Eliezer sang eksekutor dituntut 12 tahun penjara, dengan alasan terbukti melakukan pembunuhan berencana, dan seorang eksekutor tidak dapat menjadi justice colaborator. Pertanyaannya adalah, apakah Eliezer merencanakan pembunuhan tersebut?
Sepanjang saya mengikuti berita dan mengikuti jalannya sidang meski hanya lewat Youtube yang kadang-kadang sudah lewat tanggal, rasanya tidak ada disebut-sebut si Eliezer ikut dalam perencanaan pembunuhan terhadap Alm. Josua. Namun ternyata tuntutan jaksa menyatakan dia adalah eksekutor pembunuhan berencana.
Jadi terbayang pembunuh bayaran yang diajak berunding dulu oleh Si Perencana atau Suruhan Si Otak Pembunuhan. Ada perintah sebelum kejadian, dan Si Calon Eksekutor yang sudah menyanggupi pekerjaan tersebut, yang tentunya sudah dengan kesepakatan biaya atas jasa dan juga biaya operasional ditanggung oleh pengguna jasa, mencari cara dan menentukan siasat serta rencana plan A, plan B, dst, demi memburu target. Tentu ada waktu bagi Si Pembunuh untuk menentukan cara eksekusi. Sedangkan dalam kasus Eliezer, yang saya tangkap, Eliezer diminta secara mendadak.Â
Tentunya dia tidak punya waktu cukup untuk menentukan strategi apa yang akan dipakai untuk menghabisi Josua. Jadi apakah itu pembunuhan berencana? Lagipula iming-iming hadiah ditawarkan setelah kejadian, bukan sebelumnya.Â
Bukankah itu sama saja dengan sogokan untuk tutup mulut? Bukan sebagai imbalan jasa. Eliezer memang bersalah, tidak berani menolak perintah atasan yang bertentangan dengan hukum. Entah setan apa yang merasuk ke dirinya sehingga dia tidak berani menolak hal yang jahat. Untunglah dia cepat sadar meskipun sudah telanjur terjadi. Namun cukup aneh buat orang awam ketika Putri Candrawathi, sang pemicu terjadinya huru-hara, dituntut lebih rendah daripada Eliezer yang diperintah atasan untuk melakukan keinginannya terhadap Josua.Â
Tidak sanggupkah pengadilan mengungkap lebih banyak lagi fakta yang tersembunyi di balik pembunuhan ini? Tidak sanggupkah pengadilan membuka tabir kebohongan Si Pemicu dan Si Otak Pembunuhan, sehingga harus menyimpulkan sepihak berdasarkan kebohongan-kebohongan yang diakui oleh para penegak hukum dalam persidangan dan dikuatkan oleh alat pendeteksi kebohongan?
Jika disimpulkan tidak terjadi pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi berdasarkan bukti-bukti dan asumsi yang masuk akal, apakah itu berarti yang terjadi adalah perselingkuhan antara Putri dan Josua?
Jika Putri dinyatakan berbohong mengenai hubungannya dengan Josua, apakah itu berarti mereka berdua memiliki hubungan khusus? Mungkinkah Putri bertepuk sebelah tangan terhadap Josua? Itu kan bisa jadi alasan berbohong ketika Putri ditanya mengenai hubungannya dengan Josua. Ada orang-orang yang suka berimajinasi sendiri lho. Dalam bahasa anak muda itu istilahnya "kegeeran", karena merasa diperlakukan spesial oleh lawan jenis atau karena memang naksir saking terkagum-kagum dengan sikap seseorang. Padahal mungkin orang itu berlaku seperti itu hanya demi kesopanan dan budaya.
Jadi menurut saya, jika Putri berbohong ketika ditanya mengenai hubungannya dengan Josua, ada dua kemungkinan. Yang pertama, memang mereka memiliki hubungan khusus. Dan yang kedua, Putrinya sendiri yang naksir diam-diam terhadap Josua. Ke manakah bukti-bukti mengarah?
Sementara Sambo, bisa jadi dia punya motif sendiri hingga memutuskan untuk membunuh Josua. Kebetulan ada alasan penghalal, yaitu isu pelecehan yang disampaikan oleh istrinya, maka jadilah saat itu waktu yang tepat untuk mengeksekusi Josua.
Andai, persidangan menggunakan teknologi Artificial Inteligence, kira-kira apa yang terjadi ya?
Menurut jaksa, secara undang-undang eksekutor tidak dapat menjadi justice colaborator, jadi ketika dalam persidangan terdeteksi ada sebutan justice colaborator, kemungkinan layar monitor akan menampilkan kata "Belum Menjadi Justice Colaborator". Karena toh semuanya baru sebatas pengakuan, dan belum terbukti dan dinyatakan secara sah bahwa si terdakwa adalah eksekutor atau bukan.
Ketika asumsi jaksa tidak sesuai dengan algoritma kemungkinan yang diimplementasikan pada Artificial Intelligence persidangan, maka akan muncul tulisan, "Asumsi tidak diterima, petimbangkan kemungkinan lain."
Jika semua keterangan saksi dikonversi ke dalam bentuk digital dan biarkan sistem yang mengolah dan menyimpulkan, apakah hasilnya kira-kira akan sama dengan tuntutan jaksa dan putusan hakim? Selama sidang, ada pengamat-pengamat yang merupakan ahli hukum yang dimintai pendapat. Tentunya mereka tidak asal berkomentar. Pasti mereka mengikuti berita dan jalannya persidangan sehingga dapat berkomentar sesuai keahliannya.Â
Tetapi pendapat mereka tidak terlalu berpengaruh, karena toh mereka tidak terlibat dalam persidangan. Mungkin jika ada sistem yang dapat mendigitalisasi jalannya persidangan, kemudian membandingkan dengan kitab undang-undang hukum yang berlaku dan ilmu-ilmu terkait lainnya, akan ada semacam "saran" dari sistem yang setidaknya dapat menjadi pembanding dengan tuntutan jaksa atau putusan hakim yang mengandung unsur perasaan, emosi, dan sifat-sifat manusia lainnya (VRGultom)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H