan khusus kota Jakarta, sudah puluhan tahun lalu. Macet membuat hidup jadi tidak efektif.
Bawa kendaraan sendiri, praktis sih...tetapi kita sudah pasti menjadi salah satu penyumbang kemacetan, belum lagi di beberapa gedung perkantoran di Jakarta, harga parkiran untuk satu hari kerja (8-9 jam) cukup mahal, terutama untuk staff yang tidak mendapatkan fasilitas parkiran gratis. Dan yang jelas waktu yang terbuang percuma di jalan, akibat macet, sungguh buang-buang waktu.
Naik kendaraan umum mungkin dapat menjadi solusi. Kehadiran MRT di Jakarta, merupakan suatu kemajuan besar. Ongkos yang relatif murah, waktu tempuh lebih cepat karena anti macet dan lebih teratur antara waktu kedatangan dan keberangkatan kereta.
Ditambah lagi bus gratis yang berkeliling mengangkut para karyawan di area perkantoran seperti Mega Kuningan dan SCBD, tentu sangat membantu mengurangi jumlah kendaraan yang lalu lalang.
Namun sayangnya MRT belum menyeluruh. Setahu saya baru ada di daerah antara Jakarta Selatan dan pusat. Mudah-mudahan MRT bisa diterapkan di daerah lain, seperti Bandung, Jogjakarta, dll.
Busway juga cukup membantu mengurangi kemacetan Jakarta, namun design halte busway sudah kurang memadai dengan kepadatan penduduk Jakarta dan juga kurang aman karena masih ada kemungkinan penumpang terjatuh saat turun atau naik akibat bus tidak bisa benar-benar merapat ke halte. Apalagi di waktu-waktu sibuk seperti pagi hari saat orang mulai berangkat kerja dan sore hari saat mereka pulang dari bekerja.
Kendaraan pribadi mestinya hanya diperlukan ketika bepergian bersama orang tua yang sudah lansia atau bayi.
Namun apa daya, menggunakan kendaraan pribadi bagi kebanyakan orang Indonesia mungkin bukan sekedar sebagai alat transportasi. Tetapi juga simbol gengsi. Tidak peduli sekali pun ketika buka pintu bunyinya kredit...kredit...dit...
Masalah kemacetan yang kini bukan hanya milik ibu kota lama, mestinya memerlukan penanganan serius. Apalagi Indonesia sudah menjadi negara digital meskipun baru memulai langkah menuju satu data.
Walau Indonesia satu data belum tercapai, mestinya dengan data yang ada saat ini, dapat ditentukan suatu kebijaksanaan pemerintah untuk dipatuhi oleh seluruh penduduk Indonesia baik WNI maupun WNA yang menetap di Indonesia.